Minggu, 28 Maret 2010

Buku Baru: Selimut Debu (Agustinus Wibowo)

Pernah nggak dengar omongan seperti ini? [Setting: jalanan Jakarta yang macet dengan mobil-mobil yang mengantri panjang. Tiba-tiba sebuah mobil nekat menyeruak barisan dan berjalan di sisi kanan sampai kemudian bertemu dengan mobil lain dari arah yang berlawanan. Si mobil nekat pun mepet ke kiri berusaha memasuki barisan, tapi tak ada yang mau member ruang, sehingga jalanan pun makin macet] “Dasar orang Indonesia, nggak bisa diajak tertib! Coba di Barat, nggak ada situasi kayak gini. Malah macet pun mungkin nggak ada. Huh, namanya aja Indonesia! Kapan mau maju ini bangsa kalau orang-orangnya model begini semua?"

Dan kita-kita yang kebetulan mendengar celetukan seperti itu pun manggut-manggut, seolah ikut menyesali, kenapa kita mesti dilahirkan sebagai orang Indonesia. Kenapa nggak jadi orang ‘Barat’ (baca: bule) saja yang selama ini identik dengan orang-orangnya yang maju dan beradab?.

Tapi coba deh baca bukunya Agustinus Wibowo yang berjudul “Selimut Debu”, dijamin kita akan mensyukuri terlahir sebagai orang Indonesia, dengan negaranya yang (relatif) damai, alamnya yang indah, hasil buminya yang berlimpah, para pemimpin yang cukup mengerti bagaimana menjalankan perannya. Ya, soalnya buku yang tebalnya hampir 500 halaman ini bercerita tentang sebuah negara yang sebagian besar wilayahnya berselimut debu, dengan lalat yang berterbangan di hampir setiap sudut negara, tak putus dirundung konflik dan persoalanan keamanan, perekonomian yang tidak berprospek, serta hasil bumi andalannya adalah opium. Itulah Afganistan.

Dari awal sampai akhir membaca buku itu, saya tidak habis pikir, kenapa si Agustinus ini tertarik untuk datang ke negara yang dari dulu cuma terkenal tentang berita perangnya saja? Apa menariknya negara yang identik dengan ‘pusat pelatihan’ para teroris di Indonesia itu? Yang ada malah bertaruh nyawa. Mending ke Swiss kek, Perancis kek, pokoknya ‘Barat’ lah!

Tapi kalau kita pernah mengikuti serial petualangannya Agustinus Wibowo di Kompas online (sekarang sudah nggak ada, dia udah punya blog sendiri) yang judulnya diantaranya: “Mengembara ke Negeri-negeri Stan” (maksudnya bekas wilayah bagian Uni Soviet yang nama negaranya berakhiran ‘stan’ kayak Tajikistan, Uzbekistan, Kyrgistan, Kazakhstan, dll, dsb, dst), kita jadi memahami, bahwa buat Agustinus, semakin nggak populer sebuah negara sebagai tujuan wisata dunia, semakin tertarik dan tertantang dia untuk mengunjunginya bukan sebagai turis, tapi pengelana. Dan Agustinus bukan seorang backpacker biasa, he’s an explorer, an adventurer!

Ini, saya kutipkan kalimat dari buku yang menceritakan awal mula ketertarikan si Agustinus untuk menjelajahi Afganistan (to prove that he’s not completely sane!) yang katanya terinisasi oleh seorang penjelajah asal Jepang yang dikenalnya dalam sebuah perjalanan.

Lelaki Jepang ini sudah berkelana ke pelbagai penjuru Afganistan…Semuanya dengan mencegat kendaraan di jalan. Tak pernah dia tinggal di penginapan, selalu di kedai teh, yang konon selalu menyediakan tempat bermalam gratis bagi siapa pun yang makan di sana…Karpetnya jorok. Lalatnya ratusan, berdenging-denging ribut…Belum lagi kalau harus dipaksa makan di sini hanya demi menginap gratis…Daging kambing yang seharusnya merah segar semua tampak hitam dikerubungi lalat. Selain debu, makanan itulah yang menjadi santapan sehari-hari di negeri ini” (hal. 13).

Ada yang menganggap ini menarik? Ayo tunjuk tangan! Kalau merasa diri normal, pasti sepakat kalau saya berikan komentar singkat tentang keterangan ini: amit-amit! Tapi coba, apa komentar Agustinus tentang ini:

Berkeliling Afganistan dengan menumpang truk, menginap gratis di kedai teh kumuh, berkawan dengan dengungan lalat gemuk, mengunjungi dusun terpencil di balik gunung, mencari Firdaus yang tersembunyi, semuanya tiba-tiba menjadi mimpi saya di malam-malam berikutnya” (hal. 14).

See what I mean? Tapi itulah keistimewaan seorang Agustinus Wibowo. Hanya berbekal 300 dollar AS (kurang dari 3 juta rupiah) dia pun memulai petualangannya ke Afganistan di tahun 2006. Bekal yang tak seberapa itu pun dicuri orang saat dia sedang beristirahat. Dan dengan sisa 5 dollar AS (kurang dari 50 ribu rupiah), dia berusaha melanjutkan perjalanan (yang makin berat tentu saja) dan mencari pertolongan dari seorang teman.

Ini masih belum seberapa lho. Dia juga sering terserang diare (tapi tidak selalu menemukan toilet yang layak), dirayu homo (yang memang marak di negara yang ketat melarang hubungan lawan jenis di luar lembaga pernikahan, jadi buat amannya mereka memilih hubungan sejenis!), dan ditipu oleh penduduk setempat yang mengambil kesempatan dari ketidaktahuannya.

