Selasa, 23 Maret 2010

Majalah, Majalah!

Jenis bacaan yang pertama kali dikenalkan orang tua saya untuk saya adalah majalah. Tepatnya majalah Bobo. Bener lho, saya dilanggankan majalah Bobo sejak berumur 5 tahun, dan saat itu saya belum bisa baca! Ibu sayalah yang rajin membacakan cerita-cerita di dalam majalah buat saya, terutama saat jam makan sambil disuapin (!) Ada cerita Bobo dan keluarganya,Cerita Negeri Dongeng (Oki dan Nirmala), Bona si Gajah Kecil Berbelalai Panjang (banget!),Paman Kikuk, Juwita dan si Sirik (yang ini kayaknya udah nggak ada di Bobo yang sekarang deh. Saya tahu soalnya anak saya melanjutkan tradisi ibunya berlangganan Bobo).

Dari sinilah kegemaran membaca saya dimulai. Selanjutnya, meskipun saya juga membaca jenis bacaan lainnya, majalah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari hidup saya. Bahkan menjadi-jadi setelah saya menikah dengan suami saya yang magazine-freak. Anak-anak saya pun ikutan hobi baca majalah. Favorit mereka Bobo, Mombi dan XY Kids.

Berbeda dengan jenis bacaan lainnya, majalah lebih disukai karena variasi informasi dan hiburan yang ada didalamnya. Informasinya pun up to date (as long as we read the latest edition, of course) dan kebanyakan disertai gambar/foto yang menarik. Tapi sedihnya, berbeda dengan buku yang nggak kenal tanggal kedalursa, majalah lewat satu bulan aja sudah terasa basi, terutama untuk artikel yang sifatnya berita. Kalau informasi yang sifatnya umum atau pengetahuan kayak misalnya: “Tips Menjaga Kesehatan di Masa Hamil”, atau “Resep-resep Pilihan bagi Penderita Diabetes”, atau “Bagaimana agar Selalu Disayang Pasangan”, ini bisa everlasting. Kalau mau, bisa di-kliping. Sayangnya, saya nggak rajin membenahi atau membendel koleksi majalah saya agar storable. Alasan lainnya: nggak ada tempat di rumah! Alhasil, tiap 2 tahun sekali saya melakukan magazine-cleansing (yang disambut baik oleh para pemulung di sekitar rumah).

Ok, ini daftar majalah yang datang silih berganti dalam kehidupan saya sampai saat ini.

Ananda
dan si Kuncung. Ini majalah masa kecil saya setelah Bobo. Keduanya sudah almarhum. Mereka memang tidak seistimewa Bobo. Tapi saya menyukai Ananda terutama bonus komik cerita rakyatnya bikinan Jan Mintaraga. Kalau Kuncung yang saya ingat majalahnya minim gambar, tapi cerpen-cerpennya bagus-bagus dan sangat educated (maklum proyek P4-related kayaknya).

Hai
dan Anita Cemerlang. Keduanya majalah bacaan kakak-kakak saya sebenarnya. Hai punya kakak laki-laki saya dan Anita Cemerlang punya kakak perempuan saya. Favorit saya di Hai apalagi kalau bukan Lupus-nya Hilman Hariwijaya. Sempat ada juga Tia-nya Kembang Manggis yang juga cukup legendaris. Kalau Anita Cemerlang itu majalah kumpulan cerpen dengan cerita yang kebanyakan cengeng-cengeng. Tentang orang-orang yang nggak punya urusan penting lain di dunia ini kecuali urusan asmara (sama kayak cerita-cerita sinetron Indonesia masa kini). Saya baca purely because of a kid’s curiosity.

Gadis
dan (Alm) Mode. Ini dua majalah remaja yang mulai saya baca di bangku SMP. Paling seru kalau pas musim pemilihan Gadis Sampul, Cover Girl dan…Cover Boy! Saya sama temen-temen sekolah saya (yang cewek tentunya!) sampai terpekik-pekik ngeliat foto-fotonya Ado, Iwan, Resnu, Arik, and so on and so forth. Kalau Gadis Sampul yang lahir pada masa itu ada Zara Zetira, Desy Ratnasari, Btari Karlinda, Ersa Mayori sampai (alm) Nike Ardila! Saya juga menikmati bagian yang mengulas mode dan kecantikan (maklum mulai puber), cerpen, plus rubrik pskologi yang membahas konsultasi hubungan muda-mudi yang sebagian besar isinya begini: “Cowok saya berkali-kali menyakiti hati saya dengan berselingkuh dengan cewek lain. Tapi saya cinta banget sama dia. Apakah saya sebaiknya mengakhiri hubungan ini?” (Honestly, do we really still need to seek opinion about this? The answer’s been crystal clear, don’t you think?)

