Minggu, 15 Mei 2011

Buku Baru: “Bonsai: Hikayat Satu Keluarga Cina Benteng” (Pralampita Lembahmata)

Novel bagus. Asli bagus. Sarat nilai. Mengingatkan saya pada “Para Priyayi”-nya Umar Kayam. Cerita tentang satu keluarga dalam beberapa generasi dengan benang merah berupa nilai-nilai yang dibentuk oleh “sang pemula” sebagai generasi awal yang menciptakan identitas nilai tersebut untuk diwariskan pada anak-cucu keturunannya.

Jika di “Para Priyayi” generasi awal dimulai oleh Sastrodarsono, sang priyayi guru, maka di “Bonsai”, generasi awalnya dimulai oleh Boenarman, sang pecinta bonsai, yang lahir pada tahun 1883 dari Ibu seorang Hokkian yang baru satu generasi bermukim di Batavia dan Ayah seorang Jawa, mantan prajurit Sultan Agung yang menyerbu Batavia tapi tidak pernah kembali ke kampung halamannya lagi. Orang tua Boenarman tinggal di daerah Benteng, Tangerang, yang komunitas Tionghoa-nya dikenal dengan sebutan Cina Benteng. Boenarman dan anak keturunannya meneruskan identitas Cina Benteng ini.

Tumbuh menjadi peternak babi yang dididik untuk menghargai kesenian dan ilmu pengetahuan, meski tidak harus dari bangku sekolah, Boenarman pada suatu hari terpukau oleh keindahan sebuah bonsai cemara udang di rumah seorang temannya yang berasal dari keluarga Tionghoa kaya dan terpelajar. Apalagi setelah dia mengetahui bahwa usia bonsai bisa mencapai lebih dari seratus tahun dan ada makna filisofis yang bisa direnungkan dari bentuk dan eksistensinya, Boenarman menjadi tertarik untuk memiliki sendiri ‘puhunan kate’ semacam itu guna dijadikan semacam pusaka keluarga. Dari seorang temannya yang lain yang juga pencinta bonsai, Boenarman memperoleh sebuah bibit tanaman Hinoki Cypress yang berasal dari Jepang dan siap untuk dijadikan bonsai dengan teknik yang telah dipelajarinya.

Maka, dimulailah perjalanan hidup sebuah keluarga yang berusaha menjaga eksistensi dan keindahan sebatang bonsai Hinoki Cypress, karena diyakini mampu mengajarkan “falsafah cinta sejati, kesetiaan, keteguhan, kesabaran, ketabahan, kerendahan hati, dan umur panjang” (hlm 45).

Untuk pertama kalinya, Boenarman merasa ada sesuatu yang bakal abadi ketimbang jasadnya, masa hidupnya, kehadirannya, di dunia ini, yang akan diwariskan kepada keturunannya. Warisan itu bukan dari jenis harta benda atau kekayaan semata-mata, namun membawa serta nilai-nilai kehidupan yang agung tanpa banyak kata. Itulah bonsai, guru tak berlisan” (halaman 45).

Terdapat empat generasi setelah Boenarman yang diceritakan dalam novel ini, tapi hanya tiga generasi yang mampu mengemban amanat untuk menjaga fisik dan falsafah sang bonsai warisan. Boenadi (anak Boenarman), Meily (anak Boenadi) dan Feily (cucu Meily). Anak-anak Meily tidak ada yang memiliki chemistry dengan si Hinoki.

Pada setiap generasi, selalu ada cobaan hidup yang membuat para pelakunya berupaya mencari pegangan dari sang guru tak berlisan. Memang faktanya tidak mudah menjadi warga keturunan di sebuah negara yang sejarahnya banyak diwarnai konflik etnis seperti Indonesia. Pada masa Boenarman, tak lama setelah proklamasi kemerdekaan, ada pembantaian etnis Tionghoa yang dianggap sebagai pengkhianat bangsa karena memilih untuk menjadi serdadu NICA yang ikut menurunkan bendera merah putih dan menggerebek kediaman para pejuang revolusi.

Pada masa Boenadi, sweeping terhadap etnis Tionghoa dilakukan seiring perlawanan massa terhadap G30S/PKI tahun 1965 yang disinyalir disponsori juga oleh partai komunis RRC. Boenadi tidak hanya mengalami kekerasan fisik dari massa yang beringas, tapi hotel miliknya juga dibakar. Belum lagi, menantunya (suami Meily) menjadi korban pembantaian etnis Tionghoa di Semarang.