Semua itu bagi Agustinus terbayar saat dia menyaksikan keindahan Koridor Wakhan, eksotisme Chapursan, dan wilayah-wilayah lain yang tersembunyi dan terlupakan. Waktu seakan berhenti di sana. Para penduduknya hidup dengan teknologi yang masih sangat sederhana. Ada foto-foto tempat-tempat tersebut yang disisipkan oleh Agustinus dalam bukunya. Memang terlihat indah (dari foto lho!).

Lebih istimewa lagi, Agustinus selalu menyisipkan pengetahuan menarik saat dia menceritakan perjalanannya. Fakta politik, sosial, maupun budaya Afganistan, selalu disisipkan tanpa terkesan menggurui. Tentang pemerintahannya yang tidak efektif sehingga di suatu daerah setiap orang bisa membawa senjata api kemana-mana, kayak orang bawa golok kalau di Indonesia. Tentang Bank Dunia dan lembaga-lembaga internasional lain dengan program-program pembangunannya yang sama tidak efektifnya tapi menggaji stafnya hingga ribuan dollar per bulan. Tentang komunitas orang cacat korban ranjau yang kalau dikumpulkan dan didanai bisa bikin parpol sendiri di sana. Tentang pembenaran mengapa kebanyakan para wanita di sana memilih untuk terus mengenakan burqa, meskipun era Taliban telah lewat. Tentang etnis Pashtun yang merasa diri paling superior dihadapan etnis di Afganistan lainnya karena lekat dengan sejarah tokoh-tokoh besar.

Semua ini bagi kita akan sama asingnya dengan kehidupan yang ada di Saturnus kalau tidak ada orang dengan nyali sebesar Agustinus. Dan tanpa mengetahui ini semua, sebagian kita juga tidak akan pernah mensyukuri terlahir sebagai bangsa Indonesia, yang meski sering nggak tertib, tapi masih jauh lebih banyak memiliki hal yang bisa dinikmati daripada para penduduk negara berselimut debu (dan lalat) itu. Hidup Indonesia!

DN

Selasa, 23 Maret 2010

Majalah, Majalah!

Jenis bacaan yang pertama kali dikenalkan orang tua saya untuk saya adalah majalah. Tepatnya majalah Bobo. Bener lho, saya dilanggankan majalah Bobo sejak berumur 5 tahun, dan saat itu saya belum bisa baca! Ibu sayalah yang rajin membacakan cerita-cerita di dalam majalah buat saya, terutama saat jam makan sambil disuapin (!) Ada cerita Bobo dan keluarganya,Cerita Negeri Dongeng (Oki dan Nirmala), Bona si Gajah Kecil Berbelalai Panjang (banget!),Paman Kikuk, Juwita dan si Sirik (yang ini kayaknya udah nggak ada di Bobo yang sekarang deh. Saya tahu soalnya anak saya melanjutkan tradisi ibunya berlangganan Bobo).

Dari sinilah kegemaran membaca saya dimulai. Selanjutnya, meskipun saya juga membaca jenis bacaan lainnya, majalah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari hidup saya. Bahkan menjadi-jadi setelah saya menikah dengan suami saya yang magazine-freak. Anak-anak saya pun ikutan hobi baca majalah. Favorit mereka Bobo, Mombi dan XY Kids.

Berbeda dengan jenis bacaan lainnya, majalah lebih disukai karena variasi informasi dan hiburan yang ada didalamnya. Informasinya pun up to date (as long as we read the latest edition, of course) dan kebanyakan disertai gambar/foto yang menarik. Tapi sedihnya, berbeda dengan buku yang nggak kenal tanggal kedalursa, majalah lewat satu bulan aja sudah terasa basi, terutama untuk artikel yang sifatnya berita. Kalau informasi yang sifatnya umum atau pengetahuan kayak misalnya: “Tips Menjaga Kesehatan di Masa Hamil”, atau “Resep-resep Pilihan bagi Penderita Diabetes”, atau “Bagaimana agar Selalu Disayang Pasangan”, ini bisa everlasting. Kalau mau, bisa di-kliping. Sayangnya, saya nggak rajin membenahi atau membendel koleksi majalah saya agar storable. Alasan lainnya: nggak ada tempat di rumah! Alhasil, tiap 2 tahun sekali saya melakukan magazine-cleansing (yang disambut baik oleh para pemulung di sekitar rumah).

Ok, ini daftar majalah yang datang silih berganti dalam kehidupan saya sampai saat ini.

Ananda
dan si Kuncung. Ini majalah masa kecil saya setelah Bobo. Keduanya sudah almarhum. Mereka memang tidak seistimewa Bobo. Tapi saya menyukai Ananda terutama bonus komik cerita rakyatnya bikinan Jan Mintaraga. Kalau Kuncung yang saya ingat majalahnya minim gambar, tapi cerpen-cerpennya bagus-bagus dan sangat educated (maklum proyek P4-related kayaknya).

Hai
dan Anita Cemerlang. Keduanya majalah bacaan kakak-kakak saya sebenarnya. Hai punya kakak laki-laki saya dan Anita Cemerlang punya kakak perempuan saya. Favorit saya di Hai apalagi kalau bukan Lupus-nya Hilman Hariwijaya. Sempat ada juga Tia-nya Kembang Manggis yang juga cukup legendaris. Kalau Anita Cemerlang itu majalah kumpulan cerpen dengan cerita yang kebanyakan cengeng-cengeng. Tentang orang-orang yang nggak punya urusan penting lain di dunia ini kecuali urusan asmara (sama kayak cerita-cerita sinetron Indonesia masa kini). Saya baca purely because of a kid’s curiosity.