Times, Newsweek, the Economist, Asiaweek, Far Eastern Economic Review
, dll, dst, dsb. Ini bacaan jaman kuliah. Bukannya sok, tapi saat itu saya sempat punya pekerjaan sampingan di sebuah surat kabar lokal (di Bandung) untuk menerjemahkan artikel/berita menarik yang diambil dari kantor-kantor berita asing dan majalah-majalah bule kayak di atas. Tapi masa itu selera bacaan saya memang sok serius, mentang-mentang sering bergaul dengan anak-anak kampus yang ‘garis keras’. Apalagi saya bergabung dengan majalah kampus untuk meliput berita dan menulis artikel-artikel yang nggak kalah sok seriusnya.

Kartini
dan Femina. Sebenarnya saya baca Kartini dan Femina sejak kecil karena kebetulan ibu saya berlangganan kedua majalah tersebut. To be frank, kalau di Kartini yang paling sering saya baca waktu itu adalah kisah Oh Mama Oh Papa. The stories were soooo tragic that made me thrilled! Kalau Femina saya suka ngeliatin gambar resep-resep makanannya. Setelah bekerja dan menyadari kebutuhan referensi mode, karir dan kepribadian (suit, suit!), saya melanjutkan tradisi ibu saya berlangganan Femina. Tapi setelah sekian tahun saya amati majalah ini cenderung me-recycle isu-isu yang ada (hanya contoh kasusnya disesuaikan dengan masanya), saya pun jenuh dan mulai berpaling ke banyak majalah lain. Sempat ke Cosmopolitan, tapi hanya sebentar karena saya sering ‘malu ati’ baca artikel-artikel yang bule banget vulgarnya. Tapi akhirnya balik lagi ke Femina karena saat itu belum ada majalah wanita lain yang memenuhi selera saya. Dan ini bertahan sampai saya menikah.

Tempo
dan Gatra. Saya mengenal majalah Tempo sebenarnya dari ayah saya yang memang sudah berlangganan sejak 1980-an sampai sebelum dibreidel oleh rezim Suharto di pertengahan tahun 1990an. Tapi mulai saya baca beneran (nggak cuma ikut-ikutan ayah saya saat masih kecil) waktu majalah ini reborn di jaman reformasi yaitu saat saya sudah bekerja. Saya juga sempat rutin baca versi ‘perjuangannya’ (Tempo-Perjuangan alias pecahannya Tempo): Gatra. Tapi saya cenderung lebih suka yang pertama. Saya suka Tempo dengan alasan yang sama saya menyukai surat kabar Kompas. Bahasanya tertata baik dan cerdas. Artikel/beritanya juga enak dibaca.

Vogue, Harper’s Bazaar, Elle, Madison, Marie Claire, Women’s Weekly
,
dkk. Ini majalah-majalah yang saya baca saat saya tinggal di Australia. Bener-bener euphoria. Gimana enggak? Harga majalah di sana terasa sangat affordable. Kalau dikurs-kan sih sebenernya nggak murah juga, antara AU$ 7-10 (sekitar Rp 55-85 ribu). Tapi itu setara dengan jatah sekali makan siang saya di sana. Sementara di sini, meskipun secara nominal nggak beda jauh, tapi jumlah tersebut bisa 3-4 kali lipat jatah makan siang harian saya di luar. Jadi agak merasa bersalah juga kalau keseringan beli, apalagi rutin.

Rumah
dan Idea. Ini dua majalah baru yang terbit saat booming properti di awal tahun 2000an. Suami sayalah yang rajin membeli dan bahkan berlangganan waktu kami mulai membangun rumah baru kami di tahun 2007. Tapi sampai sekarang meskipun rumahnya sudah jadi dan ditempati, sesekali kami masih suka kok beli majalah-majalah yang mengulas properti dan interior ini. Gambarnya bagus-bagus, bisa buat contoh kalau bosan sama tatanan yang sekarang.

Dewi
dan Noor. Ini dua majalah yang sekarang sedang saya gemari. Saya suka Dewi karena majalah ini memberi saya ‘wawasan’ mengenai dunia yang ingin saya kenal sebagai outsider: dunia fashion yang high-end brands. Saya suka mengetahui detail sebuah barang fashion yang dinilai berkualitas, hanya sebagai referensi saja. Jadi kalau saya harus membeli untuk diri saya sendiri saya bisa menilai kualitas yang maksimal yang dapat terjangkau oleh kantong saya sendiri. Sedangkan Noor, majalah dengan segmen muslimah (yang sadar gaya), saya baca sebagai penyeimbang agar saya nggak terjerat dalam konsumerisme semata, tapi ada sentuhan keimanannya. Wise, aren’t I? (Cuih!).

Yah, baik berlangganan maupun membeli ketengan, majalah akan selalu menjadi bagian hidup saya yang selalu saya nantikan kehadirannya tiap minggu atau tiap bulan. They always make my days! Ibaratnya hidup tanpa majalah bagaikan sayur tanpa garam (eh, lebay nggak ya perbandingannya?).

DN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar