Minggu, 30 Mei 2010

Enjoy Your Life (Dr. Muhammad al-'Areifi)

Akhir-akhir ini banyak kejadian besar yang terjadi di lingkungan tempat kerja saya. Kejadian-kejadian besar yang mau tidak mau membuat saya jadi menebak-nebak, pesan apa yang ingin Sang Maha Kuasa sampaikan melalui kejadian-kejadian tersebut. Saya tidak ingin menyebutkan secara spesifik kejadian yang saya maksud, karena bakal mengungkap hal-hal yang sangat berbau sensasi ala TV One (stasiun TV yang sekarang hobi bikin siaran infotainment-nya dunia politik).

Tapi manusia memang tidak pernah lepas dari persoalan dan tantangan hidup. Karena hidup itu sendiri nggak bisa diarahkan untuk selalu berjalan sesuai mau kita. Dan Sang Pemilik Hidup pun mempunyai kehendak yang tidak selalu bisa kita pahami pertimbanganNya. Satu saat Dia memberi kita ujian berupa kesenangan atau kemuliaan, di saat lain Dia memberi kita ujian yang terasa menyakitkan. Tapi bukan tanpa maksud lho. Sebagaimana firman-Nya, “Tiada suatu bencana yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan dia telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikanNya kepadamu.” (QS Al-Hadid: 22-23).

Sebagai manusia biasa (emang siapa juga yang bilang saya manusia luar biasa?) saya pun tak luput dari pasang surut gelombang kehidupan yang kadang bagai melambungkan kita ke puncak tertinggi, namun tak jarang juga seperti menghempaskan kita ke dasar yang paling rendah. Dalam kondisi seperti ini saya sangat bersyukur karena sebagai seorang Muslim saya selalu punya sarana untuk melarikan segala beban pikiran dan perasaan saya, yaitu melalui shalat. Saat shalat rasanya saya sedang melepaskan beban tersebut dan berbagi (baca: curhat) dengan Tuhan. Lalu setelah shalat saya akan membaca doa-doa yang disarankan untuk melapangkan hati orang-orang yang sedang menghadapi kesulitan. Dilanjutkan dengan memilih surat atau ayat dalam Al Quran yang isinya mengena sesuai dengan persoalan yang sedang saya hadapi untuk saya lantunkan. Rasanya damai…(kalau sudah gitu sebenarnya saya suka malu sama ati, karena saya seolah bisa membayangkan para malaikat berkata, “Hmmh, giliran punya masalah aja, shalat sama baca Quran-nya serius!”).

Tapi nggak cuma itu. Ada satu hal lain yang biasa saya lakukan kalau perasaan saya sedang drop dan saya butuh ‘doping’ untuk memulihkan mood dan optimisme saya: baca buku-buku yang menyejukkan. Secara gitu saya seorang bacamania. Kalau seorang musikmania mungkin akan memilih mendengarkan lantunan nada yang mengalir lembut dengan syair yang memotivasi. Whatever you say, it works for me. Membaca buku yang tepat di saat suasana hati sedang nggak enak juga bisa jadi terapi yang efektif lho! Asal bisa milih bukunya aja.

Beberapa waktu yang lalu, buku La-Tahzan (Jangan Bersedih)-nya Dr. Aidh al-Qarni merupakan buku yang banyak dicari orang, termasuk saya, sebagai buku penyejuk jiwa. Beberapa waktu sebelumnya, buku “Lentera Hati”-nya Quraish Shihab yang laris manis di pasaran, dan saya juga punya “Meraih Bening Hati dengan Manajemen Qolbu”-nya Abdullah Gymnastiar atau AA Gym yang di awal tahun 2000an masih bersinar sebagai dai kondang dengan statusnya yang masih seorang monogamis…(makanya A! hehehe...'dendam' amat!).

Sekarang saya sedang senang membaca buku Enjoy Your Life (Seni Menikmati Hidup) punya Dr. Muhammad al-Areifi. Modelnya hampir sama dengan La Tahzan, namun dengan bahasa yang lebih ringan (tapi mengena). Buku ini banyak mengambil kisah-kisah di jaman Rasulullah sebagai ilustrasi hikmah yang hendak disampaikan. Tapi kalau La Tahzan memiliki topik-topik bahasan yang umum, dalam arti bisa diaplikasikan pada konteks lingkup kehidupan yang luas, kehidupan bermasyarakatlah, kehidupan rumah tanggalah, kalau Enjoy Your Life (EYL) lebih segmented, karena banyak mengangkat topik yang cocok bagi mereka yang bekerja, dengan bab-bab seperti: Kembangkan Diri Anda, Jadilah Orang yang Memiliki Kelebihan, Nikmatilah Berbagai Kecakapan, Seni Berdebat (buat di ruang rapat kali ya, untuk menghadapi ‘macan-macan’ rapat), Seni Mendengarkan (tuh, jadi orang jangan suka minta didengar aja tapi juga mau mendengarkan), dll, dst, dsb…

Sama seperti cara saya baca buku-buku penyejuk jiwa lainnya, saya nggak baca buku itu secara berurutan bab demi bab. Melainkan memilih dari bab yang terlihat cocok dengan suasana hati atau persoalan yang sedang saya hadapi saat membuka buku tersebut.

