Minggu, 05 September 2010

Data dan Referensi dalam Bacaan

Siapa bilang hanya karya ilmiah yang membutuhkan data dan referensi? Sebuah tulisan fiksi pun idealnya memiliki rujukan data dan referensi saat menyajikan latar belakang atau setting ceritanya. Apalagi kalau latar belakang atau setting cerita itu real bukan semacam dongeng. Meskipun fiksi itu dimaksudkan semata-mata menghibur, namun alangkah baiknya apabila para pembacanya tidak sekedar diberi refreshment tapi juga dijanjikan potongan-potongan pengetahuan untuk memperkaya wawasan dan khasanah pemikiran. Minimal, janganlah para pembaca ‘dibodohi’ dengan penjelasan yang apa adanya, apalagi fakta yang diselewengkan.

That’s why saya sangat salut kepada para penulis fiksi yang benar-benar mendedikasikan waktu, tenaga dan pikiran dalam menciptakan karya-karya mereka. Tidak semata-mata menulis (atau mengetik) apa yang ada di kepala mereka, tapi berusaha ‘mempertanggungjawabkan’ logika bercerita yang sedang mereka bangun dengan data dan referensi yang diupayakan akurat. Eiji Yoshikawa dan Pramudya Ananta Toer mengolah cerita-cerita mereka dengan setting sejarah jaman-jaman kerajaan yang detail. Karl May yang orang Jerman berhasil menciptakan setting Amerika Serikat yang cukup detail buat tokoh Old Shatterhand di serial Winetou-nya. Padahal konon waktu dia menuliskan buku itu sama sekali belum pernah menginjakkan kaki di bumi Amerika. Jadi hanya berbekal referensi tentang negara tersebut. Lalu Dewi 'Dee' Lestari bahkan sengaja mempelajari buku-buku science populer (padahal background-nya ilmu sosial) demi tercipta novel Supernova yang menggunakan konteks science. Masih ada Agatha Christie yang apabila sedang menggarap babak pembunuhan yang menggunakan racun, dia pun rajin mengumpulkan info tentang jenis-jenis racun berikut tingkat dosis yang mematikan dan reaksinya kepada sang korban. Tidak jarang Ibu Agatha berkonsultasi pada kalangan medis mengenai hal ini.

Jadi semuanya tidak asal ngecap atau asal tempel. Meskipun mungkin ada beberapa data yang tidak benar-benar tepat, tapi paling tidak usaha mereka patut dihargai tinggi. Apalagi di tengah keterbatasan akses terhadap informasi, seperti Pramudya saat menuliskan “Arok Dedes”, misalnya. Saya tidak bisa membayangkan darimana dia mengumpulkan informasi sejarah jaman Singosari yang begitu lengkap mengingat ketika itu dia sedang dalam masa penahanan di Pulau Buru. Kalau jaman sekarang sih kita tinggal meng-google untuk mendapatkan kepingan info yang kita butuhkan. Tapi 3-4 dekade yang lalu? Di pulau terpencil lagi!

Saya pun jadi kurang respek dengan para penulis yang mengabaikan detail-detail cerita seperti itu. Menyebut tokohnya sebagai wartawan, tapi tak ada sedikitpun cerita yang menggambarkan dunia jurnalistik yang digelutinya (seperti cerita-cerita sinetron Indonesia yang selalu menjadikan tokoh pria utamanya sebagai eksekutif muda, tapi satu-satunya gambaran yang mengindikasikan mereka sebagai eksekutif muda adalah saat mereka menandatangani setumpuk surat-surat yang disodorkan oleh sekretarisnya). Mengambil setting Papua, tapi tak banyak sudut Papua yang bisa ia gambarkan. Atau, mengambil setting jaman perang kemerdekaan tapi menciptakan sendiri nama-nama dan peristiwanya serta pilihan tempat kejadiannya, tanpa sedikit pun merujuk pada realita sejarah yang ada. Atau kalaupun mereka mencoba menyajikan detail, hal itu dilakukan dengan kesan ‘tempelan’ yang jelas sekali. Tidak benar-benar menyatu dengan alur cerita.

