Senin, 23 Agustus 2010

Buku baru: Yogyakarta (Damien Dematra)

Novel aneh. Beneran deh. Apa ini sejenis karya sastra yang memang saya nggak terlalu familiar (karena lebih terbiasa dengan novel-novel pop)? Atau ini memang gayanya Damien Dematra (saya belum pernah baca novel-novelnya yang lain)? Tapi sumprit, saya kecele. Saya sudah kadung optimis dengan baca biografi-nya si Penulis (saya memang selalu baca biografi penulis sebelum mulai baca ceritanya). Coba aja, dia disebutkan sebagai seorang novelis dengan 62 novel, penulis 57 skenario film dan TV, sutradara sekaligus produser 28 film berbagai genre, fotografer internasional dengan berbagai penghargaan dan pelukis yang sudah menghasilkan 365 karya lukis!

Tapi kualitas karya tak selalu berbanding lurus dengan kemegahan CV. Ahmad Fuady yang baru menerbitkan novel pertamanya “Lima Menara”, bisa menulis jauh, jauh, jauh, lebih bagus daripada “Yoyakarta” yang merupakan novel ke-62-nya Damien.

Saya pikir Mas Damien waktu menulis novel ini pasti sudah membayangkan wujudnya dalam bentuk film (atau sinetron?). Karena itu gaya bertuturnya lebih mirip skenario film (sinetron) daripada novel. Terbukti di sampul depan buku ini langsung ada stiker: “Akan difilmkan segera! Buruan daftar!” (or something like that lah).

Sebenarnya ide ceritanya sih oke, tapi cara penyampaiannya--sorry to say--cekak. Mungkin karena keberatan misi ya? Sebab katanya dia bikin novel ini lantaran dititipin oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X untuk mempromosikan Jogja dan juga untuk mendukung Gerakan Peduli Pluralisme. Tapi bukannya dengan misi yang demikian hebat dia seharusnya lebih memperhatikan logika dan kecerdasan bercerita?

Untungnya layout bukunya enak dibaca, huruf-hurufnya nggak terlalu rapat (terbitan Gramediaaa!). Jadi saya betah aja bacanya, sambil nunggu kejutan di akhir cerita dari seorang penulis 62 novel. Namun ternyata akhir ceritanya malah makin parah...

Ini beberapa catatan saya untuk novel tersebut:

1. Nama-nama tokohnya norak. Yudhistira Mangkubumi (ningrat Jawa), Olivia Purnakasih (China peranakan), Gerson Geraldi (Ambon), Yahya Tanadi (China Pontianak), Karta Parinduri (Medan), Tarjo Adikusuma (Madura), Ananda Karmila (ningrat Jawa). Pemilihan nama-nama yang tasteless ini ujung-ujungnya cuma buat membentuk kata Yogyakarta. Yudhistira, Olivia, Gerson, Yahya, Karta, Tarjo, dan Ananda. Plis deh…

2. Pendalaman karakternya kurang. Mungkin karena dengan hanya 250-an halaman, Damien merasa harus mengurai latar belakang dari 7 orang tokohnya-komplit! Kesannya jadi dangkal dan cuma tempelan. Tokoh-tokoh seperti Karta yang terobsesi menjadi penyanyi demi persaingan sang ibu dengan tetangga (?), Tarjo yang anak kiai korban poligami, nggak sempat tuntas dibahas atau didalami. Bahkan untuk Ibu Ananda sendiri yang dalam porsi cerita latar belakangnya yang cuma secuprit, Damien harus repot-repot menempelkan kisah cinta si Ibu Ananda yang kandas dengan teman sekolahnya Fritz, sehingga dia tidak pernah betul-betul mencintai suaminya yang merupakan hasil perjodohan. What’s the point? Nggak ada kaitan atau kontribusinya sama sekali dengan keseluruhan alur cerita.

Kalau pada akhirnya ini cuma cerita tentang Olivia yang Katolik berhasil menaklukan si gunung es Yudhistira yang Muslim (tapi nggak ada konflik atau dilema atas kondisi ini lho!), saya nggak melihat pentingnya Damien mengeksplorasi latar belakang tiap tokohnya satu-satu kalau itu artinya dia jadi terburu-buru menuntaskan kisah cinta dua tokoh sentral tersebut dengan alur dan penjelasan seadanya.