Dan saat ini, ketika melihat kejadian besar yang terjadi di tempat saya dimana salah satunya menyebabkan seorang petinggi kantor mengundurkan diri karena sebuah kebijakan yang dianggapnya merugikan posisinya atau karirnya (yaitu sang pimpinan tertinggi lebih memilih untuk mengangkat orang lain untuk mengisi jabatan yang diinginkannya). Saya pun membuka buku EYL untuk mencari nasihat apa yang bisa ditawarkan oleh Dr. al-Areifi terhadap situasi ini. Saya menemukan satu bab yang judulnya: “Apabila yang Anda Inginkan Tidak Terjadi, Inginkanlah Apa yang Akan Terjadi.” Dan isinya mengena sekali! Pesan moral yang tertulis pada box di bagian akhir tulisan adalah: "Tidak semua yang diidamkan seseorang itu bisa diraih. Angin pun sering bertiup ke arah yang tidak dikehendaki bahtera." Ini saya kutipkan beberapa kalimatnya:

Selama Anda harus menjalaninya, nikmati saja…Kebanyakan orang mengambil jalan keluar dari persoalannya dengan bersedih secara berkepanjangan, menyalahkan keadaan, dan banyak mengeluh...Sikap seperti ini tidak akan mengembalikan rezki yang luput darinya, dan tidak mendatangkan rezki yang tidak ditakdirkan untuknya...Orang berakal adalah orang yang mampu menyesuaikan diri dengan kenyataan, apa pun bentuknya, selama dia belum mampu mengubahnya menjadi sesuatu yang lebih baik…(halaman 346).

Hmmm...so wise! Dr. al-Ariefi dalam bab itu juga mengangkat satu kisah yang menunjukkan teladan Rasulullah. Rasulullah tidak pernah mengeluh sesempit apa pun situasi yang tengah dihadapinya. Beliau menikmati dan mensyukuri apa yang sedang berada dihadapannya sambil tetap berikhtiar untuk bisa merubah kondisi yang ada menjadi lebih baik.

Jadi, apabila yang Anda inginkan tidak terjadi, inginkanlah apa yang akan terjadi. Dan sementara itu, nikmati saja apa yang ada dan syukurilah, selama itu merupakan hal yang harus dijalani karena kita belum memiliki solusi yang lebih baik. Sebab, sekali lagi menurut Dr. al-Ariefi , sesungguhnya kebaikan itu bersumber dari apa yang tersedia. Mungkin nggak gampang buat sebagian orang. Ada yang berargumen: Ini masalah harga diri! (kalau jabatan itu pada awalnya sudah dijanjikan untuknya). Atau: Ini masalah keadilan! (kalau jabatan itu diberikan pada orang yang dianggap tidak lebih baik darinya).

Tapi yakinlah, sebagaimana surat Al-Hadid ayat 22-23 di atas, tidak ada segala sesuatu pun di muka bumi ini yang terjadi bukan karena kehendak-Nya. Jika Allah berhendak memberikan suatu kemuliaan bagi kita, maka tidak ada seorang pun yang bisa mencegahnya. Sebaliknya, jika Allah tidak atau belum menghendaki, maka tak seorang pun yang bisa memberikan ataupun menyegerakannya. Are you with me?

DN
(PS: Sori jadi ceramah, kayak ustadzah dadakan. Tapi sekali-kali boleh dunk...)

Kamis, 27 Mei 2010

Alberthiene Endah: Ratu Metropop Indonesia

Chicklit karya penulis Indonesia yang diterbitkan oleh penerbit Indonesia lebih sering disebut Lajang Kota atau Metropop. Maksudnya mungkin ini cerita wanita muda metropolitan yang kental dengan budaya pop. Atau mungkin wanita muda yang suka naik metro mini sambil dengerin musik pop. Nggak tau juga…

Sejauh ini cuma tiga penulis metropop yang pernah saya baca (sejauh yang saya ingat tapi, mungkin lebih, tapi saya males ngaku): Clara Ng, Tria Barnawi, dan Alberthiene Endah. Penulis pertama, buku yang pernah saya pernah baca hanya: “Indiana: The Chronicles”. Dan setelah itu saya nggak nafsu lagi cari buku-bukunya yang lain. Kurang pas aja dengan selera saya. Penulis kedua saya hanya pernah baca bukunya “The Lunch Gossip”. Not so bad-lah. Tapi nggak kepengen sengaja nyari bukunya lagi. Saya bikin perumpamaannya begini: saya pernah nyobain makan nasi goreng kambing, karena penasaran aja. Tapi setelah makan saya memutuskan kalo saya nggak suka (karena bau kambing) dan nggak kepengen makan lagi. Itu untuk penulis pertama. Saya juga pernah makan soto mie. Lumayan sih, tapi saya hanya akan makan itu lagi kalau saya nggak punya pilihan lain. Dan nggak akan pernah saya sengaja muterin kota cuma buat beli soto mie. Itu untuk penulis kedua.

Sedangkan penulis ketiga, Alberthiene Endah, saya menemukan Sophie Kinsela (my favorite chicklits author) di gaya bertuturnya. Jadi artinya ya lumayan cocok. Karyanya yang pertama saya baca adalah “Cewek Matre.” Itu karya yang lahir saat The Devil Wears Prada sama The Confession of Shopaholic lagi laku di pasaran. Jadi ceritanya satu model. Tentang kehidupan cewek lajang di tengah dunia konsumerisme sehingga hari-harinya dikelilingi oleh gemerlap barang-barang branded.

