Senin, 11 Oktober 2010

Lebih Baik 'Nonton' Buku daripada 'Baca' Sinetron


Nggak kok, saya nggak salah nulis judul di atas. Lebih baik ‘nonton’ buku daripada ‘baca’ sinetron. Saya sungguh-sungguh menyarankan agar masyarakat kita, khususnya generasi muda, untuk lebih memilih mengkonsumsi buku meskipun baru pada tahap ‘menonton’ (melihat-lihat) daripada menghabiskan waktu luang dengan ‘membaca’ (menghayati) isi sinetron di depan TV. Ini merupakan ungkapan keprihatinan saya terhadap popularitas sinetron-sinetron di Indonesia yang tidak diimbangi dengan perhatian terhadap kualitas, khususnya yang made in Punjabi Group. Terlalu banyak visualisasi yang tidak layak dan tidak mendidik yang disajikan kepada penonton Indonesia, dan bahkan tak jarang melecehkan intelektualitas.

Saya paham, konsumen yang dibidik para produser sinetron mungkin memang bukan kaum intelektual. Tapi bagaimana para calon intelektual yang sekarang masih duduk di bangku sekolah dan belum punya nalar yang cukup untuk menilai mutu tontonan? Sementara akses mereka terhadap TV pun tidak mudah untuk dibatasi, dan tidak semua orang tua punya waktu yang cukup untuk selalu mengawasi channel yang mereka pilih.

I’m not that extreme untuk menghimbau agar sinetron dihapuskan sama sekali dari bumi Indonesia. Kalau film-film Hollywood saja bisa menjadi industri yang berkontribusi signifikan terhadap perekonomian dan hegemoni Amerika Serikat, why not sinetron kita pada suatu saat di suatu masa menjadi hal yang sama? (minimal di kawasan-lah). Harapan saya saat ini hanyalah: jaga kualitas. Buatlah sinetron yang lebih logis, cerdas dan, syukur-syukur, bisa memberikan moral lesson (tanpa kesan menggurui). Sehingga pada akhirnya sinetron dapat dibanggakan sebagai produk Indonesia yang mewakili identitas bangsa. Dan kita pun tidak hanya terbiasa dengan slogan “Baca untuk Hidup yang Lebih Baik”, tapi juga “Sinetron untuk Hidup yang Lebih Baik” (hehehe lebay nggak sih?).

Saya tidak memaksa siapapun untuk berada pada posisi yang sama dengan saya. Saya tahu persis argumen supply and demand yang kerap dilontarkan untuk setiap keberadaan produk yang sifatnya kontroversial. Tidak ada supply tanpa adanya demand. Jadi inilah yang bisa saya lakukan untuk mencoba mengurangi demand dari sisi konsumen hiburan, khususnya TV.

Buat mereka yang telah memiliki nalar yang cukup sehingga bisa membedakan antara yang bagus dan yang jelek buat perkembangan moral, buat mereka yang merasa berpendidikan sehingga tahu persis hal-hal yang menantang dan bukannya merendahkan kecerdasan, buat mereka yang peduli untuk menjaga kualitas generasi penerus dan bangsa ini secara keseluruhan…just SAY NO TO SINETRON NGGAK MUTU and SAY YES TO KEBIASAAN MEMBACA. Peace…

(Btw, please check this out: http://pustakawan.pnri.go.id/uploads/karya/MENINGKATKAN_MINAT_BACA_MASYARAKAT.doc.)

DN

Sabtu, 02 Oktober 2010

Buku baru: The Carrie Diaries (Candace Bushnell)

Ini buku barunya Candace Bushnell tentang Carrie Bradshaw sebelum era Sex and the City. Tapi bukan berarti buku ini ditulis sebelum Candace menulis cerita yang kemudian menjadi serial TV beken itu. Justru sesudahnya. Ini buku cetakan 2010, dan kayaknya belum beredar di Indonesia. Saya beli di toko buku Times Singapura bulan Agustus kemarin. Dan bulan lalu saya browsing di Periplus dan Kinokuniya Plasa Senayan, saya tidak melihat kedua toko yang banyak memiliki buku impor itu memiliki novel ini. Mungkin habis, mungkin terselip atau terlewat dari mata saya, bisa juga.

Tadinya saya berharap akan menemukan rintisan jejak Carrie yang ‘branded fashion freak’ dalam buku ini. Gambar cover-nya pun sudah menjanjikan demikian: tas atau lebih tepat dompet besar berwarna emas dengan tulisan ‘Carrie’ berwarna pink di atasnya. In fact, that’s the only fashion item she mentioned in the book. She didn’t even mention about the brand. The only explanation given is that it was bought by Carrie’s mother in France and it’s so expensive.

