Sabtu, 10 Juli 2010

Buku Baru: The Sorceress (Michael Scott)

“The Sorceress” adalah sequel ketiga dari seri “The Secrets of the Immortal Nicholas Flamel”. Yang pertama adalah “The Alchemyst” (bukan the Alchemyst-nya Paolo Choelho lho!) dan yang kedua adalah “The Magician”. Genrenya fiksi fantasi. Model-model Harry Potter gitu deh! Tapi, kalau Harry Potter menggunakan setting dan tokoh dunia sihir hasil kreasi J.K. Rowling: ada sekolah sihir Hogwarts, peron kereta 9 ½, makanan khas dunia sihir, kota sihir Diagon Alley, olahraga sihir Quidditch dan tokoh-tokoh seperti Albus Dambeldore, Minerva McGonagal, Lord Voldemort; kalau dunia si kembar Sophie dan Josh—tokoh utama serial ini—dibangun oleh Michael Scott berdasarkan cerita-cerita mitologi dan legenda di Eropa yang ada dan dikombinasikan dengan berbagai setting real seperti Nicholas Flamel dan istrinya Parenelle (legenda manusia abadi di Eropa), John Dee (penyihir kerajaan masa lalu di Inggris), Nicolo Machiaveli, William Shakespeare, Billy the Kid, Joan de Arc, Mars Ultor sang dewa perang Yunani, Bastet Dewi Kucing Mesir, Sphinx Mesir, dan tempat-tempat seperti penjara Alcatraz San Fransisco, Gereja Notre Dame Paris , Katakombe Paris, Stonehenge Inggris.Hampir tidak ada kreasi baru. Semuanya tentang mitos kehidupan abadi dari tokoh dan legenda yang sudah terlebih dahulu ada, dan ide kehidupan abadi sendiri sama sekali bukan merupakan sesuatu yang asing di Eropa sono.

Sama halnya ketika saya menyadari bahwa dunia sihir merupakan bagian dan kepercayaan (yang ditolak) rakyat Inggris dengan membaca serial Harry Potter dan Jonathan Strange and Mr. Norell (seperti keberadaan dunia mistik di masyarakat kita-lah!), saya baru menyadari bahwa mitos kehidupan abadi itu ada ditengah-tengah masyarakat Eropa hampir sama seperti sebagian masyarakat kita mempercayai bahwa Nyi Loro Kidul tidak pernah mati di Laut Selatan sana. Tapi jika Nyi Loro Kidul digolongkan kepada makhluk gaib atau ‘dunia lain’, maka Nicholas Flamel dipercayai sebagai manusia biasa yang karena kepemilikannya atas kitab Abraham the Mage alias Codex yang berisi ilmu alkemi (perpaduan antara ilmu alam dan sihir) memungkinkannya menguasai ramuan untuk hidup abadi.

Menurut cerita ini, ada tiga jenis kehidupan abadi. Satu, kehidupan abadi yang memang dimiliki oleh para tetua atau manusia setengah dewa yang pada dasarnya immortal. Dua, kehidupan abadi yang disebabkan karena kemampuan menguasai ramuan alkemi yang diwakili oleh Nicholas Flamel (the alchemist). Dan tiga, kehidupan abadi yang diberikan oleh para tetua kepada manusia dengan imbalan berupa pengabdian kepada para tetua oleh manusia yang dianugerahi kehidupan abadi yang diwakili oleh John Dee.

Inti ceritanya begini. Nicholas Flamel telah hidup berabad-abad dengan istrinya Parenelle (the sorceress atau pengendali hal-hal gaib). Mereka memiliki buku sakti Codex, yang selain berisi rahasia kehidupan abadi, sihir dan ilmu-ilmu gaib lainnya, juga berisi mantra untuk membangkitkan kembali dunia lama para dewa dan tokoh mitologi lainnya yang hanya dipercaya sebagai sebuah legenda kuno. John Dee (the magician atau sang penyihir) ditugaskan oleh para tetua untuk memburu Flamel dan kitab Codex-nya. Flamel sendiri terus hidup dalam penyamaran dan berpindah-pindah dari satu negara ke negara lainnya sambil mengemban satu misi lain: mencari anak kembar yang dipercaya oleh ramalan sebagai “dua yang menjadi satu dan satu yang mencakup semuanya” yakni kekuatan yang mampu mengalahkan sumber kejahatan yang ingin menguasai dunia. Mirip sosok Harry Potter yang diramalkan sebagai anak yang dilahirkan untuk mengalahkan kekuasaan sihir hitam Lord Voldemort. Dan Josh dan Sophie adalah si kembar dimaksud.

