Rabu, 17 Maret 2010

Antara Bacaan, Hujan dan Minuman Hangat

Benjamin Franklin bilang, “The person who deserves most pity is a lonesome one on a rainy day who doesn’t know how to read.” Saya setuju banget! Nggak ada yang lebih tepat untuk dilakukan ketika kita sendirian di rumah saat hari hujan selain…..membaca! Suasana hujan yang meniupkan udara dingin dengan suara curahan airnya yang monoton cenderung membuat kita malas, apalagi begitu kita mengambil pe-we (posisi wuenak) terutama berbaring--di tempat tidur kek, di sofa kek--rasanya kita jadi tidak ingin lagi beranjak. Kalau sudah begini, apa yang lebih tepat selain dari sebuah bacaan yang bagus di tangan? (ok, ini memang debatable, cuma para maniak baca yang mungkin setuju, karena kalau suami saya saja misalnya, lebih suka milih: remote TV).

Tapi menurut saya, ada kombinasi yang lebih sempurna dari hanya sekedar hujan dan bacaan, yaitu tambahan berupa minuman hangat! Jadi sebuah hari akan terasa sempurna bagi saya apabila suasana hujan dilalui dengan sebuah bacaan yang bagus di satu tangan dan secangkir minuman hangat di tangan yang lain. Minuman hangatnya bisa apa saja, teh, kopi, coklat, bajigur, bandrek, wedang jahe…whatever you like. Favorit saya memang kopi dan teh. Kopinya cukup kopi instan, karena saya bukan penikmat kopi tubruk. Dan kalau teh saya paling suka teh hijau, tanpa gula.

Nggak cuma kalau di rumah, kalau sedang di luar rumah pun, secangkir minuman hangat menjadi pilihan yang melengkapi kegiatan membaca. Misalnya saat saya harus menunggu suami saya karena janjian pulang bareng, kebetulan di dekat kantornya ada Starbucks, saya dengan senang hati akan menghabiskan waktu saya di sana dengan membaca ditemani secangkir green tea latte ukuran tall! Perfect.

Tapi faktor nilai bacaan memang mengambil peran penting di sini. Sesempurna apapun setting tempat dan suasananya, kalau bacaannya payah, ya jadi nggak asyik juga. Kalau bacaannya bagus seperti buku-buku yang unputdownable, saya tidak perduli dimana pun saya berada selama saya sedang tidak melakukan sesuatu yang penting (seperti bekerja atau mengurus keluarga), mata saya tidak akan beranjak dari buku yang sedang saya baca. Saya sering baca sambil berdiri di kereta api ekspres Jabodetabek yang lagi penuh-penuhnya. Satu tangan memegang buku, tangan yang lain memegang tali pegangan kereta. Giliran kondektur datang menagih tiket, saya sering jadi sedikit ‘jaipongan’, karena lebih memilih melepaskan tangan yang memegang tali pegangan daripada melepas buku karena saya tidak rela membuang sedikitpun waktu untuk mencari-cari lagi halaman terakhir yang saya baca (!)

Kalau harus membaca di atas kendaraan, sebenarnya paling pas ya saat di atas pesawat. Apalagi perjalanan jarak jauh. Kegiatannya hanya: baca-tidur-baca lagi-makan sambil baca-tidur lagi-baca lagi…..Tapi tergantung penerbangannya juga. Kalau kita sedang naik di kelas binis atau naik kelas ekonomi yang setiap seat diberi fasilitas audio-video, ya variasinya ditambah nonton film.

Ada satu posisi baca yang gemar saya lakukan pada saat saya tinggal di Australia tapi jarang atau malah tidak pernah lagi saya lakukan di Indonesia, yaitu: baca sambil duduk di atas rumput! Apalagi saat udara dingin (awal musim semi) dan matahari sedang bersinar malu-malu. Hmmh…nikmat sekali duduk di atas rumput di tengah spot sinar matahari sambil membaca. Ditambah lagi sambil menyeruput minuman coklat hangat. Rumputnya terutama yang di pelataran kampus (di pinggir danau lho, karena ada danau di kampus saya) sama di taman di tengah kota.

Herannya, setelah di sini (Jakarta maksudnya) saya jadi rese’ bin rewel kalo disuruh duduk di atas rumput. Celana nanti kotorlah, ada cacinglah, semut rang-ranglah, sok deh pokoknya! But to tell the truth…tidak ada halaman rumput manapun di sudut Jakarta yang mengundang untuk diduduki sambil baca di atasnya. Lagian saya bakal keliatan lebay banget duduk-duduk sendirian di rumput taman sambil baca. Yang ada saya malah didatangin satpam yang akan mengingatkan saya pada keberadaan papan tulisan ‘Dilarang Menginjak Rumput’, atau malah preman yang mau malak kalau itu terjadi di taman tengah kota (Taman Surapati? Monas? Taman Menteng?).

Ada posisi baca lain yang tadinya saya pikir berprospek menarik tapi ternyata tidak seindah bayangan, yaitu dipinggir kolam renang saat menemani (atau mengawasi tepatnya) anak-anak saya berenang. Saya kira saya bisa leyeh-leyeh di bangku panjang sambil minum jus jeruk (kalau pagi) atau teh hangat (kalau sore) sementara menunggu mereka bermain air. Ternyata oh ternyata, saya meleng sedikit, anak saya yang besar sudah hampir tenggelam di bagian yang dalam. Habis, dia modal berenangnya baru satu gaya tapi merasa sudah seperti Deni Manusia Ikan, atau kalaupun dia bertahan di kolam kecil, adiknya yang dijadikan eksperimen Deni Manusia Ikan! Jadi meskipun sampai sekarang saya selalu bawa bacaan ke pinggir kolam renang saat menemani anak-anak saya, saya tidak pernah berhasil melewati satu halaman pun dengan fokus penuh, no matter how good the reading I am bringing.

Anyway, Benjamin Franklin tidak salah kok dengan kalimat quotation di atas, since he’s referring to a lonesome one. A lonesome one means orang yang lagi sendirian. Karena sesempurna apapun situasinya: ada hujan yang deras, bacaan yang bagus dan minuman hangat yang nikmat, kalau saat itu sebenarnya kita sedang berada di tengah pelaksaanaan peran kita sebagai ‘social animal’, seperti sebagai istri dan ibu kayak saya misalnya, bersiaplah untuk interupsi semacam, “Kayaknya enak nih dingin-dingin makan Indomie. Bikinin dong!”(=suami) atau “Aku mau pipiiiis…!!!” (=anak).

DN

2 komentar:

  1. Setuju,susah utk baca buku d taman d jakarta (tambahan: medan jg) kec d lingkungan taman kampus..d mall niat bc sambil ngopi sering,tp begitu masuk malah mesan snack yg membuat buku yg mau dbaca g kebaca..

    BalasHapus
  2. taruhan, pasti kamu sebenarnya pesan nasi atau makanan berat lainnya, jadi nggak sempet baca. kalo bener2 cuma snack sih tetep bisa baca. hayo ngaku...?!

    BalasHapus