Kamis, 12 Januari 2012

Buku Baru: Desaku (Kembang Manggis)

Saya membeli buku ini tidak di toko buku, tapi di salah satu cafe merangkap toko oleh-oleh terkenal di Bogor, Apple Pie, pada kesempatan weekend saya di kota hujan itu bersama keluarga sekitar dua bulan lalu. Tapi ternyata tidak hanya di Apple Pie saja, rak penjualan buku ini saya temukan juga di cafe/toko makanan oleh-oleh trademark Bogor segolongan lainnya: Maccaroni Panggang dan Rumah Cupcakes. Konon kabarnya, ketiga cafe/toko yang terletak di seputar daerah Pangrango itu masih satu group dan dimiliki oleh Kembang Manggis yang bernama asli Baby Ahnan. Sebagai Baby Ahnan beliau mungkin dikenal sebagai pengusaha sukses di kota Bogor, tapi sebagai Kembang Manggis beliau ngetop dengan cerber-nya “Tia”yang dimuat di Majalah Hai di tahun 1980-an.

Yang membuat s
aya tertarik untuk membeli novel (atau ‘sketsa’dalam istilah sang penulis) 927 halaman ini karena tulisan di banner di dekat rak penjualannya di Apple Pie yang berbunyi: “untuk semua orang yang merindukan desa”.

Saya selalu menyukai kehidupan desa, pernah punya pengalaman indah tinggal tiga bulan di sebuah desa di lereng gunung di daerah Kabupaten Sumedang dalam rangka KKN, dan punya mimpi untuk menghadirkan sentuhan desa di rumah idaman saya kelak dengan kebun sayur mayur, kolam ikan berdinding batu alam serta saung nyaman dari bambu...hmmmm..... Jadi tak salah bukan kalau saya menggolongkan diri saya sebagai ‘orang yang merindukan desa’ sehingga cocok membeli novel tebal ini?


Sepuluh bab pertama benar-benar memuaskan kerinduan saya akan kehidupan desa. Bahkan ceritanya benar-benar mengingatkan saya pada desa KKN saya dulu. Apalagi dialog para tokohnya yang menggunakan bahasa Sunda secara lengkap, tidak sepotong-potong, baru kemudian diikuti terjemahannya (I wonder this book would be thinner without so many translation). Setting-nya adalah sebuah desa subur di kaki Gunung Salak Bogor bernama Ciapus dengan obrolan dan kegiatan khas masyarakat pedesaan. Kelihatannya Ibu Kembang Manggis matang betul dalam melakukan observasi nya.


Cerita tokoh-tokohnya sendiri tak seindah desa tempat tinggalnya. Sang tokoh utama, Ajiz, tipikal tokoh utama novel-novel motivasi yang belakangan marak pasca kesuksesan novel Laskar Pelangi: anak desa yang berpestasi di sekolah dan walau dipaksa oleh kondisi sosial-ekonomi yang tidak mendukung namun tidak pernah hilang kepercayaan tentang pentingnya ilmu pengetahuan.


Ajiz terpaksa mengubur mimpinya untuk melanjutkan pendidikan
selepas SMU. Ayahnya pergi meninggalkan keluarga untuk menikah lagi, sedangkan ibunya meninggal karena sakit hati. Sebagai anak sulung, Ajiz pun harus menggantikan peran orang tuanya mencari nafkah untuk keluarga demi agar ketiga adiknya tidak putus sekolah. Mencari pekerjaaan ideal dengan berbekal ijazah SMU memang bukan perkara mudah. Ditambah lagi kerumitan mengendalikan ketiga adiknya yang rata-rata masih ababil (alias abege labil). Murni yang tengah puber dan terjebak dalam pergaulan yang salah dengan gadis-gadis penghibur Warung Biru; Wawan, remaja tanggung yang tengah dalam tahap pencarian jati diri sehingga banyak bertingkah; dan si bungsu Puput yang meskipun paling bisa diandalkan di rumah, rajin bekerja dan pintar memasak, tapi terkadang bisa merepotkan juga dengan keinginan dan gejolak abege-nya.

Masuk pada bab ke-11 fokus beralih dari keluarga Ajiz dan kehidupan di seputar Desa Ciapus ke sosok Nabila, entreprenuer wanita pemilik cafe/toko
di kota Bogor (yang menurut dugaan saya tak lain tak bukan merupakan representasi dari Ibu Kembang Manggis sendiri), tempat dimana Ajiz menemukan rejekinya (rejeki material maupun spiritual). Disinilah saya merasa kenikmatan membaca Desaku mulai agak terganggu.