Cewek Matre bercerita tentang Lola, seorang humas radio yang dengan gajinya yang nggak bisa disebut tinggi itu dia tergoda untuk mengikuti gaya hidup teman-teman kantornya yang borju (yang istri atau anak dari pengusaha sukses atau menantu pejabat atau presenter kondang). Bukannya berusaha mengoptimalkan keahlian profesionalnya atau alternatif lain yang terhormat, Lola lebih memilih untuk menggunakan kelebihan fisiknya untuk mendapatkan berbagai benda fashion impian dengan cara menebarkan pesona kepada laki-laki berduit. Tentu saja dengan konsekuensi yang tidak ringan. Dan baru setelah semuanya bisa dikatakan terlambat, Lola menemukan kalau kelebihan fisiknya bisa dimanfaatkan untuk merebut peluang lain yang less risky: jadi model.

Lumayan menghibur sih. Ceritanya mengalir, beberapa bagian sempat membuat saya tertawa. Yang agak mengganggu cuma kalau Mbak Alberthine lagi nyoba make bahasa Inggris untuk dialog tokoh-tokohnya. Maksa banget! (Ok, I understand that that Philip guy spent most of his life in the US. The problem is not with Philip, but with Ms. Alberthiene herself when she tried to use her poor English for Mr. Philip!).

Karya Albethine selanjutnya yang saya baca adalah “Selebriti”. Inti ceritanya tentang si Icha gadis dari kota kecil yang nggak ada angin nggak ada hujan tiba-tiba, jreng, jreng…! Dia ditawari jadi manajer selebriti. Dari satu selebriti ke selebriti yang lain. Mulai dari penyanyi dangdut, penyanyi rap, sampai penyanyi pop, lengkap dengan segala suka-dukanya, sebelum dia mengakhiri karirnya jadi (silahkan tahan napas)…manajer grup penari ronggeng di kampungnya sendiri!

Sekali lagi, lumayan menghibur, selama kita nggak berharap terlalu muluk dari karya yang satu ini. Cuma buat sekedar cengar-cengir sendiri aja sih dapet-lah. I mean, come on this is only a metropop. It would be too much if you expect a worth quoting or philosophic dialogues or anything of a literature’s quality. Beberapa bagian kelihatannya merupakan curcol (curhat colongan) dari selebriti real yang wajar saja didapat Alberthine sebagai penulis yang dekat dengan dunia selebriti.Asik juga buat main tebak-tebakan...

Terakhir saya membaca “Nyonya Jetset”. Awalnya saya nggak terlalu tertarik untuk membeli sampai saya melihat keterangan di buku yang menyebutkan “based on a true story”. Weits, menggoda juga nih! Siapa tahu saya bisa main tebak-tebakan lagi! Kalau dari cerita sih lumayan tragis juga hidupnya. Seorang model (Roosalin) yang menikah dengan anak konglomerat yang rada nggak beres mentalnya, juga mental keluarganya. Hanya indah pada saat bulan-bulan ‘promosi saja’, selebihnya si Roosalin baru menyadari kalau dia ternyata menikahi seorang psycho!

Again, it’s quite entertaining. Dengan akhiran yang setipe dengan Cewek Matre. Sang tokoh terbebas dari jerat kehidupan yang kelam dan siap menyongsong masa depan yang lebih bermartabat. Tapi, satu hal yang saya agak merasa ‘tertipu’. I failed to get a clue who Roosalin is in the real life, even after I gave full attention on the details of her life! Ada kaitan sama keluarga konglomerat ‘B’ nggak ya? Hehehe….

Yah, lepas dari perdebatan dari segi kualitas, cerita-cerita Mbak Alberthiene enak untuk dibaca. Gaya bertuturnya mengalir, dan ide-ide ceritanya banyak yang menarik pembaca untuk nggak sekedar membaca dari sinopsis di sampul belakang. Kalo harus bikin perumpamaan dengan makanan lagi, ya bakso lah! Meskipun bukan jenis makanan bergizi tapi saya nggak akan nolak kalo ditawarin lagi, atau malah kadang sengaja nyari kalo lagi pengen selingan makanan.

Jadi kalau menurut saya, dibanding para penulis metropop lainnya sih Mbak Alberthiene masih ratunya!

DN

Rabu, 19 Mei 2010

Gerakan Hibah Buku untuk Berbagi Bacaan

Check this out:

Gerakan Hibah Buku untuk Berbagi Bacaan: http://edukasi.kompas.com/read/2010/05/19/08303328/Gerakan.Hibah.Buku.untuk.Berbagi.Bacaan.

Ada yang berminat?

DN

Jumat, 07 Mei 2010

Minat Baca Orang Indonesia

Ada sepotong berita menarik di situsnya kantor berita Antara (http://www.antaranews.com) akhir April lalu. Katanya, minat baca masyarakat Indonesia sebenarnya tinggi. Hanya saja, fasilitas dan sarana prasarana yang ada masih kurang. Itu kata Kepala Pusat Pengembangan Perpustakaan dan Pengkajian Minat Baca Perpustakaan Nasional RI, Bapak Teuku Syamsul Bahri, lhoooo…Jadi cukup terjamin akurasinya.

