Minggu, 28 Februari 2010

What I am Thinking about Literatures

Buat saya, bacaan itu cukup dikelompokkan ke dalam dua bagian: bacaan yang memberikan pengetahuan dan bacaan yang memberikan hiburan. Saya nggak mau repot-repot bikin pengelompokkan lain, seperti bacaan yang ‘mencerahkan’ atau bacaan yang mengasah kesadaran sosial atau berbudaya. Karena faktanya, saya memburu bacaan hanya untuk dua tujuan di atas: mencari pengetahuan dan mencari hiburan.

Saya perlu bacaan yang memberikan pengetahuan untuk menjalani sisi kehidupan saya yang ‘serius’, seperti saat berhubungan dengan Tuhan, pekerjaan, pendidikan dan komitmen rumah tangga. Jadi, yang masuk dalam bacaan kategori ini adalah: buku-buku referensi (textbooks), buku-buku agama, jurnal-jurnal ilmu pengetahuan, artikel atau berita di media seperti Kompas, Tempo, dan Jakarta Post, buku atau bacaan lain yang membahas tentang politik, ekonomi, sosial, budaya, filsafat, sejarah, sains, keluarga, kesehatan, pariwisata, sampai dengan masakan atau makanan.

Meskipun sebagian besar kelihatannya boring, tapi bacaan jenis pertama ini diperlukan untuk memberikan kualitas pada kehidupan kita, so we can play our role in this life with proper manner.

Sedangkan bacaan yang menghibur saya perlukan saat saya beristirahat dari sisi kehidupan yang serius itu. In other words: when I need some fun. Jadi, pada sisi yang ini, saya akan memilih novel yang ringan, komik, majalah wanita yang membahas gaya hidup, atau malah sekali waktu tabloid gosip. Really refreshing.

Itulah mengapa, saya tidak bisa benar-benar menikmati karya sastra yang terlau ‘berat’. Berat dalam arti membuat para pembacanya berpikir keras saat atau setelah membaca karya tersebut. Dan saya pun bingung membuat klasifikasi pada bacaan jenis ini. Memberikan pengetahuan, enggak juga, apalagi kalau jenisnya fiksi. Menghibur, juga enggak, karena seringnya bacaan jenis ini bergaya satire atau memandang kehidupan secara sinis dan mengungkapkannya secara apa adanya. Kesannya cenderung suram. Penggambaran penyiksaan, luka atau borok, seks, dipaparkan secara gamblang dan vulgar, bahasanya kompleks atau rumit, ending-nya ngambang atau malah tragis. Bukannya rileks, selesai baca, yang ada saya malah jadi tertekan…

Kadang curiosity saya membawa saya memilih jenis bacaan ini. Tapi saya jarang bisa menyelesaikannya. Membacanya seperti memberikan beban baru dalam kehidupan yang pada dasarnya sudah banyak dibebani oleh berbagai masalah dan kewajiban. Kebayang nggak perasaan saya yang setelah lima hari bekerja keras di kantor, kemudian pada akhir minggu, setelah mengurus anak atau memasak makanan akhir pekan untuk keluarga, dalam me time saya yang langka, saya membaca “Saman”-nya Ayu Utami, atau “Pintu Terlarang”-nya Sekar Ayu Asmara, atau “Mereka Bilang Saya Monyet”-nya Jenar Maesa Ayu? Gosh, it would be sooo…exhausting!

Saya nggak bermaksud bilang buku mereka jelek atau nggak layak dibaca, buktinya para penulis yang saya sebut di atas sering dapat penghargaan. Mungkin justru apresiasi seni sastra saya yang terlalu rendah, atau ini mungkin masalah selera yang amat sangat subyektif sifatnya. Tapi yang jelas, saya tidak bisa benar-benar menikmati bacaan-bacaan tersebut.

Bukan berarti saya sama sekali nggak baca sastra. Saya baca kok beberapa yang karya yang dianggap klasik dan/atau serius, seperti tetralogi dan beberapa karya Pramudya Ananta Toer (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca, Arok Dedes, Panggil Saya Kartini Saja), “Para Priyayi”-nya Umar Kayam, “Burung-burung Manyar”-nya Romo Mangun dan beberapa kumpulan cerpennya yang lain (Pohon-pohon Sesawi, Rumah Bambu), “Ca Bau Kan”-nya Remy Silado, “Slilit Sang Kyai”-nya Emha Ainun Najib, “Saman” dan “Larung”-nya Ayu Utami, The Snows of Kilimanjaro-nya Ernest Hemingway, Moby Dick-nya Herman Melville, Pride and Prejudice-nya Jane Austen, Scarlett Letter-nya Nathaniel Hawthorne, Memoir of Geisha-nya Arthur Golden, dan Gone with the Wind-nya Margaret Mitchell.