Gadis
dan (Alm) Mode. Ini dua majalah remaja yang mulai saya baca di bangku SMP. Paling seru kalau pas musim pemilihan Gadis Sampul, Cover Girl dan…Cover Boy! Saya sama temen-temen sekolah saya (yang cewek tentunya!) sampai terpekik-pekik ngeliat foto-fotonya Ado, Iwan, Resnu, Arik, and so on and so forth. Kalau Gadis Sampul yang lahir pada masa itu ada Zara Zetira, Desy Ratnasari, Btari Karlinda, Ersa Mayori sampai (alm) Nike Ardila! Saya juga menikmati bagian yang mengulas mode dan kecantikan (maklum mulai puber), cerpen, plus rubrik pskologi yang membahas konsultasi hubungan muda-mudi yang sebagian besar isinya begini: “Cowok saya berkali-kali menyakiti hati saya dengan berselingkuh dengan cewek lain. Tapi saya cinta banget sama dia. Apakah saya sebaiknya mengakhiri hubungan ini?” (Honestly, do we really still need to seek opinion about this? The answer’s been crystal clear, don’t you think?)

Times, Newsweek, the Economist, Asiaweek, Far Eastern Economic Review
, dll, dst, dsb. Ini bacaan jaman kuliah. Bukannya sok, tapi saat itu saya sempat punya pekerjaan sampingan di sebuah surat kabar lokal (di Bandung) untuk menerjemahkan artikel/berita menarik yang diambil dari kantor-kantor berita asing dan majalah-majalah bule kayak di atas. Tapi masa itu selera bacaan saya memang sok serius, mentang-mentang sering bergaul dengan anak-anak kampus yang ‘garis keras’. Apalagi saya bergabung dengan majalah kampus untuk meliput berita dan menulis artikel-artikel yang nggak kalah sok seriusnya.

Kartini
dan Femina. Sebenarnya saya baca Kartini dan Femina sejak kecil karena kebetulan ibu saya berlangganan kedua majalah tersebut. To be frank, kalau di Kartini yang paling sering saya baca waktu itu adalah kisah Oh Mama Oh Papa. The stories were soooo tragic that made me thrilled! Kalau Femina saya suka ngeliatin gambar resep-resep makanannya. Setelah bekerja dan menyadari kebutuhan referensi mode, karir dan kepribadian (suit, suit!), saya melanjutkan tradisi ibu saya berlangganan Femina. Tapi setelah sekian tahun saya amati majalah ini cenderung me-recycle isu-isu yang ada (hanya contoh kasusnya disesuaikan dengan masanya), saya pun jenuh dan mulai berpaling ke banyak majalah lain. Sempat ke Cosmopolitan, tapi hanya sebentar karena saya sering ‘malu ati’ baca artikel-artikel yang bule banget vulgarnya. Tapi akhirnya balik lagi ke Femina karena saat itu belum ada majalah wanita lain yang memenuhi selera saya. Dan ini bertahan sampai saya menikah.

Tempo
dan Gatra. Saya mengenal majalah Tempo sebenarnya dari ayah saya yang memang sudah berlangganan sejak 1980-an sampai sebelum dibreidel oleh rezim Suharto di pertengahan tahun 1990an. Tapi mulai saya baca beneran (nggak cuma ikut-ikutan ayah saya saat masih kecil) waktu majalah ini reborn di jaman reformasi yaitu saat saya sudah bekerja. Saya juga sempat rutin baca versi ‘perjuangannya’ (Tempo-Perjuangan alias pecahannya Tempo): Gatra. Tapi saya cenderung lebih suka yang pertama. Saya suka Tempo dengan alasan yang sama saya menyukai surat kabar Kompas. Bahasanya tertata baik dan cerdas. Artikel/beritanya juga enak dibaca.

Vogue, Harper’s Bazaar, Elle, Madison, Marie Claire, Women’s Weekly
,
dkk. Ini majalah-majalah yang saya baca saat saya tinggal di Australia. Bener-bener euphoria. Gimana enggak? Harga majalah di sana terasa sangat affordable. Kalau dikurs-kan sih sebenernya nggak murah juga, antara AU$ 7-10 (sekitar Rp 55-85 ribu). Tapi itu setara dengan jatah sekali makan siang saya di sana. Sementara di sini, meskipun secara nominal nggak beda jauh, tapi jumlah tersebut bisa 3-4 kali lipat jatah makan siang harian saya di luar. Jadi agak merasa bersalah juga kalau keseringan beli, apalagi rutin.

Rumah
dan Idea. Ini dua majalah baru yang terbit saat booming properti di awal tahun 2000an. Suami sayalah yang rajin membeli dan bahkan berlangganan waktu kami mulai membangun rumah baru kami di tahun 2007. Tapi sampai sekarang meskipun rumahnya sudah jadi dan ditempati, sesekali kami masih suka kok beli majalah-majalah yang mengulas properti dan interior ini. Gambarnya bagus-bagus, bisa buat contoh kalau bosan sama tatanan yang sekarang.

Dewi
dan Noor. Ini dua majalah yang sekarang sedang saya gemari. Saya suka Dewi karena majalah ini memberi saya ‘wawasan’ mengenai dunia yang ingin saya kenal sebagai outsider: dunia fashion yang high-end brands. Saya suka mengetahui detail sebuah barang fashion yang dinilai berkualitas, hanya sebagai referensi saja. Jadi kalau saya harus membeli untuk diri saya sendiri saya bisa menilai kualitas yang maksimal yang dapat terjangkau oleh kantong saya sendiri. Sedangkan Noor, majalah dengan segmen muslimah (yang sadar gaya), saya baca sebagai penyeimbang agar saya nggak terjerat dalam konsumerisme semata, tapi ada sentuhan keimanannya. Wise, aren’t I? (Cuih!).

Yah, baik berlangganan maupun membeli ketengan, majalah akan selalu menjadi bagian hidup saya yang selalu saya nantikan kehadirannya tiap minggu atau tiap bulan. They always make my days! Ibaratnya hidup tanpa majalah bagaikan sayur tanpa garam (eh, lebay nggak ya perbandingannya?).