Terlepas dari apakah pernyataan Bapak Teuku Syamsul Bahri tersebut didukung oleh data statistik atau tidak, tapi pengalaman saya sendiri mengatakan saya mendukung pernyataan beliau 100 persen! Siapa bilang minat baca orang Indonesia rendah?

Coba hitung, berapa banyak rata-rata toko buku yang ada di setiap kota di seluruh Indonesia? (hehehe…susah ngitungnya ya?). Minimal ada satu-lah. Kalau ada yang bilang toko buku cuma untung di penjualan stationery saja, coba tanya pada diri sendiri, berapa kali dalam satu bulan kita belanja stationary? Belum tentu satu bulan sekali kan? Jadi, yakin bahwa toko-toko buku di Indonesia bertahan hidup kebanyakan dari penjualan stationary saja?


Itu pun belum bisa dijadikan ukuran. Karena persoalannya memang tidak semua orang Indonesia mampu membeli bacaan karena keterbatasan ekonomi, selain pendapat bahwa harga buku-buku di Indonesia kurang affordable. Satu buku bacaan yang dibeli oleh seseorang di toko buku, besar kemungkinan akan dibaca oleh lebih dari satu orang dengan status rata-rata peminjam. Belum lagi fakta bahwa toko buku seperti Gramedia memang membolehkan buku-bukunya untuk dibaca di tempat.


So
, kalau tingkat penjualan kendaraan bermotor bisa dijadikan indikator pertumbuhan ekonomi di suatu negara, maka tingkat penjualan buku tidak bisa dijadikan indikasi minat baca masyarakat suatu negara.


Tapi okelah kalau pernyataan-pernyataan saya di atas amat sangat debatable sifatnya. Jadi mending saya sharing aja. Dulu di kampung masa kecil saya, banyak keluarga dengan tingkat ekonomi yang bisa digolongkan menengah ke bawah. Boro-boro untuk beli bacaan, buat makan saja ngepas.


Kebetulan, keluarga saya meskipun nggak kaya, tapi kesadaran dan kemampuan finansial untuk membeli buku alhamdulillah masih ada. Dalam satu bulan, ada saja bacaan yang dibelikan oleh orang tua saya untuk anak-anaknya dan untuk mereka sendiri. Plus beberapa majalah yang rutin berlangganan. Dan hal ini tentu saja diketahui dengan baik oleh tetangga-tetangga saya.


Nggak heran kalau rumah saya jadi kayak perpustakaan publik! Tiap hari ada saja anak-anak yang datang ke rumah dan gelosoran di lantai teras sambil membaca buku atau majalah. Saya masih ingat sekali. Para orang tua di kampung saya paling senang kalau anak-anaknya main di rumah saya. Karena kalau di sana mereka anteng baca buku, nggak keluyuran di jalanan.


Umur anak-anak itu rata-rata usia SD. Kakak-kakaknya yang usia SMP ke atas lebih suka meminjam dan membawa pulang buku atau majalah keluarga saya. Tapi mereka baik-baik kok, dan nggak menerapkan pepatah Gus Dur yang mengatakan: “Hanya orang bodoh yang mau meminjamkan buku miliknya. Tapi hanya orang gila yang mau mengembalikan buku yang berhasil dipinjamnya.” Kebanyakan buku atau majalah saya balik. Malah nggak sedikit buku-buku yang saat dipinjam cover-nya lecek atau halamannya terlepas, saat kembali sudah disampuli atau dijilid rapi.


Itu baru contoh di kampung saya. Saya juga pernah membaca (atau nonton di TV ya?) seorang ibu yang rajin bersepeda berkeliling kampung untuk meminjamkan buku-buku secara gratis kepada anak-anak di kampung tersebut. Tanpa bayaran lho! Mana ada cerita semacam itu kalau bukan karena minat baca orang Indonesia yang tinggi?


Betul kata Pak Teuku
Syamsul Bahri, "Permasalahannya bukan karena minat baca yang rendah tetapi fasilitas dan sarana prasarana yang disediakan masih belum lengkap." Dalam hal ini pembangunan fasilitas perpustakaan yang memadai di daerah-daerah lebih diharapkan daripada pembangunan toko buku.

Pada akhirnya, ini hanya masalah kebiasaan. Anak-anak yang sedari kecil bisa mengakses bacaan dengan mudah, mereka akan tumbuh dengan minat baca yang baik. Saya sudah membuktikan sendiri kok. Menumbuhkan minat baca sama mudahnya dengan menumbuhkan minat menonton TV. Bagi yang mampu, sediakan saja bacaan-bacaan yang menarik di rumah. Dijamin anak-anak akan memiliki alternatif kegiatan yang menyenangkan di rumah selain menonton TV atau main play station.

Atau lebih bagus lagi, biasakan anak sedini mungkin mengunjungi toko buku atau perpustakaan dan memilih sendiri buku yang disukainya (dengan bimbingan orang tua tentu saja). Lalu sesekali ajak mereka berdiskusi ringan mengenai isi sebuah buku yang mereka baca. Bagi yang masih memiliki anak yang belum bisa membaca, jangan sungkan untuk membacakan cerita sebelum tidur. Eh, tapi anak yang sudah bisa membaca pun akan senang-senang saja mendengarkan orang tuanya membacakan cerita bagi mereka!

Pintar-pintarnya orang tua sajalah menciptakan budaya membaca yang menyenangkan bagi anak-anaknya. Dan anak-anak Anda pun akan menjadi bagian dari kelompok masyarakat di Indonesia dengan minat baca yang baik. Insha Allah...