But to read is one thing, while to enjoy (the readings) is another thing. Buat saya yang membedakan adalah kecepatan saya dalam membacanya. Semakin ringan dan menarik suatu bacaan, semakin cepat saya membacanya (karena saya hampir nggak mau melepaskannya, bahasa Jawa-nya: unputdownable). Semakin berat dan tidak menarik, ya jadi semakin lambat membacanya. Saya pernah membaca sebuah novel sampai satu tahun lebih, ya Moby Dick itu! Itu pun kalau saya sekarang ditanya detail ceritanya, saya nggak terlalu ingat. Yang pasti penuh dengan metaphora dan simbologi yang menurut para pengamat merupakan cara Melville untuk menggambarkan dan mengkritik fenomena sosial di Amerika pada jamannya (fiuuhhh...!)

Beda dengan buku Jonathan Strange and Mr. Norrell-nya Susanna Clarke, masih banyak detail yang saya ingat. Padahal bukunya lebih tebal dari Moby Dick (1000-an halaman, Moby Dick ‘hanya’ 800an), sama-sama saya baca yang edisi bahasa Inggrisnya, sama-sama pake gaya bahasa Inggris kuno (atau dikuno-kunoin tepatnya in Susanna's case). Tapi saya hanya perlu waktu nggak sampai satu bulan untuk menghabiskan buku itu. Bedanya hanya satu: ceritanya Susanna Clarke lebih ringan dan lebih menarik! But still, Moby Dick dapat predikat The Greatest English Novel, sedangkan Jonathan Strange and Mr. Noller predikat populernya paling cuma Best Seller Novel versi media tertentu, meski beberapa award juga diperolehnya.

Yah, dunia boleh membuat parameter kualitas untuk bacaan-bacaan yang bagus. Tapi saya akan tetap memakai parameter hati saya sendiri saja. Tak peduli apa kata dunia…Peace!

DN

Minggu, 21 Februari 2010

Makanan dalam Cerita

Saya suka sekali cerita-cerita yang melibatkan makanan di dalamnya. Imajinasi saya secara tak terkendali jadi membayangkan bentuk dan rasa makanan itu. Nggak jarang saya malah bener-bener nyari makanan tersebut buat nyobain.

Buku-buku cerita Enyd Blyton-lah yang pertama kali memberikan saya pengalaman nikmatnya baca cerita dengan kehadiran makanan di dalamnya. Dari semua, Lima Sekawan-lah yang paling sering bawa-bawa makanan di dalam ceritanya, terutama saat mereka melancong, trus piknik di udara terbuka sambil menyantap sandwich telur yang dimakan bersama tomat, daging asap, kue buah, manisan nanas dalam kaleng, es krim dan limun jahe! Yumm… Waktu itu saya sampe narik-narik rok ibu saya, merengek minta dibikinin sandwich telur yang rencananya mau saya makan sama tomat!

Sayang, waktu saya intip Lima Sekawan yang cetakan tahun-tahun sekarang, ternyata penerbit di sini membuang bagian yang menyebutkan nama-nama makanan secara detail. Pantes jadi lebih tipis…

Serial Laura Inggals Wilder malah lebih dahsyat. Cerita makan-makannya banyak, terutama saat musim dingin. Nggak cuma saat makannya, tapi juga diceritain saat masaknya. Wow! Daging rusa yang diasap pakai kayu hikori, kentang tumbuk, biskuit gandum, kue gembung yang sewarna madu, kue labu yang kalau digigit langsung melebur di mulut, popcorn yang cara makannya dimasukkan ke dalam segelas susu…(glek!). Kalau saya amati, kayaknya buku “Anak Tani” yang menceritakan tentang masa kecil Almanzo Wilder yang paling banyak bercerita tentang makanan. Soalnya keluarga Almanzo memang lebih makmur daripada keluarga Laura.

