Sabtu, 12 Februari 2011

Fiksi Romantis

Gara-gara posting-an terakhir yang mengungkapkan kalau saya jarang bisa baca cerita fiksi romantis sampai tuntas (lihat Stories that are not Mine), saya jadi kepikiran. Sebenarnya kenapa juga ya saya sering begitu? Kadang mood saya membawa tangan saya mengambil sebuah novel fiksi romantis dari rak di sebuah toko buku dan memutuskan untuk membeli dan menikmatinya. But most of the cases, I ended up giving up not until half of the story.

Tapi kalau dipikir-pikir, kebiasaan itu baru terjadi belakangan, setelah saya menikah. Sebelumnya, sejak di bangku SMP (atau SMA ya?) sampai sebelum menikah, saya sempat melahap beberapa novel percintaan, mulai dari Mira W, Marga T, Sandra Brown, Nicholas Sparks atau Pearl S. Buck. Hampir semuanya pinjam dari teman. Meski rasanya tidak ada yang memberi kesan mendalam, at least saya membacanya sampai tuntas. Kalau sekarang, novel-novel dengan tema utama percintaan yang saya baca (secara tuntas) dapat dihitung dengan jari. I don’t know why. Mungkinkah karena babak ketertarikan akan romantisme dalam hidup saya sudah lewat? Hmmh, could be. This is the time to face the real world with its real problems. No time for such a rubbish…hehehe sumpeh lo?

Novel fiksi romantis terakhir yang saya beli dan saya baca selain Amazing Gracie-nya Sherryl Woods seperti yang saya sebut di posting-an sebelumnya, adalah “Perahu Kertas”-nya Dewi ‘Dee’ Lestari. Seperti pengakuannya, novel ini ala kisah cinta komik Jepang sekale! (Candy-Candy, Pop Corn, Pansy, etc). Cukup menghibur. Tapi saya perlu beberapa waktu untuk menuntaskannya. Lalu The Host-nya Stephanie Meyer yang sudah pernah saya bahas di blog ini sebelumnya. Banyak logika dan detil yang dipertanyakan karena Ms. Meyer terlalu sibuk mengeksplorasi emosi para tokoh utamanya.

Yang mungkin merupakan pengecualian adalah Memoirs of A Geisha-nya Arthur Golden. Because, to my surprise, I was quite impressed with the story. Awalnya cukup susah payah saya menyelesaikannya karena jalan ceritanya sangat lamban dan berliku untuk sang geisha Sayuri memenangkan cinta si Mr. Chairman. Hanya sejarah dan sosiologi Jepang era Perang Dunia II yang menjadi setting cerita-lah yang membuat saya mampu bertahan. Pada akhirnya saya merasa ‘perjuangan’ tersebut terbayar saat saya membaca dua paragraf terakhir dan membuat saya bisa menerima mengapa Arthur Golden harus membuat cinta Sayuri kepada Mr. Chairman terpendam belasan tahun (sejak dia masih seorang gadis kecil pembantu geisha hingga dia sendiri menjadi seorang geisha yang terkenal) sebelum akhirnya memenangkannya dan mendampinginya hingga akhir hayat. Bunyi kalimatnya begini (dengan konteks Sayuri baya yang baru saja ditinggal mati oleh sang love of her life):

"I cannot tell you what it is that guides us in life; but for me, I fell toward the Chairman just as a stone must fall toward the earth. When I cut my lip and met Mr. Tanaka, when my mother died and I was cruelly sold, it was all like a stream that falls over rocky cliffs before it can reach the ocean. Even now that he is gone I have him still, in the richness of my memories. I’ve lived my life again just telling it to you."

Gosh, so touchy…Betapa seseorang bisa begitu yakin bahwa jalan hidupnya yang penuh dengan kelok, aral dan ujian tidak lain hanya untuk membawanya mendapatkan pria yang dipujanya. Hmh, why on earth I never felt that way?