And now, allow me to quote wisdom from an anonym:

“TV. If kids are entertained by two letters, imagine the fun they'll have with twenty-six. Open your child's imagination. Open a book.”

DN

Kamis, 06 Mei 2010

My Unread Books

Saya pernah baca tentang para fashionista yang seringkali membeli benda fashion yang pada akhirnya tidak pernah terpakai sama sekali. Saat melihatnya di butik, benda fashion itu begitu menggoda, seolah memanggil-manggil minta dibeli. Setelah dibayar dan dibawa pulang...eeh jadi tidak berselera memakai atau malah kadang lupa kalau benda itu ada diantara segambreng barang belanjaannya. Alhasil, benda malang tersebut hanya teronggok di sudut lemari tanpa pernah tersentuh…Unbelievable?

Jangan salah, saya juga sering mengalami kejadian seperti itu. Bukan dengan benda-benda fashion tapi, melainkan dengan bacaan atau buku! Bener lho, seringkali sebuah buku kelihatan menarik saat dibaca sinopsisnya di toko buku atau baca resensinya di media. Tapi begitu ia sudah ditangan, nggak jarang kita jadi nggak mood buat baca buku itu. Atau waktu akhirnya dibaca, baru beberapa lembar ternyata gaya tulisannya atau terjemahannya nggak enak dibaca. Wassalam deh.

Padahal kita kan sudah sepakat bahwa kekayaan bacaan itu dihitung dari apa yang kita baca, bukan apa yang kita miliki. Jadi buku-buku saya yang belum terbaca (habis) tersebut lebih tepat disebut hiasan rak buku ketimbang koleksi bacaan. Tapi yah, bukan cuma rocker yang juga manusia, seorang bacamania seperti saya juga manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan dan kekeliruan…

Barusan saya melongok ke lemari buku saya dan menemukan buku-buku yang sudah menjadi bagian dari koleksi saya tapi belum pernah tersentuh atau hanya terbaca di beberapa bab pertama, diantaranya: Confession of an Economic Hit Man—John Perkins (kehilangan mood, but I’ll finish it someday), Princess Masako—Ben Hills (gaya tulisannya nggak enak), The Guy Next Door—Meg Cabot (terlalu mengada-ada, mana ada orang satu kantor komunikasinya melalui email melulu, nggak pernah copy darat apa?), For Better and Worse—Carole Matthew (nggak selucu yang diharapkan), Kronik Betawi—Ratih Kumala (nggak mood), Madrasah Kampung Sawah—Alang Alang Timur (Laskar Pelangi banget, tapi dalam versi yang mengada-ada), Senandung Cinta di Rumah Kayu—Dee dan Kuti (it was a mistake which happened when you judge a book only from its cover),and many more (!).

Kebalikan dari buku-buku yang belum sempat terbaca itu, ada buku-buku yang saya senang-senang saja untuk membaca ulang. Contohnya buku-buku Agatha Christie. Beberapa buku malah saya baca ulang lebih dari 1 kali kalau saya pikir saya sudah mulai lupa-lupa ingat sama ceritanya. Suami saya sampai nggak habis pikir dan berkomentar: “Ngapain sih dibaca lagi?” Itu pertanyaan standar yang sudah sering dia lontarkan tapi sampai sekarang nggak bisa saya jawab dengan pasti (jawaban standar saya: “Pengen aja. Emang nggak boleh?”). Nggak tau kenapa, saya menikmati sekali cerita-cerita Agatha Christie. Sama halnya seperti saya menikmati nonton ulang film drama romantis. Saya nggak pernah bosan tuh nonton misalnya You’ve Got Mail yang sudah diputar berulang kali di HBO, atau drama romantis lainnya kayak While You Were Sleeping, My Best Friend Wedding, One Fine Day. Saya sampai hapal beberapa bagian dialognya. Seneng aja gitu…

Tapi sebenarnya saya punya kiat buat menghabiskan my unread books. Misalnya kalau mau bepergian jauh dan berhari-hari (khususnya dalam rangka kerja), bawa saja satu buku yang selama ini kalau di rumah saya nggak berselera buat nyentuh. Pasti kan ada aja saat-saat manyun yang perlu buat diisi dengan kegiatan, kayak di dalam pesawat, di boarding room bandara, di kamar hotel menjelang tidur tapi belum benar-benar mengantuk. Mau nggak mau satu-dua bab terbaca juga buku itu. Atau, saat sakit. Terkapar seharian di tempat tidur salah satu alternatif kegiatan yang nggak menguras tenaga selain nonton TV ya baca. Ambil saja salah satu buku yang paling nggak menarik dan letakkan di tempat yang mudah terjangkau dari tempat tidur. And then, when you don’t have anything to do, when you have been tired of sleeping or bored with TV programs, and there’s nobody around to talk with or to do any favors (like get you a good book at the shelves), the only thing you can do would be reading that (uninteresting) book!