Bahwa benang merah antara Nabila dan Ajiz dengan Desa Ciapus-nya tidak sebatas hubungan antara pekerja dan pemberi kerja, tapi Nabila juga telah berperan besar dalam mencerahkan cara pandang Ajiz mengenai bagaimana menjalani kehidupan secara cerdas,
mandiri, rasional, that’s fine, I can take that. Tapi lalu penulis juga merasa perlu untuk menyelipkan beberapa bab tersendiri mengenai para karyawannya, seperti Edo, si anak Ambon korban konflik di daerahnya; kesalapahaman antara Ibu Mae dan Ema yang melibatkan Baygon; misinya ke Irian dan pertemuannya dengan wanita suku Baliem, Ibu Antoni; ditambah bab-bab lain yang menceritakan karakter unik (yet thoughtful) Nabila yang sebenarnya tidak relevan dengan alur utama cerita, saya merasa terkonfirmasi bahwa Desaku juga dimaksudkan menjadi semacam memoir penggalan kehidupan Ibu Kembang Manggis.

Mungkin jika penulis fokus pada cerita Ajiz dan keluarganya serta selektif dalam memasukkan babak Nabila hanya sebatas yang relevan dengan alur utama cerita, novel ini hanya perlu setengah dari jumlah halaman yang ada dan menjadi tidak terlalu membosankan untuk diikuti bab demi babnya. Atau ini yang dimaksud dengan sketsa?


Catatan lain menurut saya adalah konsistensi karakter, khususnya Ajiz dan Murni. Ada kalanya mereka begitu cerdas, matang dan dewasa di usianya. Kala lain mereka begitu naif bahkan untuk hal yang sebenarnya lebih sederhana dari hal yang sebelumnya pernah mereka sikapi secara cerdas atau dewasa. Lalu ada kalanya mereka cukup religius dengan shalat atau berdoa memohon pertolongan Tuhan. Kala lain mereka sama sekali tidak menjadikan shalat atau doa sebagai pilihan justru pada saat menghadapi persoalan yang jauh lebih berat.


Mengenai yang terakhir saya bisa memaklumi karena Ibu Kembang Manggis memang seorang non-muslim, sementara jika para tokohnya berasal dari masyarakat pedesaan di tanah Sunda, maka tidak bisa tidak latar belakang agamanya harus Islam. Tentu saja sulit untuk mengharapkan beliau memahami naik turunnya
iman seorang muslim terkait kebutuhannya untuk dekat dengan Tuhannya.

Tapi tak apa. She’s the author any how. Dia berhak untuk memilih bahwa buku ini tidak beraliran religi. Dia berhak menyebutnya sketsa dan bukan novel. Dia berhak menentukan untuk menjadikan sosok Nabila adalahseorang
netral terhadap agama dan cenderung lebih mengedepankan rasio (bab tentang kesurupan atau yang membahas Edo dan konflik Islam-Kristen di Ambon), pluralis (bab tentang keturunan PKI di Ciapus), humanis (bab tentang Dody si anak hiperaktif, Eloy si okem/preman, atau misionari di Irian dan Ibu Antoni), nasionalis (bab tentang peran penting UKM dan persoalan pajaknya), demokratis (bab yang bercerita tentang rapat internal dan dialog bebas dengan karyawan), bahkan animalis, hehe…maksud saya penyayang hewan (bab tentang penyelamatan luak).

Betul itu semua hak penulis sepenuhnya. Tapi sekarang saya kebingungan untuk menyimpulkan bagaimana cerita Desaku ini bermuara. Bagaimana menghubungkan secara utuh antara persoalan Ajiz dan keluarganya di Desa Ciapus dengan cerita-cerita Nabila dan para karyawannya, konflik Ambon, PKI, preman, misionari di Irian,UKM, pajak
, hingga luak. Sebegitupun saya belum menyebut-nyebut tentang isu HIV dan human trafficking yang ada di babak tentang Murni dan teman-temannya.

Sungguh, setelah rasa lelah membaca 927 halaman dengan huruf yang lumayan rapat dan idealisme yang melimpah ruah, rasanya saya sudah tak lagi memiliki energi untuk mereka-reka. Tapi setidaknya kerinduan saya terhadap desa sedikit banyak sudah terobati.....


DN