Cerita dimulai saat si kembar yang sedang ditinggal oleh orang tuanya (yang berprofesi arkeolog) mengisi liburan dengan bekerja di toko buku milik Nicholas dan kedai kopi milik Parenelle. John Dee berhasil mencium keberadaan pasangan Flamel, mendatanginya pada suatu siang, merebut Codex (minus 4 halaman terakhir yang berhasil direbut Josh dan sebenarnya justru merupakan inti kesaktian buku itu), mengobarkan pertempuran, dan si kembar pun terseret dalam petualangan yang dipenuhi sihir gaib dan kemunculan para tokoh terkenal dari berbagai masa, baik dari dunia legenda maupun sejarah. Dalam perjalanannya, potensi sihir si kembar dibangkitkan, tapi tanpa melalui ‘pendidikan formal’ tujuh tahun ala Harry Potter, melainkan hanya dalam hitungan jam melalui pengaktifan aura dan transfer ilmu sihir yang mengingatkan kita pada proses meng-install program di komputer (!).

Sampai dengan buku ketiga ini, Flamel dan si Kembar masih melarikan diri dari kejaran John Dee dan Machiavelli yang dibantu oleh para tetua dan makhluk-makhluk legendaris berusia ribuan tahun. Flamel juga masih terus berusaha melengkapi elemen sihir si Kembar yang baru menguasai sihir api dan angin dengan elemen air dan tanah. Sedangkan Parenelle masih terpisah dari suaminya. Meskipun berhasil melarikan diri dari tahanan John Dee di Alcatraz, tapi dia tersesat ke dimensi waktu yang lain. Sementara pasangan manusia abadi tersebut terus menua dengan cepat karena tidak dapat membuat ramuan panjang umur lagi setelah Codex jatuh ke tangan musuh.

Menurut saya, meskipun ketegangan cerita lebih intens dan kemunculan para tokoh dan ilmu sihir mereka terkesan lebih hiruk pikuk, tapi serial Nicholas Flamel lebih ‘miskin alur’ dibandingkan Harry Potter. Jika JK Rowling senang memberikan kita kejutan berupa terungkapnya identitas ‘orang-orang dekat’ sebagai musuh dalam selimut dan membelokkan cerita kearah yang tak terduga bahkan sejak di serialnya yang pertama; Michael Scott lebih senang menciptakan musuh dengan memunculkan tokoh-tokoh baru dan menghindari tema ‘pengkhianatan’ atau kejutan karakter lainnya dari tokoh-tokoh yang ada, at least hingga di bukunya yang ketiga ini. Kalau dibuat perumpamaan, maka cerita JK Rowling membawa para pembaca serial Harry Potter dalam perjalanan ala jalanan pegunungan yang dipenuhi kelokan, tanjakan, dan percabangan, maka Michael Scott membawa para pembaca serial Nicholas Flamel dalam perjalanan melalui jalan tol yang dipenuhi dengan halang rintang ala game balap mobil.

Tapi meski tidak se-fenomenal Harry Potter, buku serial Nicholas Flamel ini cukup mengasyikkan buat diikuti. Ide tentang Alam Bayangan (dimensi lain dari dunia manusia), pedang kembar Clarent (menciptakan panas) dan Excalibur (menciptakan dingin), aura yang memiliki aroma (jeruk, vanilla, mint, sampai belerang), lumayan menghibur. Cocok buat mereka yang ingin sejenak melarikan diri dari kesibukan ataupun kebosanan hidup dunia nyata…..

DN