Masalahnya, kalau jadwal bepergian atau istirahat sakit kita cukup panjang, maka peluang untuk menghabiskan buku-buku tersebut pun makin besar. Namun, kalau kebetulan jadwal perjalanan tersebut pendek atau istirahat sakit kita ternyata nggak perlu lama karena kita sudah pulih dengan cepat sementara buku-buku tersebut belum habis terbaca, maka hanya akan ada dua kemungkinan: (1) kalau ternyata buku yang semula kita kira nggak menarik itu ternyata oke banget pas kita mencapai bagian tengah, kita akan tetap berusaha menyelesaikannya meski sudah mendarat atau sudah nggak sakit; (2) kalau buku itu ternyata benar-benar nggak menarik dari awal sampai mendekati dua pertiga isi buku, so what can I say? Jika seorang fashionista sejati saja bisa keliru memilih benda fashion yang hanya perlu dinilai dari penampilan luarnya saja, apalagi seorang bacamania yang untuk menilai bagus-tidaknya sebuah bacaan idealnya harus membaca isi bacaan tersebut terlebih dahulu???

DN

Rabu, 05 Mei 2010

Cerita Wayang

Beberapa bulan lalu, saat bulan Ramadhan tahun 2009 tepatnya, saya tertarik melihat iklan penjualan komik wayang di restoran Sate Senayan. Judulnya “Riwayat Pandawa” karya Teguh Santosa. Agak janggal juga ya, buku dipasarkan di restoran? Apalagi untuk pembelian komik tebal yang tidak murah itu (Rp 300 ribuan, I don’t remember the exact price), kita dapat voucher Rp 100 ribu untuk makan di Sate Senayan. Ternyata Sate Senayan memang ikut berkontribusi dalam penerbitan komik itu bersama Pluz-publishing.

Eh, tapi saya bukan mau cerita tentang Sate Senayan. Ini tentang komik wayang yang after all these years this was the first time I saw a wayang comic published! Terakhir saya beli dan baca komik wayang itu awal s.d. pertengahan tahun 1980-an waktu saya masih duduk di bangku SD. Judulnya “Arjuna Sasrabahu” karya R.A. Kosasih. Jaman itu R.A Kosasih memang rajanya komik wayang. Saat itu saya memang mengoleksi komik wayang yang didukung sepenuhnya oleh ayah saya, dan hampir sebagian besar adalah karya R.A. Kosasih. Let me recall my collection: Mahabharata (4 jilid besar), Bharatayudha (3 jilid), Pandawa Seda (2 jilid), Parikesit (2 jilid), Prabu Udayana (2 atau 3 jilid ya?), Ramayana (2 jilid), Arjuna Sasrabahu (4 jilid), Wayang Purwa (1 jilid), dan Arjuna Wiwaha (1 jilid). Dari semua ini, cuma “Wayang Purwa” yang bukan karya R.A. Kosasih, tapi Oerip. Sisanya R.A. Kosasih semua!

Ciri khas karya R.A. Kosasih, dari sisi gambar, yang saya ingat gambarnya cakep-cakep! Perempuannya cantik-cantik, laki-lakinya ganteng-ganteng. Tapi kata kakak laki-laki saya (yang hobi gambar) muka tokoh-tokoh R.A. Kosasih mirip-mirip! “Yang beda cuma kostumnya aja,” kata kakak saya. Kalau Oerip, meskipun gambarnya terkesan garang dan serius, tapi dia bisa membuat karakter wajah yang berbeda-beda.

Dari sisi cerita, R.A. Kosasih cenderung lebih mendekatkan diri ke negeri asal cerita wayang: India. Jadi dia mengabsenkan tokoh-tokoh Punakawan (Semar, Bagong, Petruk, Gareng), dan lebih suka menggunakan nama-nama India daripada Jawa, baik untuk tokoh-tokohnya maupun negara-negaranya. Yudhistira bukan Puntadewa atau Samiaji, Bima bukan Werkudara, Duryudana bukan Suyudana, Indraprasta bukan Amarta, dan juga Hastina bukan Astina apalagi Ngastina. Pakem-nya juga pakem India. Srikandi, misalnya, tidak pernah diceritakan sebagai salah satu istri Harjuna (R.A. Kosasih memang menulis “Harjuna”, bukan “Arjuna”). Babak kisah Srikandi hanya menceritakan pertukaran jenis kelaminnya dari wanita menjadi pria dengan perantara seorang raksasa, dan pernikahannya dengan Dewi Utari. Selain itu, anak Bima yang dimunculkan di sana hanya Gatotkaca, tidak disebut-sebut tentang Antasena atau Antareja yang memang dikenal dalam pakem Jawa.

Kalau R.A. Kosasih perlu berjilid-jilid untuk menguraikan kisah hidup Pandawa, di “Riwayat Pandawa”-nya Teguh Santosa, buku setebal 472 halaman itu memuat tiga cerita besar sekaligus: Mahabharata, Bharatayudha dan Pandawa Seda, yang konsekuensinya ya setiap cerita hanya mendapat porsi halaman yang terbatas. Oleh karenanya, banyak bagian menarik yang harus dilewati atau hanya diceritakan secara sekilas.

Tapi tiga cerita tersebut memang merupakan inti dari kisah kehidupan Pandawa—lima ksatria bersaudara yang merepresentasikan kebaikan versi Hindu: Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa. Mahabharata adalah tentang riwayat kelahiran dan pertumbuhan mereka hingga dewasa yang kisahnya dirunut sejak kakek buyut mereka, Prabu Sentanu, sampai dengan awal pertikaian mereka dengan Kurawa—musuh bebuyutan Pandawa yang merepresentasikan kejahatan.