Kalau pengarang Indonesia, NH Dini jawaranya. Dari seluruh serial kenangan masa kecilnya, buku ke-3, “Langit Bumi Sahabat Kita”, yang paling banyak bercerita tentang makanan. Mulai dari jaman susah saat mereka cuma bisa makan nasi jagung, nasi menir, sayur krokot dan kremah, sayur gudeg bonggol pisang, sayur lodeh jantung batang pohon pepaya, sampai saat krisis pangan sudah agak mereda sehingga mereka bisa makan pake singkong yang mempur, sayur bobor daun singkong yang dimasak pake tempe 'bosok', dan menggigit tomat segar yang merah kekuningan. Di buku ke-1, “Sebuah Lorong di Kotaku”, juga ada ikan hasil panen dari genangan air di belakang rumah (saat banjir) yang dipepes dengan daun kemangi, dan jantung pisang yang dibakar dan di bumbui lengkap. Yang terakhir saya sudah pernah minta mbak di rumah buat nyoba masak...Maknyuuusss!

John Grisham nggak sering bercerita tentang makanan di buku-bukunya. Tapi di A Time To Kill, dia cerita waktu tokohnya si Jake makan sama asistennya di rumah makan orang kulit hitam di luar kota yang menunya: lele bakar yang disajikan saat masih panas dan mendesis, udang goreng dan kaki kodok goreng. Saya nggak nafsu sama kaki kodok gorengnya sih, tapi lele bakar dan udang gorengnya bolehlah…

Saking menghayatinya saya sama cerita tentang makan-makanan itu, nggak jarang saya sengaja nyari saat saya sedang berada di negara yang menyediakan makanan sejenis. Waktu inget di bukunya Sophie Kinsela ada cerita tentang fish cake, rocket salad, paprika panggang, di Australia saya 2 hari berturut-turut makan fish cake dan rocket salad dan keluar masuk supermarket buat nyari paprika panggang botolan! Waktu inget Mushasi-nya Eiji Yashikawa bisa nikmat makan hanya dengan nasi dan acar timun Jepang yang pedas, saat di Tokyo saya nyoba makan nasi putih cuma sama acar timun (cuma beberapa suap sih, sesudahnya saya langsung nyomot tempura!). Saya juga pernah milih menu salad yang ada artichoke-nya di sebuah jamuan makan di Washington DC gara-gara terinspirasi salah satu buku (atau artikel ya? Lupa...) petualangan masaknya si British Naked Chef, Jamie Oliver. Ironisnya, saya malah hampir nggak mengenali yang mana yang artichoke di tengah tumpukan sayuran yang saya makan...

Masih banyak buku-buku yang membahas makanan dalam ceritanya, kayak My Life in France-nya Julia Child. Tapi kebanyakan makanan Perancis, dan saya nggak terlalu ngefans sama masakan Prancis (but the way she describes the french meals she's having is quite tempting...). Saya malah lebih tertarik sama makanan Italia kayak yang dibahas sama Elizabeth Gilbert di buku Eat, Pray and Love.

Lalu ada “Kelas Memasak Lilian”-nya Erica Bauermeister, yang ceritanya memang berpusat tentang hubungan makanan dan romansa kehidupan. Saya paling suka di bagian waktu Lilian membawakan ibunya apel segar yang dipetik dari rumah tetangga dan saat ibunya menggigit "...Bunyi berderak keras dan indah memenuhi udara seperti ledakan tepuk tangan yang mendadak dan Lilian tertawa mendengar bunyi itu....“ Hmm…crunchy banget tu apel kayaknya.

Kitchen-nya Banana Yoshimoto, juga banyak membahas tentang makanan. Sayang, yang dibahas paling detail justru saat Mikage makan Katsudon yang terbuat dari daging babi. Secara saya nggak makan babi, ya saya nggak bisa menikmati bagian ini.

Masih banyak lagi sebenernya, tapi saya nggak kuat buat nyeritain satu persatu. Ini air liur nggak bisa diajak kompromi! Mau cari makan dulu ah….

DN

Sophie Kinsela: Penulis Chicklit Paling Lucu

Dari sekian banyak chicklit yang ditulis oleh berbagai pengarang yang pernah saya baca, juaranya menurut saya adalah Sophie Kinsela. Lucu abezzz…! Bener-bener cocok untuk bacaan ringan berspirit being single and happy (though I’m not single!).