DN

Rabu, 17 Maret 2010

Antara Bacaan, Hujan dan Minuman Hangat

Benjamin Franklin bilang, “The person who deserves most pity is a lonesome one on a rainy day who doesn’t know how to read.” Saya setuju banget! Nggak ada yang lebih tepat untuk dilakukan ketika kita sendirian di rumah saat hari hujan selain…..membaca! Suasana hujan yang meniupkan udara dingin dengan suara curahan airnya yang monoton cenderung membuat kita malas, apalagi begitu kita mengambil pe-we (posisi wuenak) terutama berbaring--di tempat tidur kek, di sofa kek--rasanya kita jadi tidak ingin lagi beranjak. Kalau sudah begini, apa yang lebih tepat selain dari sebuah bacaan yang bagus di tangan? (ok, ini memang debatable, cuma para maniak baca yang mungkin setuju, karena kalau suami saya saja misalnya, lebih suka milih: remote TV).

Tapi menurut saya, ada kombinasi yang lebih sempurna dari hanya sekedar hujan dan bacaan, yaitu tambahan berupa minuman hangat! Jadi sebuah hari akan terasa sempurna bagi saya apabila suasana hujan dilalui dengan sebuah bacaan yang bagus di satu tangan dan secangkir minuman hangat di tangan yang lain. Minuman hangatnya bisa apa saja, teh, kopi, coklat, bajigur, bandrek, wedang jahe…whatever you like. Favorit saya memang kopi dan teh. Kopinya cukup kopi instan, karena saya bukan penikmat kopi tubruk. Dan kalau teh saya paling suka teh hijau, tanpa gula.

Nggak cuma kalau di rumah, kalau sedang di luar rumah pun, secangkir minuman hangat menjadi pilihan yang melengkapi kegiatan membaca. Misalnya saat saya harus menunggu suami saya karena janjian pulang bareng, kebetulan di dekat kantornya ada Starbucks, saya dengan senang hati akan menghabiskan waktu saya di sana dengan membaca ditemani secangkir green tea latte ukuran tall! Perfect.

Tapi faktor nilai bacaan memang mengambil peran penting di sini. Sesempurna apapun setting tempat dan suasananya, kalau bacaannya payah, ya jadi nggak asyik juga. Kalau bacaannya bagus seperti buku-buku yang unputdownable, saya tidak perduli dimana pun saya berada selama saya sedang tidak melakukan sesuatu yang penting (seperti bekerja atau mengurus keluarga), mata saya tidak akan beranjak dari buku yang sedang saya baca. Saya sering baca sambil berdiri di kereta api ekspres Jabodetabek yang lagi penuh-penuhnya. Satu tangan memegang buku, tangan yang lain memegang tali pegangan kereta. Giliran kondektur datang menagih tiket, saya sering jadi sedikit ‘jaipongan’, karena lebih memilih melepaskan tangan yang memegang tali pegangan daripada melepas buku karena saya tidak rela membuang sedikitpun waktu untuk mencari-cari lagi halaman terakhir yang saya baca (!)

Kalau harus membaca di atas kendaraan, sebenarnya paling pas ya saat di atas pesawat. Apalagi perjalanan jarak jauh. Kegiatannya hanya: baca-tidur-baca lagi-makan sambil baca-tidur lagi-baca lagi…..Tapi tergantung penerbangannya juga. Kalau kita sedang naik di kelas binis atau naik kelas ekonomi yang setiap seat diberi fasilitas audio-video, ya variasinya ditambah nonton film.

Ada satu posisi baca yang gemar saya lakukan pada saat saya tinggal di Australia tapi jarang atau malah tidak pernah lagi saya lakukan di Indonesia, yaitu: baca sambil duduk di atas rumput! Apalagi saat udara dingin (awal musim semi) dan matahari sedang bersinar malu-malu. Hmmh…nikmat sekali duduk di atas rumput di tengah spot sinar matahari sambil membaca. Ditambah lagi sambil menyeruput minuman coklat hangat. Rumputnya terutama yang di pelataran kampus (di pinggir danau lho, karena ada danau di kampus saya) sama di taman di tengah kota.

Herannya, setelah di sini (Jakarta maksudnya) saya jadi rese’ bin rewel kalo disuruh duduk di atas rumput. Celana nanti kotorlah, ada cacinglah, semut rang-ranglah, sok deh pokoknya! But to tell the truth…tidak ada halaman rumput manapun di sudut Jakarta yang mengundang untuk diduduki sambil baca di atasnya. Lagian saya bakal keliatan lebay banget duduk-duduk sendirian di rumput taman sambil baca. Yang ada saya malah didatangin satpam yang akan mengingatkan saya pada keberadaan papan tulisan ‘Dilarang Menginjak Rumput’, atau malah preman yang mau malak kalau itu terjadi di taman tengah kota (Taman Surapati? Monas? Taman Menteng?).

Ada posisi baca lain yang tadinya saya pikir berprospek menarik tapi ternyata tidak seindah bayangan, yaitu dipinggir kolam renang saat menemani (atau mengawasi tepatnya) anak-anak saya berenang. Saya kira saya bisa leyeh-leyeh di bangku panjang sambil minum jus jeruk (kalau pagi) atau teh hangat (kalau sore) sementara menunggu mereka bermain air. Ternyata oh ternyata, saya meleng sedikit, anak saya yang besar sudah hampir tenggelam di bagian yang dalam. Habis, dia modal berenangnya baru satu gaya tapi merasa sudah seperti Deni Manusia Ikan, atau kalaupun dia bertahan di kolam kecil, adiknya yang dijadikan eksperimen Deni Manusia Ikan! Jadi meskipun sampai sekarang saya selalu bawa bacaan ke pinggir kolam renang saat menemani anak-anak saya, saya tidak pernah berhasil melewati satu halaman pun dengan fokus penuh, no matter how good the reading I am bringing.