Sedangkan Bharatayudha merupakan puncak dari peperangan antara kebaikan versus kejahatan, dimana tentu saja kebaikan yang menjadi pemenangnya. Bagian yang paling menarik dalam Bharatayudha menurut banyak pengamat justru pada episode Bhagawadgita, yakni saat menjelang perang dimana Arjuna dilanda kebimbangan untuk meyakini nilai kebenaran yang hendak dibelanya, apakah cukup berharga untuk diperjuangkan melalui pertumpahan darah. Terjadilah dialog antara Krisna (yang merupakan titisan Dewa Wisnu), sang guru, dengan Arjuna, sang murid, yang mengungkap banyak kebijaksanaan Hindu.

Tapi buat saya yang paling menarik justru bagian yang menceritakan keteguhan hati Adipati Karna yang berdiri di antara the goodies and the badies diambang perang Bharatayudha. Adipati Karna adalah kakak se-ibu Pandawa (anak pertama Dewi Kunti dari Betara Surya—Dewa Matahari) yang tidak pernah mengetahui identitas orang tua kandungnya sampai menjelang Bharatayudha. Karna sudah di’buang’ oleh Dewi Kunti semenjak bayi dan dipungut anak oleh seorang kusir. Kurawa-lah yang berjasa mengangkat derajat Karna menjadi Adipati karena Karna memiliki keahlian memanah yang sanggup menandingi Arjuna. Karna menolak bujukan Krisna maupun ibunya sendiri, Dewi Kunti, untuk menyeberang ke kelompok baik (Pandawa) dan meninggalkan kelompok jahat (Kurawa). Saat Dewi Kunti berkata: “Ibu hanya ingin menyadarkan bahwa kau membela pihak yang salah, anakku.” Tanpa ragu Karna menjawab: “Salah atau benar adalah tanggung jawab mereka (Kurawa). Saya berdiri di luar batas perbuatan mereka…(Tetapi) Saya telah bersumpah kepada para Kurawa, akan setia kepada mereka. Apapun akibat yang harus saya hadapi…Bagi saya tidak ada manusia yang lebih buruk daripada manusia yang mengingkari sumpahnya.” Dahsyat ya? So, Karna is one of two my favorite characters in wayang. The other one is Bisma, another knight who’s consistent with his vow (sumpah untuk tidak menikah dan memiliki keturunan demi kebahagiaan ayahnya yang ingin kawin lagi!).

Nah, kalau Pandawa Seda dari judulnya aja kelihatan kalau ini adalah babak mengenai matinya Pandawa, dimana kelima ksatria pemenang perang itu justru memilih menjemput ajal mereka sendiri melalui pendakian ke puncak Mahameru. Babak ini sarat dengan nilai-nilai ajaran Hindu tentang hakikat hidup dan mati.

Sebenarnya masih ada Parikesit dan Prabu Udayana yang menceritakan kisah keturunan para Pandawa, terutama dari garis Arjuna. Tapi kedua cerita itu bukan mainstream dalam dunia pewayangan yang mengambil lakon Pandawa. Jadi ya nggak rugi-rugi amat kok terlewat kisah lanjutan tersebut. Tapi kalau saat ini buku-buku R.A. Kosasih masih ada, I would suggest you to read his version rather than Mr. Teguh Santosa’s. Berhubung sejauh ini buku-buku R.A. Kosasih belum dicetak ulang lagi, baca versi Teguh Santosa juga lumayan kok buat “tombo ati”….

DN

Minggu, 02 Mei 2010

Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela (Tetsuko Kuroyanagi)


Catatan:

Alhamdulillah… akhirnya saya punya kesempatan lagi untuk ng-entry blog ini. It’s been so long! I was so busy with my office works. Saya bahkan nggak punya banyak kesempatan untuk baca novel atau bacaan lain yang ringan-ringan. Baca dokumen kerjaan sih iya, sama paling baca koran. Tapi diantara kesibukan kerja tersebut, saya sebenarnya menyempatkan diri—menyelinap tepatnya—ke beberapa toko buku, entah di bandara atau di kota-kota yang saya singgahi, untuk menambah koleksi bacaan saya.

Pertengahan Maret lalu, saya ke Brunei Darussalam. Di sebelah hotel tempat saya menginap di Bandar Seri Begawan, terdapat mall yang di dalamnya ada toko buku kecil, nama tokonya Best Eastern. Saya membeli beberapa buku dan majalah di sana. Juga beberapa bacaan lain dalam perjalanan pulang saya di bandara Changi (toko buku Times). Tapi buku-bukunya belum ada yang kelar dibaca. Jadi nanti aja ngebahasnya ya…

Trus awal April, saya ke Vietnam. Sayangnya dalam perjalanan 3 hari itu, saya nggak sempat ke toko buku manapun! Tidak juga di bandara (meski saya singgah di tiga bandara internasional: Singapura, Saigon, dan Kuala Lumpur). I was in a mission, so no time for readings at all! Not even for a novel I brought in my hand bag!

Lalu di akhir April, saya ke Amerika Serikat, tepatnya ke Washington DC. Di sana saya sempat ke toko buku Borders dan toko bukunya Bank Dunia. Saya beli beberapa buku. Tapi buku-buku serius yang kalau saya sebut judul-judulnya pasti boring banget dengernya. So please don’t ask!