Bagi saya cerita-cerita minim-riset (saat riset sebenarnya dibutuhkan) atau abai-detail seperti itu bahkan menghibur pun tidak, malah justru menjengkelkan. Kalau memang tidak ingin repot dengan riset, maka sebaiknya para penulis itu memastikan bahwa apa yang ditulisnya adalah hal-hal yang dikenalnya dengan baik. Karena, menulis idealnya adalah sebuah kegiatan transfer of knowledge atau sharing experience. Terlebih mengingat membaca umumnya dimaknai sebagai suatu aktivitas positif yang mencerdaskan bahkan tak jarang menjadi indikator kualitas hidup suatu bangsa, sehingga para generasi muda pun didorong untuk lebih suka membaca. Apa jadinya kalau kegiatan yang dianggap mencerdaskan ini hanya dipenuhi dengan sesuatu yang ‘kosong’ atau bahkan ‘menyesatkan’?

Jadi ketika dalam sebuah tulisan fungsi transfer pengetahuan atau sharing pengalaman ini diabaikan atau malah dimanipulasi, maka apa yang lebih pantas dilakukan selain menyarankan agar tulisan tersebut masuk kotak untuk diberi segel ‘un-recommended readings’?

DN

Kamis, 02 September 2010

Baca Lirik Lagu

Lagu itu nggak cuma musiknya yang enak didengar, tapi kalau liriknya bagus pun asik untuk dinikmati, meskipun kita tidak sedang mendengar musiknya dimainkan. Saya mulai suka ‘membaca’ lirik lagu waktu kelas 1 SMP. Saat itu lagi senang-senangnya belajar Bahasa Inggris dan kebetulan nemu lirik lagu ‘Nobody’s Child’. Dengan telaten saya mencoba mengurai satu demi satu kata dalam syair tersebut dan dengan gembira menemukan: there’s a story behind it! Ada yang pernah dengar atau tahu lagu ini? Kayaknya cukup ngetop di tahun 1980-an dan sering masuk kaset atau CD ‘evergreen’. Tentang seorang anak panti asuhan yang buta dan selalu terlewat pada saat para calon orang tua angkat datang untuk memilih anak yang akan mereka adopsi. Quite touchy. "But when they see I’m blind, they always take some other child and I am left behind…"

Sejak saat itu saya jadi bisa menghargai sebuah lagu dari dua sisi: musik dan liriknya. Kadang meski musiknya nggak oke pun kalau liriknya asik, saya bisa jatuh cinta sama tu lagu, seperti ‘Jangan Menyerah’-nya D’Masiv. Saya nggak suka musiknya (dan jarang suka lagu-lagu boy band jaman sekarang), tapi menurut saya syair lagu itu cukup dahsyat. "Syukuri apa yang ada, hidup adalah anugerah. Tetap jalani hidup ini, melakukan yang terbaik…"

Sebaliknya ada juga yang musiknya lumayan asik tapi liriknya nggak oke buat saya, yaitu lagu-lagunya Melly Goeslaw, Maia Estianty sama ABBA. Kadang malah terkesan asal tempel kata. Herannya, Dewi ‘Dee’ Lestari yang piawai sekali mengolah kata dalam novel, cerpen ataupun essay, pernah nggak oke banget nulis syair lagu yang judulnya 'Malaikat Juga Tahu' (di CD yang jadi bagian buku ‘Rectro Verso’-nya), terutama bagian yang ini: "Namun hati ini, silahkan kau adu. Malaikat juga tahu, siapa yang jadi juaranya" (goodness…).