Kadang saya bertanya-tanya, kenapa orang Inggris yang dikenal kaku dan nggak ekspresif sekalinya nglucu bisa kocak banget kayak Rowan Atkinson dan Sophie Kinsela? Ini sama halnya dengan orang Jepang yang dikenal sebagai bangsa yang kaku dan serius, siapa sangka ternyata mereka romantis banget giliran bikin sinetron dan nulis buku atau komik.

Saya nggak pernah bikin kriteria macam-macam dalam menilai bagus enggaknya sebuah buku chicklit. Yang penting menghibur. Toh chicklit memang tidak dimaksudkan sebagai karya sastra serius. Saya baca chicklit terutama saat sedang suntuk dan butuh pengalihan dari hal-hal lain yang sudah menyita pikiran dan perhatian saya secara berlebihan. Dan Sophie Kinsela terbukti mampu bikin saya terpingkal-pingkal. Lupa kalo satu jam yang lalu saya baru diomelin bos karena urusan kerjaan, lupa kalo saya sedang di negara orang, jauh dari keluarga dan dikelilingi oleh orang-orang yang bahasanya kayak alien, lupa kalo saya semalam cuma tidur kurang dari 3 jam karena begadang nemenin anak yang rewel karena sakit. Truly hilarious!

Ini daftar buku Sophie Kinsela ada pada koleksi saya dan nggak ada satu pun yang gagal bikin saya ketawa, minimal cengar-cengir sendiri kayak pelarian RSJ, waktu bacanya.

1. Can You Keep a Secret. Cerita tentang Emma si ratu bohong yang nyimpen banyak sekali rahasia yang berhubungan dengan orang-orang disekitarnya. Top lucunya, meski agak lebay karena bagaimana mungkin si Jake inget satu persatu ocehannya si Emma di pesawat tentang semua kebohongannya.

2. Serial si Gila Belanja atau Shopaholic. Cerita tentang Becky si ratu belanja yang bermasalah dengan guilty pleasure-nya yang satu ini dan terus berusaha mencari pemecahan yang efektif (tapi lebih banyak gagalnya). Paling lucu menurut saya ya buku pertama, The Confession of a Shopaholic, tapi lanjutannya (Shopaholic Goes to Manhattan, …Ties the Knot, …and Sister, …and Baby), juga lumayan, meski sesekali agak annoying kalo si Becky lagi kumat oon-nya.

3. The Undomestic Goddess. Cerita tentang Samantha, pengacara sukses yang melarikan diri karena tersangkut kasus di kantor dan ‘terdampar’’ di suatu kota kecil sebagai asisten rumah tangga yang sama sekali nggak berbakat. Saya nggak terlalu suka—a bit dirty, terutama bagian “Six minutes is a boiled egg.” Bagian yang serius tentang persoalan si Samantha dengan law firm-nya juga dangkal banget.

4. Remember Me. Cerita tentang si Lexi, yang kehidupan cinta maupun karirnya berprospek suram sampai suatu kecelakaan yang bikin dia amnesia membawa berbagai kejutan dalam kehidupannya yang baru. Ide ceritanya keren, jalinan ceritanya pun asyik. Welcome back Sophie!

5. Twenties Girl. Cerita tentang Lara, cewek tanpa aspek kehidupan istimewa yang dihantui sama arwah nenek-bibinya, Sadie, yang berpenampilan cewek tahun 1920an, dan penasaran nyariin kalungnya yang hilang. Menurut saya sejauh ini this is her best one. Ada bagian dimana saya terpingkal-pingkal waktu Lara dipaksa Sadie kencan sama Ed ala pemuda-pemudi tahun 20an, ada bagian dimana saya kepengen nangis waktu si Sadie akhirnya harus meneruskan ‘perjalanan’nya hanya dengan kata terakhir “Tally-ho!” Bagian misterinya yang melibatkan si Uncle Bill juga dapet. Gosh, she’s getting better and better, isn’t she?

Satu hal yang menurut saya khas Sophie: dia nggak jaim buat si tokoh utama. Coba bandingin sama Lauren Weisberger. Lauren selalu bikin si tokoh utama (Andrea—The Devil Wears Prada, Bette—Everyone Worth Knowing, atau Leigh—Chasing Harry Winston) the unreachable girl. Cakep, pinter, punya banyak pilihan (baik love life maupun karir) termasuk pilihan yang paling glamor, tapi teguh dalam pilihannya yang idealis. Ini mungkin karena Lauren menjadikan si tokoh utama cerminan dirinya sendiri (abis dalam banyak hal memang mirip banget, terutama latar belakang pendidikan dan pilihan karirnya: lulusan sastra Inggris dan terjun di dunia tulis menulis. Coba perhatiin deh).