Tapi bukan itu sebenarnya yang ingin saya bahas disini. Saya cuma menyampaikan excuse saya kenapa lama nggak ng-entry blog ini, in case ada yang mempertanyakan konsistensi bacamania saya…

***

Ok, now back to readings. Ini tentang buku cerita anak-anak (non-fiksi) yang berasal dari Jepang: Totto-chan (si Totto), yang ditulis oleh Tetsuko Kuroyanagi. Semula saya justru melihat sequel terbarunya Totto-chan di deretan buku-buku baru yang recommended di Gramedia: “Totto-chan: Perjalanan Kemanusian untuk Anak-anak Dunia”. Tapi saya belum berkeinginan untuk membeli sequel tersebut. Yang saya beli malah buku Totto-chan pertama yang judulnya “Gadis Cilik di Jendela”. Padahal saya sudah pernah punya waktu saya kelas 4 SD! Dan sekarang kelihatannya Gramedia mencetak ulang. Berhubungan buku Totto-chan masa kecil saya ada di rumah orang tua saya, maka saya pun membeli satu cetakan baru, untuk anak saya.

It is a good book for kids, I can assure you. Benar-benar memberikan wawasan baru tentang dunia sekolah (baca: SD) untuk anak-anak. Anak saya sangat menyukai buku ini. Dia tertarik sekali mengenal sekolah Tomoe dengan sistem pendidikan yang unik untuk jamannya (tahun 1930-1940an), hasil kreasi sang Kepala Sekolah, Sosaku Kobayashi. Gedung sekolahannya saja menempati bekas gerbong-gerbong kereta api yang sudah tidak dipakai. Tidak ada jadwal pelajaran yang ditetapkan secara kaku, karena setiap murid boleh menentukan sendiri urutan pelajaran yang akan dipelajarinya dalam satu hari. Kalau sekolah alam di Indonesia merupakan trend baru tahun 2000an, maka sejak tahun 1930-an Tomoe sudah memperkenalkan metode belajar langsung dari alam. Murid-muridnya diajar bercocok tanam atau berjalan-jalan di udara terbuka sambil sekedar membahas langit biru, kupu-kupu, atau bunga yang sedang bermekaran. Bahkan sayur-mayur dijadikan hadiah untuk pertandingan di hari olah raga (bukannya tanpa menuai protes lho! Tapi Pak Kobayashi yang bijaksana berhasil meyakinkan murid-muridnya bahwa mereka akan merasakan kepuasan tersendiri saat menyantap sayur yang diperoleh dari hasil keringat mereka sendiri).

Buku Totto-chan ini memang tidak melulu mengenai Tomoe, karena lebih merupakan memoir masa kecil Tetsuko Kuroyanagi, sang penulis yang belakangan jadi duta Unicef (Totto-chan itu nama panggilan Tetsuko kecil). Tapi buku ini terutama memang membahas masa kecilnya yang terkait dengan pengalaman bersekolahnya di Tomoe yang merupakan sekolah yang bahkan di Jepang sendiri saat itu mengundang kontroversi atas pilihan metode belajar-mengajar dan kurikulum-nya. Satu hal yang pasti, lepas dari pro-kontra atas Tomoe, Kepala Sekolah Sosaku Kobayashi benar-benar seorang pendidik yang mencintai secara tulus dunia yang digelutinya. Mengingatkan saya pada Ibu Muslimah di “Laskar Pelangi”-nya Andrea Hirata (atau jangan-jangan justru saat baca Laskar Pelangi, saya teringat Totto-chan?).

Ada satu bab yang paling saya sukai, yaitu cerita dimana Pak Kobayashi dikatakan selalu menyempatkan diri menyampaikan satu kalimat khusus kepada Totto saat mereka berpapasan: “Kau benar-benar anak yang baik, kau tahu itu kan?” To me, it was so touchy! Masalahnya, si Totto kecil saat itu kerap dicap nakal oleh lingkungannya. Dia bahkan dikeluarkan oleh sekolahnya sebelum Tomoe karena dianggap anak pengacau. Padahal, Totto hanyalah seorang anak dengan tingkat keingintahuan di atas rata-rata. Tapi Pak Kobayashi dengan perspektifnya yang selalu positif berusaha menanamkan rasa percaya diri dan keyakinan Totto bahwa dia sesungguhnya anak yang baik. Dan dampaknya luar biasa, sebagaimana narasi Tetsuko berikut.

“Kata-kata itu menggema di dalam hati Totto-chan, bahkan ketika ia sedang asyik melakukan sesuatu yang tidak biasa (baca: nakal). Sering sekali ia berseru pada dirinya sendiri “Astaga!” ketika mengingat-ingat apa yang pernah dilakukannya…Mr. Kobayashi terus-menerus mengulang kalimat itu, setiap kali, selama ia berseolah di Tomoe. Mungkin kata-kata penting itulah yang telah menentukan arah seluruh hidupnya kemudian…”

Jadi benar tips psikologi cara mendidik anak: jangan pernah mencap anak dengan sebutan-sebutan yang negatif. Sebaliknya, bagaimanapun perilaku dominannya, tanamkan rasa percaya diri dan keyakinan yang positif bahwa dia anak yang baik atau anak yang pintar. Niscaya dia akan tumbuh mengikuti keyakinan yang kita tanamkan kepadanya (Insha Allah).

Seriously, many things you can learn from this special book. Prove it…

DN