Anyway, Benjamin Franklin tidak salah kok dengan kalimat quotation di atas, since he’s referring to a lonesome one. A lonesome one means orang yang lagi sendirian. Karena sesempurna apapun situasinya: ada hujan yang deras, bacaan yang bagus dan minuman hangat yang nikmat, kalau saat itu sebenarnya kita sedang berada di tengah pelaksaanaan peran kita sebagai ‘social animal’, seperti sebagai istri dan ibu kayak saya misalnya, bersiaplah untuk interupsi semacam, “Kayaknya enak nih dingin-dingin makan Indomie. Bikinin dong!”(=suami) atau “Aku mau pipiiiis…!!!” (=anak).

DN

Kamis, 11 Maret 2010

Buku (Agak) Baru: The Host (Stephanie Meyer)

Para pembaca setia serial Twilight pasti tahu dan mengakui, Stephanie Meyer itu piawai banget mengaduk emosi orang melalui cerita-ceritanya. Cinta Bella dan Edward yang kuat tapi tak mudah disatukan terasa menggemaskan dan membuat para pembaca terikat dengan keinginan untuk menemukan ujung yang happily ever after.

Cerita The Host juga hampir sama. Meyer sekali lagi memainkan emosi pembacanya melalui kisah cinta 2 anak muda yang terhambat perbedaan spesies (!). Hanya bedanya kalau di Twilight perbedaan spesies-nya antara manusia dan vampire, kalau di the Host itu antara manusia dan alien (I wonder if in her next novel Meyer is challenged to explore a love life between a human and…a monster maybe?).

Begini ceritanya. Bumi diserbu sama makhluk angkasa luar yang ‘modus operandi’ penyerbuannya adalah dengan menyusup ke dalam tubuh-tubuh makhluk penghuni planet yang diserangnya, karena wujud dari para alien ini adalah ‘jiwa’ (soul). Ada manusia yang jadi berubah sama sekali kepribadiannya karena jiwa manusianya sudah hilang dikalahkan oleh jiwa alien. Ada yang jiwa asli manusianya masih ada, hanya dijajah saja sama sang jiwa baru dan berebut pengaruh atas raga. Jadi nanti kayak orang berkepribadian ganda, karena kadang kepribadian lamanya masih suka muncul. Tapi yang jelas para jiwa alien ini bisa mengakses memori jiwa lama untuk bertingkah-laku seolah mereka masih manusia yang sama untuk kemudian menjebak para manusia original lainnya. Oiya, para jiwa alien ini terobsesi untuk menciptakan semesta yang penuh kedamaian karena mereka anti kekerasan dan gemar mempelajari kebiasaan makhluk-makhluk planet lain untuk diperbaiki perilakunya agar lebih civilized. Itulah sebabnya mereka hobi menganeksasi raga makhluk planet setempat dan menguasai pikirannya untuk kemudian menaklukan seluruh planet, but with peaceful way.

Nah, si tokoh kita Melanie ini adalah manusia yang jiwa lamanya masih ada meskipun raganya sudah disusupi sama jiwa baru ber-ras alien yang bernama Wanderer (belakangan disebut Wanda). Sebelumnya, Melanie ini tergabung dalam kelompok manusia yang masih orisinal dan hidup bersembunyi dan juga berpacaran dengan salah satu anggota kelompok yang bernama Jared. Berhubung Melanie cinta banget sama si Jared, si Wanda yang udah jadi the host di tubuh Melanie dan bisa mengakses pikirannya, jadi ikutan siang-malam mikirin Jared dan ujung-ujungnya jatuh cinta sama si Bang Jared. Jadilah Wanda terobsesi menemukan Jared di tempat persembunyiannya. Setelah ketemu, Wanda malah mendapatkan penolakan hebat dari Jared yang tahu kalau tubuh Melanie sudah dijajah sama jiwa alien. Inti cerita adalah: upaya Wanda sekaligus Melanie untuk memenangkan cinta Jared. Sementara si Bang Jared terperangkap dalam kebingungan untuk menentukan apakah dia mesti cinta atau mesti benci sama the new Melanie ini. Masalahnya si Wanda meskipun alien tapi hatinya baik juga (sebagaimana doktrin para jiwa). Cerita tambah kompleks karena teman Jared, Ian, ikut-ikutan jatuh cinta sama the new Melanie. Ending-nya? Win-win solution deh pokoknya!

Oke, mungkin Meyer memang tidak meniatkan The Host untuk jadi serial. Jadi dia punya keterbatasan ruang untuk mengeksplor segala sesuatunya secara detail. Tapi menurut saya yang agak menganggu, Meyer jadi terkesan terburu-buru untuk mencapai saat dimana si jiwa Wanda jadi terobsesi untuk mencari Jared. Dia hanya menghabiskan tidak sampai satu bab dan…jreng, jreng! Wanda pun siap mempertaruhkan jiwa dan raganya untuk menemukan cowok yang mendominasi pikiran Melanie.

Demikian juga dengan setting latar belakang Wanda yang alien, Meyer tidak merasa perlu bersusah payah untuk membangun penjelasan logis agar keberadaan para jiwa pengelana terasa lebih hidup. Mengapa mereka begitu terobsesi untuk mempelajari spesies lain sampai rela bersusah payah berekspansi dan megokupasi planet-planet lain tapi dengan spirit cinta damai mereka (???). Mengapa para Pencari (intel-nya jiwa) dibenarkan bersikap keras dan to some extent kejam di tengah spesies yang memiliki motto: kedamaian semesta alam atau ‘universe without coercion’ (ini slogan ciptaan saya sendiri tapi).