Kalo Sophie enggak. Dia rela-rela aja bikin si tokoh utamanya konyol banget dan bahkan cenderung looser pada awalnya. Diputusin cowoknya, bermasalah karirnya, nggak dianggep di keluarganya. Tapi ada satu hal yang sadar atau nggak sadar merupakan persamaan dari karakter tokoh-tokoh Sophie (Emma, Becky, Samantha, Lexi, Lara): tulus dan banyak akal.

Bicara tentang perbandingan antara Sophie Kinsela dan Lauren Weisberger, ada yang menarik di sini. Di dua bukunya, Can You Keep a Secret dan Twenties Girl, tokoh utama pria Sophie (Jake dan Ed) adalah cowok Amerika. Dan saya bisa menangkap that Ms. Kinsela thinks that American guys with their accent are sexy. Sedangkan Lauren (yang asal Amerika) dalam Everyone Worth Knowing sempat memunculkan tokoh pria seorang playboy asal Inggris, Philip Weston, yang membuat saya menangkap that Ms. Weisberger thinks that British guys with their accent are sexy.

Hello...what's going on in here? Apakah orang Inggris dan Amerika saling mengagumi aksen masing-masing satu sama lain???

DN


Agatha Christie: Si Ratu Cerita Misteri

Ini pengarang favorit saya sepanjang masa yang buku-bukunya paling mendominasi lemari buku saya dan cerita-ceritanya sudah ikut mewarnai hidup saya sejak remaja sampai sekarang.

Tapi sebenarnya saya sudah mulai berkenalan dengan buku Agatha Christie sejak kelas 6 SD. Buku Agatha Christie pertama saya judulnya “Pembunuhan di Orient Express” punya ayah saya yang cetakkan tahun 1978 (sampai sekarang masih saya simpan!).

Pembunuhan di Orient Express menceritakan tentang terbunuhnya seorang penculik di dalam kereta mewah Orient Express yang sedang melintasi benua Eropa, dan pembunuhan itu dilakukan oleh…12 orang penumpangnya plus kondekturnya secara berkomplot. Detektif jagoannya tak lain dan tak bukan adalah Hercule Poirot dengan kumisnya yang legendaris!

Saat itu saya tidak langsung jatuh cinta pada Agatha Christie. Yang ada saya bingung dan bolak-balik menengok ke daftar tokoh yang ada di halaman depan buku karena saya tidak kunjung hapal nama-nama tokoh yang sedang diceritakan. Bacanya pun jadi lama. Jadi, saya hanya sempat membaca satu buku Agatha Christie selama di bangku SD, karena kapok. Baru mulai membaca lagi saat sudah di bangku SMP ketika nalar sudah lebih berkembang.

Kenapa saya suka Agatha Christie? Pertama, saya suka cara dia mengemas misterinya. Kebanyakan pembunuhnya selalu orang yang tak terduga dan baru terungkap di akhir cerita lengkap dengan argumentasinya. Beberapa temen saya menganggap cara itu membosankan. Suami saya malah bilang, “Nebak pembunuh di Agatha Christie itu gampang. Cari aja orang yang paling nggak mungkin, pasti dia pembunuhnya!”

Oke, pendapat itu to some extent mungkin benar, meskipun bukan berarti dengan prinsip itu para pembunuhnya selalu mudah di tebak. Buku Agatha Christie yang dinilai oleh para pengarangnya sebagai karyanya yang terbaik “Pembunuhan atas Roger Ackroyd” (buku saya yang ini hilang! Sebel deh) secara mengejutkan memunculkan si “aku” atau orang yang sudut pandangnya digunakan untuk memaparkan cerita, sebagai pembunuhnya! What a surprise

Pola yang sama juga ada di cerita “Misteri Tujuh Lonceng” meskipun menggunakan sudut pandang orang ketiga atau si “dia” bukan si “aku”. Sementara di “Tirai” yang merupakan misteri terakhir yang ditangani Hercule Poirot, kejutannya muncul karena ‘dengan teganya’ si Ibu Agatha menjadikan tokoh kesayangannya itu sebagai pembunuh sebelum Poirot sendiri akhirnya bunuh diri (meskipun yang dibunuh memang orang yang ‘layak dibunuh’ alias penjahat).