Oh sori, masih ada satu lagi. Sepatu. Buku ini dibuka dengan babak hari pertama Carrie masuk SMU yang disambutnya dengan mengenakan sepatu boot putih berbahan patent leather. Ini adalah statement shoes Carrie yang ingin menyambut hari barunya di SMU dengan tekad untuk membedakan diri dari murid kebanyakan. Sepatu itu adalah barang vintage tahun 1970-an yang sudah sedikit retak di salah satu bagian. Sedangkan purse handbag emas di atas tadi adalah fashion item Carrie yang paling berharga peninggalan ibunya yang sudah meninggal dan diperebutkan antara Carrie dan her rebellious youngest sister, Dorrit. Dorrit yang ceroboh memercikkan cat kuku berwarna pink di atas tas tersebut sehingga Carrie terpaksa me-make over-nya dengan menambahkan namanya di tengah percikan-percikan itu dengan cat kuku yang sama. Hasilnya: banyak orang terpikat dengan kreativitas Carrie yang dianggap sangat artistik. That’s all about fashion.

Sisanya, yang mengambil porsi terbesar, adalah cerita masa remaja Carrie yang sudah diwarnai dengan passion atas dunia tulis-menulis dan keinginan menjadi penulis, cool (or hot?) guys, friendship, dan persaingan antar gank cewek keren sekolah, dengan gaya yang sangat Amerika sekali. Semua itu terjadi di kota masa kecil Carrie, Castlebury, yang jauh dari New York, kota masa depannya.

The hot guy dalam cerita ini adalah Sebastian, cowok yang sudah menjadi pria impian di awal masa remaja Carrie, namun sempat pergi meninggalkan Castlebury, mengunjungi dan tinggal di daerah-daerah keren seperti Eropa, sebelum akhirnya kembali lagi ke kota kecil ini dan membuat gempar jagad pergaulan Castlebury yang sempit. Meski bersaing dengan sang primadona high school, Donna LaDonna, Carrie berhasil memenangkan hati Sebastian yang menganggapnya tidak saja menarik namun juga lebih cerdas dan menantang dibandingkan cewek-cewek kebanyakan. Namun pada akhirnya, yang menjadi orang ketiga dalam hubungan Sebastian-Carrie malah sahabatnya sendiri, Lali. Lali lebih memilih mengkhianati persahabatannya demi this irresistible sexy boy! Carrie sendiri juga bukannya tidak memiliki godaan dari sisinya. Ada George, mahasiswa Brown yang sebenarnya charming, cucu seorang penulis terkenal yang diidolai Carrie, namun terlalu ‘serius’ bagi usia Carrie yang masih dalam fase ‘pemberontakkan’.

Tidak ada kesimpulan siapa akhirnya yang menjadi sang pangeran-nya Carrie dan bagaimana kelanjutan dari persahabatannya dengan Lali. Cerita ini ditutup dengan kepergian Carrie ke New York setelah ia diterima di tempat kursus menulis bergengsi di kota besar impiannya tersebut, dan tanpa direncanakan bertemu dengan one of her best friends ever, Samantha Jones.

Terus terang saya merasa agak terkecoh dengan novel ini. Rasanya saya sudah terlalu tua untuk membaca novel yang ceritanya high school banget. Saya sempat berharap, karena Candace bukan penulis cerita remaja, ceritanya akan lebih dewasa meski tokoh utamanya seorang murid SMU. Walaupun pola pikir Carrie sebagai sulung dari tiga bersaudara dalam keluarga tanpa kehadiran seorang ibu membuatnya lebih matang dibandingkan teman-teman seusianya, tapi tetap saja, sajian kisah dan konflik di dalamnya lebih cocok dikonsumsi generasi 1-2 dekade di bawah saya. Carrie yang kritis, Donna LaDonna yang cantik, narsis dan egois, Maggie yang krisis pe-de dan terobsesi dengan tubuh ramping (baca: kurus), Lali yang atas nama cinta menghalalkan segala cara; semuanya merupakan karakter tipikal remaja cewek Amerika yang banyak kita temui di film-film ataupun serial TV remaja asal negeri Paman Sam.

Sebagai pembelaan diri (karena telah memilih novel ini), saya membelinya saat transit kurang lebih satu jam di bandara Changi, Singapura, dalam perjalanan ke Manila, Filipina, akhir Agustus 2010. Terburu-buru dan kondisi perut lapar (maklum Ramadhan) membuat saya menyambar apa saja yang pertama kali menarik mata saya (bayangkan, dengan cover yang keseluruhannya berwarna dasar gold, mana mungkin tidak eye catching?) tanpa sungguh-sungguh membaca sinopsis di sampul belakangnya.

Hehehe…ini jelas ngeles. Lha wong dalam kondisi perut penuh dan waktu yang tak terbatas pun saya sering salah pilih bacaan. Tapi yah lumayanlah. Dibilang nggak memuaskan, faktanya saya berhasil menghabiskan buku dengan ketebalan hampir 400 halaman disela-sela perjalanan 4 hari saya di Manila dan menyelesaikannya sebelum pesawat saya mendarat di Sukarno-Hatta. Nggak sesuai harapan bukan selalu berarti nggak asyik dibaca kan?

DN