Tapi giliran sampai ke bagian ‘eksplorasi perasaan cinta’, Meyer bisa begitu detail dan menghabiskan berpuluh-puluh bab untuk menggambarkan naik-turunnya emosi cinta segi empat antara Melanie, Wanda, Jared dan Ian. Sebentar sayang, sebentar benci, nanti sayang lagi, trus nggak sayang lagi…..

Well, what do we expect? Ini memang fiksi romantis kok, tidak dimaksudkan sebagai science fiction. Dan sekali lagi ini memang kekuatan Stephanie Meyer, bikin para pembacanya terhanyut menyelami gejolak emosi tokoh-tokohnya yang berjuang memenangkan cinta sejati mereka. Seperti Banana Yoshimoto (Kitchen, Moonlight Shadow) yang hobi mengeksplorasi perasaan kehilangan seseorang yang ditinggal mati sama orang terdekatnya. Tapi herannya kok mereka bisa ya bikin hal yang kalau kita temui sendiri dalam kehidupan sehari-hari kelihatannya ‘nggak penting’ jadi sesuatu yang asyik buat diikuti sebagai sebuah bacaan yang sama sekali nggak sedikit jumlah halamannya? Authors…

DN

Rabu, 10 Maret 2010

Toko Buku di Jakarta

Tidak ada maniak baca yang bisa menjalani hidup tanpa toko buku. Toko buku adalah surga bagi para penggila baca, sama halnya mall atau butik bagi para penggila belanja. Bahkan dengan satu kelebihan. Jika seorang penggila belanja tidak bisa benar-benar memiliki sebuah benda fashion yang disukainya tanpa membelinya, seorang penggila baca bisa ‘memiliki’ bacaan yang disukainya tanpa harus membelinya. Sebab, bukankah kekayaan koleksi bacaan itu dihitung dari apa yang kita baca, bukan dari apa yang kita miliki? Jadi jika si A membaca Harry Potter seri Deathly Hallow dari buku yang dibelinya, dan si B membaca Deathly Hallow dari buku yang dipinjamnya, serta si C membacanya secara mencicil dari buku Deathly Hallow yang di-display di toko buku, ketiganya bisa dikatakan sama-sama pembaca Harry Potter the Deathly Hallow.

Life is easier for bookaholics than for shopaholics, isn’t it?

Hampir tiap minggu saya ke toko buku, baik sendiri sepulang kantor maupun bersama keluarga di akhir pekan. Dari sejumlah bookstore chain yang ada di Jakarta: Gramedia, Gunung Agung, Maruzen, Utama, Kinokuniya, Periplus, QB (masih ada nggak sih?), favorit saya adalah Gramedia. Kenapa Gramedia?

Pertama, Gramedia ada dimana-mana. Hampir di setiap sudut Jabodetabek, kita bisa menemukan Gramedia dengan ukuran toko yang bervariasi. Yang paling besar tentu saja yang di Matraman (tapi lokasi favorit saya yang di Grand Indonesia).

Kedua, koleksi buku Gramedia bisa dibilang lengkap, dalam berbagai jenisnya. Meski untuk buku edisi bahasa Inggris koleksinya agak terbatas, kalah lengkap dengan Kinokuniya misalnya. But, why on earth does an Indonesian need to buy English books on weekly basis?

Ketiga, manajemen Gramed cukup baik hati dengan membiarkan pelanggan untuk membuka bahkan membaca satu eksemplar yang tidak dibungkus plastik, sepanjang bacanya tidak sambil nongkrong atau sambil mencatat isi bacaan (tapi di beberapa Gramed, saya lihat pihak manajemen membiarkan pengunjungnya membaca isi buku dalam posisi ‘taman bacaan’ alias sambil duduk atau gelosoran di lantai).

Keempat, ada komputer untuk mengecek atau melacak posisi dan status ketersediaan buku, yang bisa diakses oleh pengunjung dan tersedia di banyak sudut, khususnya di Gramedia yang berukuran luas.

Kelima, buku-buku terbitan Gramedia banyak yang bagus. Tapi tidak semua toko buku non-Gramed sudi menjualnya secara lengkap. Jadi kemana lagi kita mencari buku bagus terbitan Gramedia dengan peluang yang tinggi untuk mendapatkannya kalau bukan di Gramedia sendiri?

(Hmmhh…do you think I should ask for promotion fee from Gramed?)

Kalau Gramedia adalah toko favorit saya untuk bacaan berbahasa Indonesia karena besarnya perusahaan dan lengkapnya koleksi bookstore chain ini, kalau untuk bacaan berbahasa Inggris favorit saya adalah…Periplus! Khususnya yang di Plasa Senayan sama yang di bandara-bandara. Toko-tokonya kecil memang, tapi koleksinya up to date dan—ini yang penting—harga buku-bukunya lebih murah dibanding buku yang sama di toko buku lainnya! Coba cek deh. Memang selisihnya nggak seberapa sih, paling Rp 5 ribu – 10 ribu. Tapi kalau kita belinya lebih dari 3 buku kan lumayan buat ongkos taksi atau apa kek, atau…buat beli satu buku lagi!

Tapi tetap saja saya memimpikan toko buku yang kayak toko bukunya Meg Ryan di film You've Got Mail di Jakarta ini. Tidak besar, terletak di sudut jalan, tapi interiornya terkesan hangat dan buku-bukunya berkualitas (menurut ceritanya lhooo). Pelayanannya pun penuh sentuhan kekeluargaan, karena si pemilik ikut memberikan opini tentang buku-buku mana yang bagus kepada para pelanggannya, malah kadang ada story telling segala untuk buku anak-anak. Nyaman sekali belanja buku di sana kayaknya...