Tapi pesona cerita Agatha Christie buat saya bukan karena kejutan tentang siapa pembunuhnya, tapi argumen psikologis yang digunakan untuk membangun alasan mengapa seseorang menjadi pembunuh dan seseorang menjadi korban pembunuhan. Hercule Poirot di banyak buku sering bilang, “Bagi saya yang terpenting adalah mengetahui dengan baik karakter si korban semasa dia masih hidup.” Karena menurutnya dengan mengetahui karakter si korban, dia jadi bisa mengetahui ‘psikologi pembunuhan’ itu yang akhirnya bisa membantu mengungkap identitas si pembunuh.

Kedua, meskipun genre-nya misteri dengan spesifikasi misteri pembunuhan, tapi cerita kriminalnya nggak vulgar. Nggak ngumbar darah atau kekerasan, dibanding Dan Brown, misalnya. Meskipun saya juga penikmat Dan Brown, tapi sampai sekarang saya masih suka ngeri dan melompati bagian the way the victim is killed or tortured. I just couldn’t stand it. Ada sih di beberapa cerita Agatha Christie yang korbannya wajahnya dirusak untuk mengaburkan identitas si korban, tapi prosesnya dan detail seberapa rusaknya tu wajah, nggak pernah diceritain.

Ketiga, saya suka cara Agatha Christie menyelipkan cerita cinta diantara jalinan cerita misterinya, meskipun nggak selalu ada. Buat saya kisah cinta ala Agatha Christie nggak picisan, atau mesum seperti cerita-cerita Sydney Sheldon. Paling banter ciuman, itupun nggak detail ngebahasnya. Jadi bacanya nggak bikin jengah. Mungkin itu memang khas Inggris yang dikenal sebagai bangsa yang kaku dan nggak ekspresif. Jadi pengungkapan perasaan antara si tokoh pria dengan tokoh wanitanya terkesan subtle (but sweet…). Favorit saya adalah kisah cinta dalam “Pria Berstelan Coklat”. Malah kayaknya ini buku Agatha terfavorit saya. Saya menyukai kalimat dalam Bab I yang memperkenalkan si tokoh Anne Beddingfeld (si “aku”) yang bunyinya, “Aku selalu ingin bertualang. Soalnya hidupku datar-datar saja…”

Tapi bicara tentang kejutan identitas si pembunuh dalam Agatha Christie, saya punya cerita waktu saya duduk di bangku SMA. Waktu itu saya punya teman sebangku namanya Dany (cewek) yang kebetulan sama-sama ngefans sama Agatha Christie dan koleksinya juga lumayan banyak. Jadi kita suka saling pinjam. Tapi ngeselinnya, dia suka iseng nulis nama pembunuhnya di halaman pertama buku. Gede-gede lagi hurufnya. “Pembunuh: si X.” Nyebelin kan? Soalnya jadi nggak asyik bacanya. Akhirnya salah seorang temen yang juga rajin pinjem buku dia bilang, “Kalau baca buku Agatha Christie punya Dany, lompatin aja halaman pertama.”

Beres? Nggak juga. Soalnya setelah tau temen-temennya menghindari halaman pertama, si Dany jadi ngubah trik dengan melingkari nama si pembunuh di tengah-tengah buku pake tinta merah dan ditambahi keterangan “Ini lho pembunuhnya!” Cappee…

DN


Kamis, 18 Februari 2010

The Reason Why I Love Reading

Sebagian orang mungkin menganggap ini hobi yang paling standar dan paling nggak kreatif sedunia (dibanding hobi travelling atau memasak misalnya). Tapi ada juga yang menganggap ini hobi yang bagus, edukatif, bikin pinter, mencerahkan...

Whatever people say, I love reading.