Lepas dari persoalan ‘tahap ketertarikan romantisme yang telah lewat’ itu, saya mencoba berpikir dan menemukan, apa yang sebenarnya saya rasakan saat membaca novel-novel fiksi romantis yang tidak terbaca secara tuntas. Dan saya mendapatkan beberapa penjelasan sebagai berikut.

Yang pertama, jelas, jalan cerita fiksi-fiksi romantis itu nyaris seragam sehingga mudah ditebak. Selalu diperankan oleh cewek menarik dan cowok yang juga menarik (beri saya sanggahan adanya cerita romantis yang diperankan oleh cewek jelek dan cowok nggak keren, nanti saya beri hadiah), ada pertemuan yang dramatis, tahap awal hubungan yang manis atau mungkin tidak manis tapi berkesan-lah, ada hambatan atau ujian, sebelum akhirnya happy ending atau live happily ever after. Coba, dimana letak serunya?

Kedua, kenikmatan membaca cerita fiksi bagi saya adalah kontras antara kehidupan si pembaca yang tenang, normal, dan nyaris datar dengan bacaan yang menyajikan imajinasi atau fantasi tak terbatas. Itulah kenapa saya cenderung suka dengan genre cerita detektif atau kriminal (Agatha Christie, John Grisham, dkk), thriller atau spionase (Dan Brown, Tom Clancy, dkk), dan fiksi fantasi (JK Rowling, J.R.R Tolkiens dkk).

Ketiga, nah ini yang paling utama, saya sering jengah membayangkan bahwa cerita romantis itu bisa jadi merupakan fantasi apa yang diinginkan oleh penulisnya untuk terjadi pada dirinya...hehe. Nggak tahu kenapa, saya sering merasa seperti itu. Saya yakin setiap orang punya imajinasi mengenai hal-hal romantis yang ingin dialaminya. Tapi apakah kita benar-benar ingin mendengar imajinasi masing-masing orang tersebut? Kalau yang sekedar buat lucu-lucuan kayak yang di cerita-cerita chicklit sih nggak apa-apa. Tapi kalau sudah serius dan ngajak mikir, apalagi yang nggak sungkan-sungkan menyampaikan bagian yang kotor kayak Sydney Sheldon…..Hmh, buat saya nggak perlu sering-sering deh.

Tapi ini masalah selera. Buat beberapa orang mungkin ada kenikmatan dan hiburan tersendiri dari cerita-cerita fiksi romantis yang dibacanya. Lauren Weisberger yang saya yakini selalu menjadikan tokoh utama di novel-novelnya sebagai representasi dirinya, mengungkapkan di buku Everyone Worth Knowing tentang kenikmatan membaca fiksi romantis oleh tokoh utama-nya, Bette Robinson. Bette diceritakan mempunyai guilty pleasure sejak remaja berupa hobi membaca novel-novel percintaan bahkan ikut klub membaca khusus bagi para penikmat fiksi romantis. Hobi-nya ini mendapat tentangan dari keluarganya yang bisa dibilang nerd people. Tapi Bette bergeming. Alasannya?

"What I didn’t tell my parents then was how much I loved romances… It was inspirational to read about two gorgeous people who overcame all obstacles to be together, who loved each other so much that they always found a way to make it work. The sex scenes were a bonus, but more than that, the books always ended happily, offering such optimism that I couldn’t keep myself from starting another immediately."

Sekali lagi, ini masalah selera. Dan kalau tentang selera, saya tidak pernah mau memperdebatkannya.

DN

Rabu, 02 Februari 2011

Stories those are not Mine

Akhir-akhir ini saya sedang tidak ada waktu untuk membaca bacaan-bacaan menarik yang bisa saya share (hiks…). Saya tetap membaca, tapi yang saya baca adalah bacaan-bacaan yang saya yakin tidak banyak orang (normal) yang sudi mengikutinya dari sebuah blog. Ini cuma bacaan yang sebenarnya lebih tepat dibaca di lingkungan kampus atau lembaga pendidikan, itu pun karena motivasinya untuk mendapat nilai ujian yang bagus. Sepanjang tidak wajib dan sepanjang tidak diujikan, buat apa orang repot-repot atau menyiksa diri untuk baca yang beginian?