Buat saya, syair yang bagus nggak perlu yang hebat-hebat amat kayak lirik lagu-lagunya Katon Bagaskara yang puitis dan nggak harus seperti Bimbo juga yang religius. Yang penting meaningful. Ini memang subyektif. Buat orang-orang yang lagi jatuh cinta ataupun putus cinta yang meaningful mungkin ya lagu-lagu cinta yang mellow dan penuh ungkapan perasaan hati. Buat yang perlu dorongan semangat atau optimisme, mungkin lebih memilih lagu-lagu kayak Greatest Love of All atau One Moment in Time-nya Whitney Houston, atau Hero-nya Mariah Carey. Buat para ibu-ibu di kampung yang sedang ditinggal sama suaminya jadi TKI mungkin lebih suka 'Jablay'-nya Titi Kamal. Buat para pensiunan atau yang mendekati masa pensiun lagu standarnya adalah My Way yang dipopulerkan oleh Frank Sinatra: "And now the end is near, and so I face the final curtain…"

Tapi sebenarnya nggak juga sih. Tahu lagu Take a Bow-nya Rihanna nggak? (bukan yang Madonna ya). Buat saya liriknya keren banget, meskipun saya sendiri tidak sedang (bahkan tidak pernah) mengalami apa yang diceritakan oleh lirik tersebut. Tentang seorang cewek yang merasa tertipu sekali dengan cowoknya yang ternyata selingkuh. Klasik memang. Tapi pilihan kata yang dimaksudkan untuk menyindir si cowok sebagai award-worthy actor, kena sekali.

"But you put on quite a show, really had me going
But now it’s time to go, curtain finally closing

That’s was quite a show, really entertaining
But it’s over now, go on and take a bow

And the award for the best liar goes to you

For making me believe that you could be faithful to me
Let’s hear you speech out"

Lalu Ben-nya Michael Jackson yang konon inspirasinya diambil dari pesahabatan Michael kecil dengan tikus dapur, liriknya juga keren. Yang lokal, ‘Ratu Sejagad’-nya Vonny Sumlang nggak kalah keren, lucu. Dari dulu saya suka. Selain itu yang religius favorit saya adalah ‘Akhirnya’-nya Gigi plus musiknya juga (syahdu bo!). Sssttt…ada rahasia saya yang sedikit norak. Kalau saya sedang berkunjung ke negara-negara lain yang maju dan makmur, kadang saya suka membatin bagaimana rasanya menjadi penduduk negara seperti ini. So, to make my heart not too desperate with such a situation (being an Indonesian for real hehehe), maka diam-diam saya suka menyenandungkan lagu ‘Tanah Air’-nya Ibu Sud. Bagi saya, diantara lagu-lagu nasional, atau dulu disebut lagu wajib, lirik lagu itu yang paling bisa membangkitkan rasa nasionalisme!

Kalau syair-syair lagu yang saya suka karena sesuai suasana hati saya sudah pasti ada. Banyak malah. Waktu saya sekolah di Australia dulu, lagu Bad Day-nya Daniel Powter lagi ngetop banget dan sering diputar di radio. Jauh dari keluarga, sendirian di negara orang, maka kalau sedang bete saya pun akan menyetel lagu itu keras-keras dan menyanyikannya (kalau sedang nggak ada orang tapi, biar nggak ditimpukin).

"Sometimes the system goes on the blink, and the whole thing turns out wrong
You might not make it back, and you know that you could be well oh that strong"

Sekarang kalau saya sedang ditinggal suami dinas ke luar kota atau ke luar negeri, rasanya saya jadi pengen menyenandungkan lagu You Belong to Me (bukan You Belong with Me-nya Taylor Swift lho!), yang sudah dinyanyikan dalam berbagai versi meski selalu dalam irama jazz.

"Fly the ocean in a silver plane. See the jungle when it's wet with rain
Just remember till you're home again. You belong to me…"

Cieee…, suit, suit!

To sum up, we can read almost anything so long as it can be transferred into alphabets!

DN