Bicara tentang toko buku yang nyaman, dulu saya pernah mengenal satu toko buku merangkap perpusatakaan yang namanya Limma. Letaknya di Jalan Bangka (atau Banda ya?) Kemang. Koleksinya sih nggak banyak-banyak amat, tapi bagus-bagus! Kebanyakan buku sastra klasik berbahasa Inggris yang jarang ditemui di toko buku biasa. Dan saya suka konsepnya. Limma itu menempati sebuah bangunan rumah tinggal, dan buku-bukunya menempati ruangan-ruangan di dalam rumah yang ditata dalam 3 kelompok besar: buku yang dijual, buku yang dipinjamkan untuk anggota, dan buku yang hanya boleh dibaca di tempat. Asyiknya, si pemilik menyediakan ruang duduk yang diisi sofa-sofa besar untuk membaca, plus makanan ringan dan minuman semacam soft drink, teh, kopi , dan—mohon dicatat—ini semua gratis! Saya sempat beberapa kali mengunjungi toko buku ini, bahkan menjadi member untuk perpustakaannya. Tapi semenjak menikah, saya jadi jarang ke sana. Masih ada nggak ya toko ini?

DN

Selasa, 09 Maret 2010

Komik Tintin dan Asterix

Dari paruh kedua dekade 1990-an sampai sekarang mungkin merupakan masa keemasannya komik Jepang. Anak-anak saya aja lemari bukunya didominasi oleh komik Doraemon! Saya pernah coba membelikan mereka komik-komik era saya dulu (akhir tahun 1980an s.d. paruh pertama 1990an) kayak Tintin dan Asterix, tapi mereka nggak tertarik tuh.

Padahal dibanding komik Jepang, komik-komik ini lebih besar dan lebih colorful. Ceritanya juga lucu-lucu banget. Siapa remaja tahun 1980an yang nggak kenal wartawan Belgia kecil berjambul dengan anjing berbulu seputih salju yang selalu jalan disampingnya? Malah gaya rambut jambulnya itu sempat jadi trend di tahun 1990-an (inget Nico Siahaan?).

That’s Tintin and his dog, Snowy (versi Prancis: Milo), karya Herge. Seri petualangannya banyak dan lintas negara, malah pernah ke Indonesia segala (Penerbangan 714). Dan Tintin nggak berpetualang sendirian. Ada sahabatnya Kapten Haddock yang suka memaki, “Sejuta topan badai! Biang panu, anjing kurap, brontosaurus…!!!” Ada si kembar Thompson dan Thomson (versi Prancis: Dupont dan Dupond), yang belakangan baru saya tau bedanya, yaitu kalau yang pake ‘p’ ujung kumisnya lurus, sedangkan yang nggak pake ‘p’ ujung kumisnya melengkung. Ada Calculus (versi Prancis; Tournesol), professor jenius yang walaupun bolot dan ngeselin toh waktu dia diculik (Penculikan Calculus), Tintin dan Kapten Haddock sibuk nyariin setengah mati. Ada Chang sahabatnya dari China yang sempat ‘dipungut anak’ sama Yetti, si monster Himalaya (Tintin di Tibet). Dan masih banyak tokoh-tokoh lainnya yang unik dan lucu: Bianca Castafiore si Burung Kutilang dari Milan yang narsis, Rastapopoulos penjahat abadi yang hidungnya kayak bekantan, Nestor si pelayan setia Kapten Haddock, Jolyon Wagg si agen asuransi pantang malu, Abdullah si ‘bandit kecil’ dari Timur Tengah. Ooh…how I adore the characters so much. They’re so funny!

Asterix juga nggak kalah lucu. Lucu banget malah. Tokoh prajurit Galia (Prancis jadul—jaman Romawi) yang diciptakan oleh Goscini (naskah) dan Uderzo (gambar) ini digambarkan berbadan kecil, berkumis besar, dan memiliki keberanian yang lebih mirip kumisnya daripada badannya. Dengan sahabatnya Obelix si pengantar menhir gendut yang jago makan dan kalau berantem nggak terkalahkan (karena dari bayi sudah pernah kecemplung di ramuan ajaib yang bikin orang yang meminumnya jadi super kuat!), Dukun Panoramix (versi Inggris: Getafix) yang jago bikin segala macam ramuan, Kepala Suku Abraracourcix (versi Inggris: Vitalstatistix) yang meskipun galak ternyata ISTI (ikatan suami takut istri), dan the one and only Assurancetourix (versi Inggris: Cacafonix) penyanyi rindu panggung yang nggak pernah dapet sambutan simpatik kalau sedang menyanyi , Asterix banyak berpetualang yang mengharuskannya bertempur dengan tentara Romawi yang namanya selalu berakhiran ‘-us ’ seperti: Akalbusyukus, Monchongmanchungus, Sapujebholus, atau Kemayus (untuk membedakan dengan orang Galia yang nama-namanya berakhiran '-ix': Komix, Semantix, Sexygenitix). Saya udah baca komik ini puluhan kali mulai versi Indonesia sampai versi Inggris, tapi tetap saja pada bagian tertentu saya masih tertawa terpingkal-pingkal. Favorit saya: “Asterix Prajurit Romawi” (Asterix the Legionary). Penulisan huruf hiroglif buat kata-katanya si ‘turis’ Mesir yang kesasar jadi prajurit Romawi itu pun sampai sekarang (kalau saya iseng-iseng baca lagi) masih bikin saya cekikikan sendiri...

Komik-komik tahun 1980-an yang lucu lainnya adalah Agen Polisi 212—si Arthur yang o’on, dan Lucky Luke—si koboy yang menembak lebih cepat dari bayangannya sendiri dengan kudanya Jolly Jumper dan musuh abadinya Dalton bersaudara serta anjing super o'on Rantanplan (lebih bodoh dari bayangannya sendiri!). Komik-komik lainnya kayak Arad dan Maya, Smurf dan Bob Napi Badung, nggak terlalu lucu. Yang ‘serius’ juga ada kayak Trigan buat yang cowok dan Nina buat yang cewek. Koleksi Nina saya nggak lengkap dan sekarang malah sudah raib nggak berbekas.