Yang saya baca adalah bacaan-bacaan yang berhubungan dengan ekonomi mikro (huek!) karena saya baru saja pindah tempat kerja yang semula berhubungan dengan ekonomi makro menjadi lebih berhubungan ke mikro. Hampir tiap minggu saya pergi ke toko buku tanpa melirik ke seksi buku-buku fiksi, tapi langsung ke buku-buku finance. Saya harus banyak belajar karena this is a new area for me, sementara tanggung jawab yang saya terima juga lebih tinggi.

Ritme kerja saya juga menjadi sedikit gila-gilaan. Kalau di tempat kerja yang lama dulu grafik-nya fluktuatif, kadang tinggi kadang rendah (dan saat di titik rendah itulah saya memakainya untuk mengisi blog ini), tapi sekarang nyaris selalu konstan di titik yang tinggi dengan target yang ketat. Sehingga saya sering merasa harus memotivasi diri sendiri dengan motto yang saya pampang di status social networks saya: no gain without pain!

Jadi praktis, saya cuma punya weekend. Itu pun kalau my two little princesses and the big baby boy (alias my hubby) tidak sedang menuntut ‘kompensasi’ atas keterabaiannya selama 5 hari kerja. Tapi weekend ini suddenly became so peaceful for me. My hubby is being away on duty to Japan for a couple of weeks, kedua anak saya mulai minggu ini setiap Sabtu punya kegiatan eskul atau kursus. Jadi, yes: a me time at last!

Dan yang saya lakukan hari Sabtu lalu adalah: menyingkirkan buku-buku keuangan itu jauh-jauh, dan memilih beberapa buku fiksi dari rak buku koleksi saya. Lalu mengambil tempat di bangku panjang di teras belakang rumah, dekat kolam ikan kecil dengan pancuran air yang bergemericik, setelah sebelumnya menyeduh secangkir teh hijau. Mmmh…love it!

Buku-buku yang saya pilih adalah: Amazing Gracie-nya Sherryl Woods (atau tejemahannya "Anugerah Terindah") dan “Curhat Ibu-Ibu”-nya trio Diansya-Rini Nurul-Tria Ayu. Buku yang pertama sudah saya miliki sejak lama dan sudah saya baca sebagian, tapi belum selesai, karena saya mendadak kehilangan mood (memang saya sering begitu dengan buku-buku fiksi romantis, entah kenapa). Buku yang kedua malah sudah saya baca habis, tapi saat ini saya tergerak ingin membacanya kembali.

Ok, we start with Amazing Gracie. Seperti yang saya katakan, ini fiksi romantis. Cerita tentang Gracie MacDougal, seorang (mantan) wanita karir yang meninggalkan pekerjaannya yang menarik dan penuh tantangan di sebuah hotel mewah di Paris karena konflik dengan the new boss, dan memilih untuk beristirahat dari kehidupan yang hingar-bingar di sebuah kota pantai kecil Seagull Point di Virginia. Di sana dia bertemu dengan Kevin Patrick Daniels, sang jagoan tampan nan flamboyan ala pria Amerika daerah Selatan yang gaya hidupnya bertolak belakang dengan gaya hidup Gracie sebelumnya: santai, tanpa beban, meski tetap punya sikap. Dan yah, bisa ditebaklah! Keduanya saling tertarik, tapi saling menyangkal perasaan masing-masing, ada pertentangan dan pertengkaran yang isunya adalah keinginan Gracie untuk membeli rumah kuno warisan keluarga Daniels untuk dibuat penginapan nyaman namun Patrick enggan melepaskannya begitu saja dengan mudah; ada si orang ketiga Max, mantan bos Gracie yang stubborn yet charming dan bikin panas hati Patrick. Tapi akhirannya ya live happily ever after. Now you know why I lost my mood so easily not until half of the story…(*sigh*—lagian kenapa dibeli?).