10 things why I love reading so much:

1. Nggak bikin capek, karena kebetulan saya bukan perempuan outdoor-type;

2. Nggak mahal, coba bandingin harga bacaan sama harga peralatan golf, peralatan masak, ongkos pesawat bagi yang hobi travelling, atau harga barang-barang fashion buat yang hobi belanja;

3. Nambah tahu, jadi punya bahan buat ngecap;

4. Bisa berimajinasi. Saya nggak pernah bergaul sama vampire, tapi dengan baca buku-bukunya Stephenie Myer, saya jadi bisa ngebayangin kayak apa;

5. Bisa buat melawan insomnia, dengan catatan: bukan buku thriller;

6. Bisa buat diet. Ada penelitian yang menyebutkan, membaca bisa mengalihkan rasa lapar, dengan catatan: bukan buku resep-resep masakan, atau buku "Kelas Memasak Lilian"-nya Erica Bauermeister;

7. Bisa buat melawan patah hati. Sumpah, saya pernah berhenti menangis gara-gara urusan cinta cuma dengan baca buku "Arok-Dedes"-nya Pramudya Ananta Toer;

8. Kegiatan yang efektif untuk mengusir rasa bete. Saya pernah nunggu penerbangan yang didelay 6 jam di bandara Perth dengan hanya ditemani "Harry Potter: The Half Blood Prince";

9. Bisa buat ngusir orang yang ngeselin. Coba deh kalau di deket kita ada orang ngeselin yang ngajak ngomong terus dan nggak mau pergi-pergi. Pura-pura khusyuk baca aja, dijamin palimg lama 5 menit, dia akan cabut!

10. Bahan bacaan bisa dijadiin senjata. Nggak percaya? Tanya George Aditjondro!


My Favorite Kind of Readings: Novel fiksi, Majalah wanita (secara ibu-ibu...)

Childhood Readings (SD sampai SMP):
- Wayang R.A. Kosasih (dari Mahabarata sampai Prabu Udayana plus Ramayana, Arjuna Sasrabahu, dll)
- Laura Inggals Wilder (dari Rumah Kecil di Rimba Besar sampai Surat dari Jauh)
- Enyd Blyton: Lima Sekawan, Pasukan Mau Tahu, Sapta Siaga, Malory Towers, St. Clare's, si Badung
- Astrid Lindgren
- Alfred Hitchcock
- Karl May: Winnetou
- Tetsuko Kurayanagi: Totto Chan
- Lupus dan buku-bukunya Hilman Hariwijaya
- Komik/Cergam: Tintin, Arad Maya, Nina, Trigan, Smurf
- Majalah: Bobo, Ananda, Kawanku, Kuncung, Halo

Teenage Readings (SMA sampai kuliah):
- Agatha Christie (my favorite detective book, koleksi saya hampir lengkap!)
- S. Mara Gd
- Sydney Sheldon
- Mira W.
- Marga T.
- N.H. Dini
- Buku-buku politik dan hubungan internasional (tuntutan studi!)
- Buku-buku filsafat: Dunia Sophie dan buku-buku aliran Critical Theory (!)
- Biografi: kebanyakan politisi/negarawan
- Komik/Cergam: Asterix, Lucky Luke, Agen Polisi 212
- Komik-komik Jepang: Candy-candy, Popcorn, Miss Modern, Pansy, dll
- Majalah: Hai, Gadis, Mode, Aneka, Anita Cemerlang

Grown-up (to not say Adult!) Readings (lulus kuliah sampai sekarang):
- Pramudya Ananta Toer
- John Grisham
- Dan Brown (koleksi lengkap)
- Chicklits (with favorite author: Sophie Kinsela!)
- J.K. Rowling (koleksi lengkap)
- J.R.R. Tolkien
- Stephanie Myer
- Eiji Yoshikawa
- Albertiene Endah
- Dee
- Andrea Hirata
- Buku/artikel/jurnal ekonomi dan isu internasional (tuntutan kerja!)
- Buku-buku agama (secara udah umur...), terutama yang terbitan Mizan
- Buku-buku masak (contekan buat di dapur)
- Majalah: Femina, Dewi, Bazaar, Vogue
- Tabloid: Nova, Rumah
- Koran: Kompas (kalau di rumah), Media Indonesia (kalau di kereta Jabodetabek), Jakarta Post (kalau di bandara), Bisnis Indonesia, Kontan (kalau di kantor)
- Media Online: kompas.com, detik.com, tempointeraktif.com
- And many more...


The Reason Why I Write This Blog:

To share with you the joy of reading! As Dr. Seuss says:
"The More that you read, the more things you'll know. The more that you learn, the more places you'll go."

Salam,
DN