3. Nggak logis abis! Untuk apa si Ibu Ananda menuntut anak-anak kosnya buat sarapan bareng setap jam 6.15 pagi? (Iya, 6.15, saya nggak salah nulis kok) Kenapa Yudhistira betah menjomblo sampai umur 35 hanya karena kisah cinta singkat yang pahit waktu dia umur 15 (15 tahun man!) dengan seorang pemain flute negro di Amerika yang cuma dikenalnya selama 2 minggu tapi trus mati gara-gara nyiapin lagu perpisahan untuknya? (Iya, mati. Mau tau kenapa dia mati? Dia anak panti asuhan, dengan pengasuh yang galak, saking galaknya sampai bunuh tu cewek cuma gara-gara cewek itu mau ngambil catatan lagu yang sudah dibuatnya buat Yudhistira tapi ketinggalan di kamar si pengasuh. Maka, sejak saat itu Yudhistira menjadi dingin terhadap wanita. Padahal doi ceritanya ganteng, plus Master lulusan Harvard. Did you feel any sense?) Trus kok bisa Olivia dengan gampangnya minta ortunya membatalkan proyek perjodohannya dengan si Mr. Perfect karena dia lebih memilih Yudhistira (tanpa ada perdebatan sama sekali). Dan above all, kok bisa si Ibu Ananda ngadain program camping wajib (catat: wajib) tahunan dengan anak-anak kosnya di Candi Boko?

Sumpah, kalau jaman waktu kos dulu ibu kos saya minta saya bangun sebelum jam 6.15 buat ritual sarapan bareng dan ngadain program camping tahunan di candi, saya sudah cabut duluan meskipun dijanjikan kos gratis...

4. Nggak cerdas blas! Yudhistira yang kolumnis surat kabar, Puntadewa yang wartawan senior, Olivia yang mahasiswi sosiologi dan sedang riset keraton Jogja, sebenarnya merupakan bahan bagus buat eksplorasi kecerdasan sosial masing-masing. Tapi boro-boro kecerdasan sosial, wong ngomong tentang sejarah keratonnya aja kayaknya copy-paste dari buku panduan para guide keraton Jogja. Bahkan waktu Tarjo yang anak kiai ditanya, kenapa dia milih belajar akuntansi? Jawabannya: “Karena saya suka kesimbangan. Hutang dan harta.” Dan tanggapan si Olivia sebagai penanya: “Jadi kamu suka yang seimbang? Bintang kamu Libra dong…” Yailah...

Untuk Bung Damien, how did you get the idea that a story about pluralism always means complicated characters (but with poor handling)?

DN

Kamis, 05 Agustus 2010

Readings about Fashion

Saya suka bacaan seputar fashion, baik itu majalah, situs mode on-line atau buku. Meskipun saya sendiri bukan seorang fashion freak, tapi bagi saya benda-benda fashion itu asyik untuk dinikmati tanpa harus selalu dimiliki. Sama halnya seperti kita suka melihat lukisan di galeri atau melihat wajah-wajah indah di industri hiburan, but it does not always mean we want to own it or be part of it. I love fashion just as an observer.

Majalah fashion yang rutin saya ikuti adalah ‘dewi’, a local lifestyle mag. Sesekali saya beli Harper's Bazaar atau Vogue. Saya suka melihat-lihat baju-baju high end brands, It bags, statement shoes, atau apapun sebutannya untuk fashion items yang paling top. Prada, Gucci, Channel, Dior, Hermes, Chloe, Louis Vuitton, YSL, Bottega Veneta, Balenciaga, Armani, Versace, Ferragamo, Celine, Manolo Blahnik, Jimmy Choo, Christian Loubouttin,…you name it. Harus diakui, barang-barang tersebut memang memiliki kualitas design ataupun material yang membuat mereka worth paying at any price (bagi yang punya duit tapi!). Pernah dengar tas Birkin Croco-nya Hermes yang harganya bisa mencapai ratusan juta rupiah, tapi peminatnya ngantri bertahun-tahun di waiting list-nya Hermes (kalau mau cepet, ambil versi KW-nya aja di Mangga Dua—ada tuh segerobak!)?

Majalah selalu menyediakan informasi mengenai the latest trends yang ditampilkan baik dalam iklan-iklan yang ada, halaman mode, maupun ulasan/artikel dunia mode. Favorit saya di ‘dewi’ adalah rubrik ‘gaya’ yang mengulas barang-barang koleksi para fashionista terpilih, lengkap dengan wawancara mengenai personal style dan fashion item favorit mereka. Sangat menghibur (meskipun saya sendiri kadang masih suka bingung, ngintip isi lemari orang kok ternyata sedep juga ya?).

Untuk yang on-line, yang paling sering saya buka adalah ‘style.com’ yang selalu rutin meng-update bagian ‘look of the day’, ‘in the mood for’ atau ‘trends+shopping’. Dia juga menyediakan gambar dan info update mengenai para fashion icons, celebrities sampai pesta-pesta yang glamour and hip (tapi saya jarang baca bagian yang ini). Kadang saya juga browsing situsnya rumah-rumah mode kayak Hermes atau LV, buat lihat-lihat latest items-nya aja, terutama kalau pikiran lagi suntuk. Kan lumayan cuci mata tanpa harus keluar uang... (kecuali untuk biaya internet bulanan).