Buku yang kedua adalah buku non-fiksi lokal. Saya beli di sebuah toko buku kecil di kampung halaman saat mudik lebaran kemarin. Judulnya “Curhat Ibu-Ibu” yang kalau hanya lihat dari cover-nya saya nggak akan heran kalau banyak yang merasa kecele karena mengira buku ini bercerita atau membahas tentang persoalan ibu-ibu kelas menengah ke atas, arisan-lah, belanja barang branded-lah atau aspek kehidupan sosial kaum urban lainnya. But NO (with big N and O). Gambar di cover memang memberikan kesan yang keliru, karena ini adalah cerita tentang 3 ibu yang bisa dibilang dari kelas menengah ke bawah dan tinggal di kompleks perumahan sangat sederhana (RSS) yang terletak di pinggiran kota, di tepi lembah, bahkan di kaki gunung, lengkap dengan segala suka-duka dari drama kehidupan mereka di lingkungan tersebut. Nyicil kompor gas, pinjam-meminjam atau pinta-meminta bumbu dapur, arisan PKK (iya, PKK yang saya kira juga sudah punah bersama dengan berlalunya era sang penguasa Orde Baru), politik pemilihan Ketua RT, kenduri yang pakai panggung musik dangdut, and soon and so forth.

Favorit saya adalah babak di kaki gunung-nya Rini Nurul: “Dari Pinggiran ke Pinggiran”. Meskipun tidak disebutkan nama daerah tempat tinggalnya, tapi sepertinya saya tahu dan bisa membayangkan karena rasanya lokasinya tidak jauh dari desa KKN saya jaman kuliah dulu di Kabupaten Bandung. Pagi yang berkabut, puncak gunung yang terlihat dekat dan sering diliputi awan, hujan angin yang seperti badai, jalanan yang berbukit, that was the (remote) area I used to live for 3 months more than 15 years ago. Membacanya membuat saya bernostalgia saat saya masih seorang mahasiswi semester 5 dimana persoalan hidup masih begitu sederhana. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan kecuali nilai ujian dan kiriman uang saku dari orang tua setiap bulannya (itupun hampir tidak pernah terlambat diterima).

Tapi mungkin memang inilah yang menggerakkan saya untuk memilih kedua buku tersebut. Kalau dipikir-pikir, keduanya bercerita tentang kehidupan yang jauh dari gegap gempita dunia kerja dan kompetisinya yang kerap melelahkan (like where I’ve been living in now). Tidak ada rangkaian meeting yang melelahkan (dan membosankan), tidak ada proyek trilyunan rupiah yang harus digolkan, tidak ada negosiasi perjanjian bisnis alot yang harus dimenangkan.

I wish that I could be like Gracie yang meninggalkan semuanya dan menyepi di sebuah pondok kecil cantik di pinggir pantai dan larut dalam kehidupan Seagull Point yang lamban dan tak menuntut. Atau seperti Rini Nurul yang bekerja dari rumah kecilnya di tepi gunung dengan laptop, kamus dan naskah terjemahan.

But, do I really want to exchange my life with theirs?

Benar kata pepatah: rumput tetangga sering terlihat lebih hijau. Yang benar kita seharusnya mensyukuri saja semua yang telah dipilihkan dan diberikan Allah SWT untuk kita serta menjalaninya dengan baik. Tidak adil rasanya kalau saya hanya mengeluhkan kewajiban yang harus saya jalani sementara saya telah menerima berbagai fasilitas dan kenikmatan lainnya dengan posisi baru saya. Dan mungkin tanpa semua kesibukan itu saya tidak akan bisa menemukan keindahan cerita-cerita sederhana yang saya nikmati hanya dari teras belakang rumah dengan hanya ditemani secangkir teh hijau.

I think life is wonderful if we know how to deal with it...

DN