Pada masa Meily, etnis Tionghoa kembali terkena imbas kemarahan gerakan Malari tahun 1974 yang awalnya menyasar dominasi produk Jepang dalam perekonomian Indonesia, namun kemudian menjalar pada kecemburuan atas pengistimewaan etnis Tionghoa dalam pembagian kue pembangunan di awal masa kekuasaan Orde Baru. Untuk babak yang ini, Meily ‘hanya’ kehilangan satu mobilnya yang dibakar dan sedikit kerusakan di kantor perusahaan milik mertuanya yang dilempari batu oleh para demonstran.

Sementara pada masa orang tua Feily, kita tentu belum lupa kekerasan terhadap etnis Tionghoa yang mengiringi gerakan massa tahun 1998 dipicu oleh krisis keuangan tahun 1997 dan berpuncak pada lengsernya pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto. Meily pun kembali harus menyaksikan kenyataan pahit saat keluarga anak bungsunya (orang tua Feily) menjadi korban kekerasan hingga mengalami cacat fisik dan psikis yang cukup parah.

*****
Saya tidak hendak memperdebatkan perspektif Penulis yang mungkin bagi beberapa orang terkesan tidak berimbang dalam menyajikan latar belakang konflik etnis di atas terutama dari sisi pribumi. Itu wajar saja, karena cerita ini memang mengambil sudut pandang warga Tionghoa yang menjadi ‘korban’ dari keberadaannya sebagai minoritas di Indonesia. Saya hanya menyayangkan kurang kayanya ragam karakter para tokoh utama Pralampita yang bisa dibilang semuanya adalah ‘orang baik-baik’. Mulai dari tokoh-tokoh dalam keluarga, para sahabat, menantu, keluarga besan, para relasi dan pekerja, semuanya orang baik-baik yang sedikitpun tidak memiliki perilaku yang ‘melenceng’. Baik hati, pekerja keras, cinta keluarga, bertoleransi, nasionalis. Yah, kecuali mungkin Wahidin, orang kepercayaan Boenadi di hotelnya yang terjebak menjadi simpatisan PKI. Untuk yang ini, “Para Priyayi” lebih unggul dalam mengolah bermacam karakter para tokohnya sehingga ceritanya menjadi lebih berwarna.

Namun warna karakter tokoh yang monoton tidak berarti membuat “Bonsai” menjadi kurang bisa dinikmati. Di luar penggunaan setting sejarah, Pralampita berhasil membuat “Bonsai” terasa dinamis dengan keberadaan berbagai bumbu cerita yang berbeda di setiap babaknya. Ada babak persahabatan di episode Boenarman yaitu antara Boenarman dengan Hauw, Eng Kiat dan Tan Goan Liang; babak thriller dan horor di episode Boenadi yang menyaksikan seorang serdadu Jepang dipancung kepalanya di depan matanya dan sempat pula berurusan dengan hantu mantan jugen ianfu yang menganggu tamu-tamu hotelnya; serta babak percintaan antara Susana dan Ongki atau Rio dan Leony di episode Meily. Ditambah lagi, Pralampita lumayan piawai menggunakan kata-kata sesuai konteks jaman dan latar belakang etnis.

One thing for sure, menggunakan bonsai sebagai representasi nilai atau moral dan dijadikan pengikat keseluruhan cerita adalah ide cerdas. No wonder, si penulis mempunyai latar belakang pendidikan sastra dan filsafat yang membuatnya mampu menggunakan simbolisme yang tepat dan menarik. Dan sebenarnya mungkin tanpa harus disisipkan ‘rahasia besar’ dibalik bonggol-bonggol Hinoki Cypress itu, perlakuan istimewa keluarga Boenarman dan keturunannya kepada ‘puhunan kate’ tersebut masih tetap bisa diterima. Bagi saya, Pralampita telah berhasil menggambarkan ikatan emosional antara anak cucu keturunan Boenarman dengan bonsai pujaannya.

“Menatap bonsai itu seakan-akan ia memasuki masa silam melewati sebuah lorong magis. Di sana ia menjumpai pribadi-pribadi yang pernah hidup. Ia saksikan tangan mereka merawat batangnya, daunnya, akarnya, tanahnya, lumutnya…” (hlm. 449).

Baca sendiri aja deh. Strongly recommended-lah pokoknya.

DN