Beberapa waktu yang lalu, blog ‘belanja-sampai-mati’nya Amelia Masniari alias Miss Jinjing, sempat fenomenal. Pembahasan fashion items-nya nggak terbatas pada high end brands, tapi juga high street brands, local brands, ataupun brand lain yang sama sekali nggak terkenal tapi dianggap oke. Blog ini sangat bisa dinikmati karena gaya bertutur si Mbak Amy juga enak, santai dan gaul. Mbak Amy juga sempat menerbitkan tiga buah buku yang lumayan laris manis, yaitu: “Miss Jinjing: Belanja Sampai Mati,” “Miss Jinjing: Rumpi Sampai Pagi”, sama “Miss Jinjing: Pantang Mati Gaya.” Sayang, blog ini akhirnya tutup gara-gara si Miss Jinjing ribut sama suaminya yang polisi dan berakhir dengan perceraian. Tragis juga ya? (cape ‘kali tu pak polisi punya istri yang gaya hidupnya nggak berpijak ke bumi…).

Kalau buku, sekarang ini banyak juga novel-novel yang bercerita tentang dunia fashion. Di mulai dari Sex and the City-nya Candace Bushnell yang lanjut jadi serial TV, the Devil Wears Prada-nya Lauren Weisberger yang jadi film bioskop, seri Shopaholics-nya Sophie Kinsela, Bergdorf Blondes-nya Plum Sykes, sampai terakhir yang saya baca Fashion Babylon-nya Imogen Edwards-Jones & Anonymous. Yang saya sebut terakhir itu asyik banget buat dibaca, karena buku itu nggak cuma bercerita tentang barang-barang fashion, tapi juga tentang orang-orang yang berkecimpung di dunia fashion lengkap dengan gosip-gosipnya yang based on true story! Cek deh. Ada gosip tentang Kate Moss, Naomi Campbell, Scarlet Johanson, Gwyneth Paltrow, Karl Lagerfeld, Anna Wintour, dan cerita-cerita ‘di balik layar’ lainnya dari para designer, model, selebritis dan para fashionista dunia!

Untuk buku-buku lokal, Alberthiene Endah sempat mengikuti gaya Weisberger dengan novel “Cewek Matre”-nya yang bertaburan barang-barang branded. Trus ada “Beauty for Sale” dan “Beauty for Killing”-nya Fradhyt Fahrenheit yang maksa banget harus kelihatan glamorous ala Sex and the City. Lalu “I Beg You Prada”-nya Alexandra Dewi dan Cynthia Agustin (ini buku non-fiksi dan sebenarnya lebih tentang life style). Sayangnya, meskipun buku lokal, teuteup aja mereka lebih suka bicara brand asing. Padahal kan kayaknya asyik-asyik aja ya bicara tentang gaun-gaunnya Biyan, Sebastian Gunawan, Oscar Lawalata, koleksi jumputannya Ghea Panggabean atau batik-batiknya Edward Hutabarat. Tapi mungkin kesannya jadi kurang glamor atau kosmopolit…(yailah, penting banget ya?!).

That's why
saya sebenarnya salut sama Miss Jinjing yang dalam buku-buku maupun blognya selalu mendorong para pembacanya untuk lebih mencintai produk dalam negeri, kreasi anak bangsa sendiri. Tapi selain hal tersebut, saya juga belajar banyak dari Miss Jinjing terutama dari pengalaman hidupnya di atas, yakni nggak akan memupuk kebiasaan belanja-sampai-mati yang jadinya belanja-sampai-ditinggal-suami.

Makanya, lebih baik memilih baca-sampai-mati atau baca-sampai-disayang-suami...:)

DN

Rabu, 04 Agustus 2010

Buku-buku yang diangkat ke Layar Lebar atau Kaca

Sudah jamak kalau para sutradara film mengambil ide buat produksi mereka dari buku-buku yang laris manis di pasaran. Terutama buku dengan plot yang dinamis atau dramatis, seperti buku-bukunya Dan Brown, John Grisham, atau Tom Clancy (ya iyalah, kebayang nggak buku-bukunya Pramudya Ananta Toer yang kaya bahan perenungan tapi jalan ceritanya cenderung datar, dijadikan film? Siapa yang mau nonton?). Dan sudah jamak juga kalau film-nya pun jadi ikutan laris karena para pembaca buku itu ingin ‘mencocokkan’ antara apa yang ada di imajinasi mereka dengan visualisasinya.

