Rabu, 10 Maret 2010

Toko Buku di Jakarta

Tidak ada maniak baca yang bisa menjalani hidup tanpa toko buku. Toko buku adalah surga bagi para penggila baca, sama halnya mall atau butik bagi para penggila belanja. Bahkan dengan satu kelebihan. Jika seorang penggila belanja tidak bisa benar-benar memiliki sebuah benda fashion yang disukainya tanpa membelinya, seorang penggila baca bisa ‘memiliki’ bacaan yang disukainya tanpa harus membelinya. Sebab, bukankah kekayaan koleksi bacaan itu dihitung dari apa yang kita baca, bukan dari apa yang kita miliki? Jadi jika si A membaca Harry Potter seri Deathly Hallow dari buku yang dibelinya, dan si B membaca Deathly Hallow dari buku yang dipinjamnya, serta si C membacanya secara mencicil dari buku Deathly Hallow yang di-display di toko buku, ketiganya bisa dikatakan sama-sama pembaca Harry Potter the Deathly Hallow.

Life is easier for bookaholics than for shopaholics, isn’t it?

Hampir tiap minggu saya ke toko buku, baik sendiri sepulang kantor maupun bersama keluarga di akhir pekan. Dari sejumlah bookstore chain yang ada di Jakarta: Gramedia, Gunung Agung, Maruzen, Utama, Kinokuniya, Periplus, QB (masih ada nggak sih?), favorit saya adalah Gramedia. Kenapa Gramedia?

Pertama, Gramedia ada dimana-mana. Hampir di setiap sudut Jabodetabek, kita bisa menemukan Gramedia dengan ukuran toko yang bervariasi. Yang paling besar tentu saja yang di Matraman (tapi lokasi favorit saya yang di Grand Indonesia).

Kedua, koleksi buku Gramedia bisa dibilang lengkap, dalam berbagai jenisnya. Meski untuk buku edisi bahasa Inggris koleksinya agak terbatas, kalah lengkap dengan Kinokuniya misalnya. But, why on earth does an Indonesian need to buy English books on weekly basis?

Ketiga, manajemen Gramed cukup baik hati dengan membiarkan pelanggan untuk membuka bahkan membaca satu eksemplar yang tidak dibungkus plastik, sepanjang bacanya tidak sambil nongkrong atau sambil mencatat isi bacaan (tapi di beberapa Gramed, saya lihat pihak manajemen membiarkan pengunjungnya membaca isi buku dalam posisi ‘taman bacaan’ alias sambil duduk atau gelosoran di lantai).

Keempat, ada komputer untuk mengecek atau melacak posisi dan status ketersediaan buku, yang bisa diakses oleh pengunjung dan tersedia di banyak sudut, khususnya di Gramedia yang berukuran luas.

Kelima, buku-buku terbitan Gramedia banyak yang bagus. Tapi tidak semua toko buku non-Gramed sudi menjualnya secara lengkap. Jadi kemana lagi kita mencari buku bagus terbitan Gramedia dengan peluang yang tinggi untuk mendapatkannya kalau bukan di Gramedia sendiri?

(Hmmhh…do you think I should ask for promotion fee from Gramed?)

Kalau Gramedia adalah toko favorit saya untuk bacaan berbahasa Indonesia karena besarnya perusahaan dan lengkapnya koleksi bookstore chain ini, kalau untuk bacaan berbahasa Inggris favorit saya adalah…Periplus! Khususnya yang di Plasa Senayan sama yang di bandara-bandara. Toko-tokonya kecil memang, tapi koleksinya up to date dan—ini yang penting—harga buku-bukunya lebih murah dibanding buku yang sama di toko buku lainnya! Coba cek deh. Memang selisihnya nggak seberapa sih, paling Rp 5 ribu – 10 ribu. Tapi kalau kita belinya lebih dari 3 buku kan lumayan buat ongkos taksi atau apa kek, atau…buat beli satu buku lagi!

Tapi tetap saja saya memimpikan toko buku yang kayak toko bukunya Meg Ryan di film You've Got Mail di Jakarta ini. Tidak besar, terletak di sudut jalan, tapi interiornya terkesan hangat dan buku-bukunya berkualitas (menurut ceritanya lhooo). Pelayanannya pun penuh sentuhan kekeluargaan, karena si pemilik ikut memberikan opini tentang buku-buku mana yang bagus kepada para pelanggannya, malah kadang ada story telling segala untuk buku anak-anak. Nyaman sekali belanja buku di sana kayaknya...

Bicara tentang toko buku yang nyaman, dulu saya pernah mengenal satu toko buku merangkap perpusatakaan yang namanya Limma. Letaknya di Jalan Bangka (atau Banda ya?) Kemang. Koleksinya sih nggak banyak-banyak amat, tapi bagus-bagus! Kebanyakan buku sastra klasik berbahasa Inggris yang jarang ditemui di toko buku biasa. Dan saya suka konsepnya. Limma itu menempati sebuah bangunan rumah tinggal, dan buku-bukunya menempati ruangan-ruangan di dalam rumah yang ditata dalam 3 kelompok besar: buku yang dijual, buku yang dipinjamkan untuk anggota, dan buku yang hanya boleh dibaca di tempat. Asyiknya, si pemilik menyediakan ruang duduk yang diisi sofa-sofa besar untuk membaca, plus makanan ringan dan minuman semacam soft drink, teh, kopi , dan—mohon dicatat—ini semua gratis! Saya sempat beberapa kali mengunjungi toko buku ini, bahkan menjadi member untuk perpustakaannya. Tapi semenjak menikah, saya jadi jarang ke sana. Masih ada nggak ya toko ini?

DN

4 komentar:

  1. kalo boleh saran, bikin review dong, perpustakaan dari perpustakaan kantor sd British Council, jg yg di depdiknas...

    terakhir hari Jumat iseng ke perpustakaan kantor, ternyata sudah pindah ke lantai 2 bersebelahan dengan kantin. Walaupun sama2 jualan makanan, peminat makanan otak (perpus)vs makanan perut (kantin), sangat jauh berbeda...

    perpustakaan sepiiii banget, padahal kalo jeli, disini banyak koleksi buku barunya, demikian sekilat inpoh... :)

    BalasHapus
  2. Thanks sarannya, Gus! Akan dijajaki...

    BalasHapus
  3. bukannya perpustakaan british council dah pindah k depdiknas?

    BalasHapus