Rabu, 03 Maret 2010

Buku Baru: The Lost Symbol (Dan Brown)

Siapa yang mengaku maniak baca tapi nggak kenal Dan Brown? Buku Da Vinci Code-nya fenomenal bahkan kontroversial. Jagoan andalannya Robert Langdon (Da Vinci Code, Angels and Demons, and now: the Lost Symbol), ahli simbologi yang kerap terjebak dalam rangkaian kejadian yang melibatkan teka-teki dan pembunuhan oleh psikopat fanatik, serta perdebatan keyakinan agama vs sains. Seperti biasa, alur cerita Dan Brown selalu intens, hanya perlu setting waktu tak lebih dari 2 hari untuk menuntaskan serangkaian babak yang dipenuhi kejadian besar dan rumit, dan the Lost Symbol pun tak terkecuali.

Di mulai pagi hari saat Langdon baru menyelesaikan aktivitas rutin olah raga paginya, professor Harvard itu kemudian menemukan bahwa dirinya dijebak untuk datang ke Washington DC pada pukul 7 malam oleh orang yang mengaku sebagai sekretaris sahabatnya, Peter Solomon, tokoh penting kelompok persaudaraan Mason (Freemasonry). Langdon akhirnya terikat pada misi untuk menyelamatkan Peter dengan didampingi oleh adik Peter, Katherine, dan sambil digerocoki oleh petinggi CIA, Inoue Sato. Mereka mengikuti serangkaian petunjuk berselubung simbol/kode yang dapat mengantar mereka pada rahasia ‘kebijakan tertinggi yang mampu mengubah dunia’ milik kelompok Mason yang diminta oleh sang penjahat, Mal’akh, untuk ditukar dengan nyawa Peter. Setelah melewati jam-jam yang menegangkan di berbagai lokasi bersejarah di Washington, sejumlah kejadian kilas balik, teka-teki, pengungkapan sisi lain sejarah yang jarang diketahui oleh umum, plus gambaran kekejaman sang psikopat, pagi hari berikutnya Langdon telah menyelesaikan misinya menyelamatkan Peter Solomon ditambah bonus terbukanya sebuah ‘rahasia besar dunia’. What a plot!

Satu kekuatan cerita Dan Brown yang paling menonjol memang berada pada pengungkapan informasi sejarah dari perspektif tafsir ilmu simbologi yang menarik untuk disimak (yang coba diikuti oleh penulis kita E.S. Ito, tapi masih dengan gaya yang perlu diperhalus). Dilengkapi dengan ilmu pengetahuan mutakhir dan dicampur intrik dan thriller, jadilah sebuah buku yang susah untuk dilepaskan once we start to read it.

Kalau kelemahannyaaa….ya bagi yang sering baca bukunya Dan Brown, kita jadi terbiasa sama cara beliau mengemas cerita, atau dengan kata lain: polanya jadi mudah ditebak (polanya lho, kalo ending-nya sih masih penuh kejutan). Rasanya saya malah bisa bikin matriks buat buku-bukunya Dan Brown, terutama 3 buku yang tokohnya Langdon. Misalnya, gini:

Setting: Da Vinci Code (DVC): Paris, Perancis; Angels and Demons (AAD): Roma, Italia/Vatikan; The Lost Symbol (TLS): Washington DC, AS.

Icon sejarah: DVC: Leonardo Da Vinci; AAD: Galileo Galilei; TLS: George Washington

Kelompok legendaris: DVC: Priory of Sion; AAD: Illuminati; TLS: Freemansonry

Peran wanita pendamping (karakter utama: cantik, cerdas dan scientific): DVC: Sophie Neveu (kryptolog), AAD: Vittoria Vetra (ahli fisika); TLS: Katherine Solomon (ahli ilmu noetic).

Tokoh antogonis (ciri utama: berbadan besar, keji dan nyaris ‘unhuman’): DVC: Silas; AAD: si Hassassin; TLC: Mal’akh

Aktor intelektual di balik tabir: DVC: Sir Leigh Teabing; AAD: Camerlengo Carlo Ventresca; TLC: Zachary Solomon

See? There’re so many similar patterns! Ini aja saya belum nyebutin bangunan bersejarah, lukisan, patung dan benda atau dokumen seni bersejarah lainnya yang juga selalu ada di cerita Dan Brown dengan Langdon-nya! Di 2 cerita yang lain (non-Langdon): Digital Fortress dan Deception Point, sebenarnya juga banyak kesamaan pola, terutama antara kedua cerita itu sendiri: tentang lembaga besar yang kontroversial di AS (National Security Agency/NSA dan NASA) dengan seorang tokoh senior yang berusaha membangun kembali kebesaran institusinya dengan cara yang ekstrim. Kalau dibandingkan dengan 3 cerita yang bertokoh Langdon, alur utama cerita dan penokohannya sama tapi minus konteks sejarah.

Bagaimanapun, Dan Brown perlu diacungi jempol untuk kedalaman risetnya dalam membangun konteks sejarah, ilmu pengetahuan dan teknologi faktual, sekaligus membangun argumentasi logis yang membuat kita kadang lupa kalau yang sedang kita baca adalah sebuah fiksi. Really entertaining as well as enlightening!

DN


Tidak ada komentar:

Posting Komentar