Tapi tidak jarang kita kecewa dengan versi visual dari buku-buku yang sudah kita baca. Saat membaca, sadar atau tidak, imajinasi kita sudah membayangkan sosok para tokoh ataupun setting peristiwa dan suasana yang diceritakan dalam buku tersebut. Jadi ketika kita disodorkan bentuk visualnya yang berbeda dengan apa yang sudah terlanjur ada di kepala kita, it’s natural if we then get disappointed.

Misalnya, saya kecewa berat waktu tahu ternyata pemeran Sirius Black di film Harry Potter adalah Garry Oldman. I mean, why him? Why not Brad Pitt? Or, if they needed a Brit, why not Jude Law (hehe…emang pantes?), or Ewan McGregor! Soalnya, Sirius Black itu kan digambarkan sebagai lelaki yang garang, slebor, tapi charming… Dan Gary Oldman jelas-jelas nggak memenuhi kreteria yang disebut terakhir!

Belum lagi kalo sang sutradara memotong-motong jalinan cerita untuk menyesuaikan dengan keterbatasan durasi film. Padahal ada bagian-bagian yang justru kita anggap menarik untuk divisualisasikan, tapi itu dilewati. Kayak di film Confession of Shopaholic yang banyak memotong bagian kegiatan shopping-nya si Becky yang banyak ditemui di buku, atau usahanya untuk menghemat atau menambah penghasilan dengan kerja sampingan. Padahal justru di situ letak kelucuan ceritanya, bahkan esensi dari sisi shopaholic-nya.

Tapi itu masih mending dibandingkan dengan jika sang sutradara ‘sok kreatif’ dengan menambahkan tokoh baru atau adegan baru yang tidak pernah ada dalam versi originalnya hanya untuk menambah efek dramatis cerita. Rasaya kok kita seperti ‘dikhianati’…Ingat tokoh yang dimainkan Tora Sudiro dalam film Laskar Pelangi sebagai Pak Guru SD PT Timah yang jatuh cinta sama Ibu Muslimah? Atau penambahan adegan Pak Kepsek SD Muhammadiyah Belitung yang dibuat meninggal di sekolah? Tidak ada di buku aslinya bukan?

Di lain pihak, ada juga kok sutradara yang piawai mengangkat sebuah cerita buku ke layar lebar secara mencengangkan dan sangat bisa diterima meski dengan improvisasi. Juaranya menurut saya Peter Jackson dengan Lord of the Ring! Sumpah, si Frodo dan desa Hobbitnya persis yang saya bayangkan. Malah penggambaran kampung perinya si Legolas sama tampang-tampang serem para pasukan Sauron (para Orc) they're all beyond my imagination! Belum lagi si Gollum atau Smeagol. Peter Jackson really deserves his Oscar!

Lainnya, serial Laura Inggalls di TVRI dulu juga oke! Meski Michael London sama sekali nggak ada mirip-miripnya sama tokoh Pa di buku yang gambarannya berbrewok lebat, tapi yah secara dia produsernya what could we say? Tapi masih oke-oke saja sih…Penggambaran rumah kecil di atas bukit, dengan padang bunga, kolam atau palung kecil di dekat rumah, dan juga kota kecilnya dengan toko kelontong Mr. Oleson, dapet banget!

Nah, sekarang pertanyaannya, ada nggak yah film yang lebih bagus dari cerita aslinya di buku? Maksudnya, kita lebih suka sama filmnya daripada versi bukunya.

Sejauh ini menurut saya film Julie and Julia bisa dijadikan kandidat. Film ini sebenarnya bukan murni diangkat oleh sutradara Nora Ephron dari satu buku, melainkan penggabungan otobiografi My Life is France-nya Julia Child—seorang ahli masak terkenal Amerika tahun 1950-an dengan spesialisai masakan Prancis—dan blog-nya Julie Powell yang merupakan dokumentasi pengalamannya mencoba resep-resep masakan Prancis dari bukunya Julia Child tahun 2000an. To me, that’s a brilliant idea! Karena kalau Nora hanya mengangkat cerita murni dari buku My Life is France-nya Julia Child, bakal boring banget! Secara gitu loh, biografi ibu-ibu juru masak tahun 1950-an yang kerjanya melulu keluar masuk rumah makan di Prancis buat nyoba-nyobain masakan untuk diuji ulang didapur sendiri! Tapi dengan kombinasi setting 2000an-nya Julie Powell yang terobsesi untuk menguasai resep-resep masakan Julia sampai suaminya bete, cerita jadi jauh lebih dinamis!

Satu lagi, film yang tokoh visualnya lebih oke dari bayangan yang saya ciptakan. Tak lain tak bukan…Robert Pattinson sebagai Edward Cullen di serial Twilight! It’s really beyond my expectation. He’s much much more good-looking than the Edward Cullen in my own version! Bravo Ms. Hardwicke (but for this casting only)…!

DN