Minggu, 28 Februari 2010

What I am Thinking about Literatures

Buat saya, bacaan itu cukup dikelompokkan ke dalam dua bagian: bacaan yang memberikan pengetahuan dan bacaan yang memberikan hiburan. Saya nggak mau repot-repot bikin pengelompokkan lain, seperti bacaan yang ‘mencerahkan’ atau bacaan yang mengasah kesadaran sosial atau berbudaya. Karena faktanya, saya memburu bacaan hanya untuk dua tujuan di atas: mencari pengetahuan dan mencari hiburan.

Saya perlu bacaan yang memberikan pengetahuan untuk menjalani sisi kehidupan saya yang ‘serius’, seperti saat berhubungan dengan Tuhan, pekerjaan, pendidikan dan komitmen rumah tangga. Jadi, yang masuk dalam bacaan kategori ini adalah: buku-buku referensi (textbooks), buku-buku agama, jurnal-jurnal ilmu pengetahuan, artikel atau berita di media seperti Kompas, Tempo, dan Jakarta Post, buku atau bacaan lain yang membahas tentang politik, ekonomi, sosial, budaya, filsafat, sejarah, sains, keluarga, kesehatan, pariwisata, sampai dengan masakan atau makanan.

Meskipun sebagian besar kelihatannya boring, tapi bacaan jenis pertama ini diperlukan untuk memberikan kualitas pada kehidupan kita, so we can play our role in this life with proper manner.

Sedangkan bacaan yang menghibur saya perlukan saat saya beristirahat dari sisi kehidupan yang serius itu. In other words: when I need some fun. Jadi, pada sisi yang ini, saya akan memilih novel yang ringan, komik, majalah wanita yang membahas gaya hidup, atau malah sekali waktu tabloid gosip. Really refreshing.

Itulah mengapa, saya tidak bisa benar-benar menikmati karya sastra yang terlau ‘berat’. Berat dalam arti membuat para pembacanya berpikir keras saat atau setelah membaca karya tersebut. Dan saya pun bingung membuat klasifikasi pada bacaan jenis ini. Memberikan pengetahuan, enggak juga, apalagi kalau jenisnya fiksi. Menghibur, juga enggak, karena seringnya bacaan jenis ini bergaya satire atau memandang kehidupan secara sinis dan mengungkapkannya secara apa adanya. Kesannya cenderung suram. Penggambaran penyiksaan, luka atau borok, seks, dipaparkan secara gamblang dan vulgar, bahasanya kompleks atau rumit, ending-nya ngambang atau malah tragis. Bukannya rileks, selesai baca, yang ada saya malah jadi tertekan…

Kadang curiosity saya membawa saya memilih jenis bacaan ini. Tapi saya jarang bisa menyelesaikannya. Membacanya seperti memberikan beban baru dalam kehidupan yang pada dasarnya sudah banyak dibebani oleh berbagai masalah dan kewajiban. Kebayang nggak perasaan saya yang setelah lima hari bekerja keras di kantor, kemudian pada akhir minggu, setelah mengurus anak atau memasak makanan akhir pekan untuk keluarga, dalam me time saya yang langka, saya membaca “Saman”-nya Ayu Utami, atau “Pintu Terlarang”-nya Sekar Ayu Asmara, atau “Mereka Bilang Saya Monyet”-nya Jenar Maesa Ayu? Gosh, it would be sooo…exhausting!

Saya nggak bermaksud bilang buku mereka jelek atau nggak layak dibaca, buktinya para penulis yang saya sebut di atas sering dapat penghargaan. Mungkin justru apresiasi seni sastra saya yang terlalu rendah, atau ini mungkin masalah selera yang amat sangat subyektif sifatnya. Tapi yang jelas, saya tidak bisa benar-benar menikmati bacaan-bacaan tersebut.

Bukan berarti saya sama sekali nggak baca sastra. Saya baca kok beberapa yang karya yang dianggap klasik dan/atau serius, seperti tetralogi dan beberapa karya Pramudya Ananta Toer (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca, Arok Dedes, Panggil Saya Kartini Saja), “Para Priyayi”-nya Umar Kayam, “Burung-burung Manyar”-nya Romo Mangun dan beberapa kumpulan cerpennya yang lain (Pohon-pohon Sesawi, Rumah Bambu), “Ca Bau Kan”-nya Remy Silado, “Slilit Sang Kyai”-nya Emha Ainun Najib, “Saman” dan “Larung”-nya Ayu Utami, The Snows of Kilimanjaro-nya Ernest Hemingway, Moby Dick-nya Herman Melville, Pride and Prejudice-nya Jane Austen, Scarlett Letter-nya Nathaniel Hawthorne, Memoir of Geisha-nya Arthur Golden, dan Gone with the Wind-nya Margaret Mitchell.

But to read is one thing, while to enjoy (the readings) is another thing. Buat saya yang membedakan adalah kecepatan saya dalam membacanya. Semakin ringan dan menarik suatu bacaan, semakin cepat saya membacanya (karena saya hampir nggak mau melepaskannya, bahasa Jawa-nya: unputdownable). Semakin berat dan tidak menarik, ya jadi semakin lambat membacanya. Saya pernah membaca sebuah novel sampai satu tahun lebih, ya Moby Dick itu! Itu pun kalau saya sekarang ditanya detail ceritanya, saya nggak terlalu ingat. Yang pasti penuh dengan metaphora dan simbologi yang menurut para pengamat merupakan cara Melville untuk menggambarkan dan mengkritik fenomena sosial di Amerika pada jamannya (fiuuhhh...!)

Beda dengan buku Jonathan Strange and Mr. Norrell-nya Susanna Clarke, masih banyak detail yang saya ingat. Padahal bukunya lebih tebal dari Moby Dick (1000-an halaman, Moby Dick ‘hanya’ 800an), sama-sama saya baca yang edisi bahasa Inggrisnya, sama-sama pake gaya bahasa Inggris kuno (atau dikuno-kunoin tepatnya in Susanna's case). Tapi saya hanya perlu waktu nggak sampai satu bulan untuk menghabiskan buku itu. Bedanya hanya satu: ceritanya Susanna Clarke lebih ringan dan lebih menarik! But still, Moby Dick dapat predikat The Greatest English Novel, sedangkan Jonathan Strange and Mr. Noller predikat populernya paling cuma Best Seller Novel versi media tertentu, meski beberapa award juga diperolehnya.

Yah, dunia boleh membuat parameter kualitas untuk bacaan-bacaan yang bagus. Tapi saya akan tetap memakai parameter hati saya sendiri saja. Tak peduli apa kata dunia…Peace!

DN

2 komentar:

  1. kalau menamatkan textbook bahasa Inggris sih cukup sekali dalam satu semester, kecuali textbook yg menarik yg enak cara penyampaiannya, baru bisa ditamatkan beberapa kali dalam satu semester

    BalasHapus
  2. waduh yud, salut! you're among the few who find some textbooks are interesting. Good student!

    BalasHapus