Sekarang saya lihat cuma Tintin dan Agen Polisi 212 yang dicetak ulang. Versinya juga diperkecil seukuran buku tulis, jadi nggak terlalu menarik. Tapi rasanya saya cukup ngerti kenapa anak-anak sekarang nggak terlalu tertarik dengan Tintin maupun Asterix. Pertama, dibanding komik Jepang, cerita Tintin terasa lebih dewasa dan ‘serius’ karena menggabungkan antara petualangan, misteri, ilmu pengetahuan dan politik. Ini seperti nonton kartun Homer Simpson. Kemasannya aja anak-anak (kartun), tapi isi ceritanya untuk konsumsi dewasa.

Kedua, setting-nya jadul (dan bersejarah!). Tintin banyak pake setting jaman Perang Dunia II, jaman Perang Dingin waktu Barat yang dipimpin AS masih bersitegang dengan Timur yang dipimpin Uni Soviet (Ekspedisi ke Bulan, Penjelajahan di Bulan, Bintang Jatuh). Asterix, meskipun ceritanya lebih ringan dan lebih kocak, modelnya kurang lebih sama: ada petualangan dalam sebuah konteks politik dan sejarah (masa kejayaan bangsa Romawi di bawah Julius Caesar). Kalaupun karakternya diambil dari parodi karakter riil, itu pun lebih banyak mengambil tokoh-tokoh jadul seperti the Beatles (Asterix di Inggris), Otto van Bismarck (Asterix dan Orang-orang Goth), Sean Connery/James Bond (Perjalanan ke Mesopotamia). Jadi yah, maklum saja kalau anak-anak sekarang bertanya: Dimana letak lucunya???

Saya masih menyukai komik-komik tersebut, karena mereka memang produk yang populer pada jaman saya. Jaman waktu komik Jepang belum ada, jaman waktu pilihan hiburan di rumah cuma antara: baca atau nonton TVRI. Tapi mungkin saja masih ada anak-anak remaja sekarang yang menyukai kedua komik ini. Saya aja yang nggak tau karena anak-anak saya memang masih usia Doraemon (8 dan 6 tahun). Yang jelas, saya yakin bahwa baik anak/remaja dulu maupun sekarang yang pernah membaca kedua komik tersebut memendam pertanyaan yang sama: berapa sih sebenarnya usia tokoh Tintin dan Asterix???

DN

Rabu, 03 Maret 2010

Buku Baru: The Lost Symbol (Dan Brown)

Siapa yang mengaku maniak baca tapi nggak kenal Dan Brown? Buku Da Vinci Code-nya fenomenal bahkan kontroversial. Jagoan andalannya Robert Langdon (Da Vinci Code, Angels and Demons, and now: the Lost Symbol), ahli simbologi yang kerap terjebak dalam rangkaian kejadian yang melibatkan teka-teki dan pembunuhan oleh psikopat fanatik, serta perdebatan keyakinan agama vs sains. Seperti biasa, alur cerita Dan Brown selalu intens, hanya perlu setting waktu tak lebih dari 2 hari untuk menuntaskan serangkaian babak yang dipenuhi kejadian besar dan rumit, dan the Lost Symbol pun tak terkecuali.

Di mulai pagi hari saat Langdon baru menyelesaikan aktivitas rutin olah raga paginya, professor Harvard itu kemudian menemukan bahwa dirinya dijebak untuk datang ke Washington DC pada pukul 7 malam oleh orang yang mengaku sebagai sekretaris sahabatnya, Peter Solomon, tokoh penting kelompok persaudaraan Mason (Freemasonry). Langdon akhirnya terikat pada misi untuk menyelamatkan Peter dengan didampingi oleh adik Peter, Katherine, dan sambil digerocoki oleh petinggi CIA, Inoue Sato. Mereka mengikuti serangkaian petunjuk berselubung simbol/kode yang dapat mengantar mereka pada rahasia ‘kebijakan tertinggi yang mampu mengubah dunia’ milik kelompok Mason yang diminta oleh sang penjahat, Mal’akh, untuk ditukar dengan nyawa Peter. Setelah melewati jam-jam yang menegangkan di berbagai lokasi bersejarah di Washington, sejumlah kejadian kilas balik, teka-teki, pengungkapan sisi lain sejarah yang jarang diketahui oleh umum, plus gambaran kekejaman sang psikopat, pagi hari berikutnya Langdon telah menyelesaikan misinya menyelamatkan Peter Solomon ditambah bonus terbukanya sebuah ‘rahasia besar dunia’. What a plot!

Satu kekuatan cerita Dan Brown yang paling menonjol memang berada pada pengungkapan informasi sejarah dari perspektif tafsir ilmu simbologi yang menarik untuk disimak (yang coba diikuti oleh penulis kita E.S. Ito, tapi masih dengan gaya yang perlu diperhalus). Dilengkapi dengan ilmu pengetahuan mutakhir dan dicampur intrik dan thriller, jadilah sebuah buku yang susah untuk dilepaskan once we start to read it.

Kalau kelemahannyaaa….ya bagi yang sering baca bukunya Dan Brown, kita jadi terbiasa sama cara beliau mengemas cerita, atau dengan kata lain: polanya jadi mudah ditebak (polanya lho, kalo ending-nya sih masih penuh kejutan). Rasanya saya malah bisa bikin matriks buat buku-bukunya Dan Brown, terutama 3 buku yang tokohnya Langdon. Misalnya, gini:

Setting: Da Vinci Code (DVC): Paris, Perancis; Angels and Demons (AAD): Roma, Italia/Vatikan; The Lost Symbol (TLS): Washington DC, AS.

Icon sejarah: DVC: Leonardo Da Vinci; AAD: Galileo Galilei; TLS: George Washington

Kelompok legendaris: DVC: Priory of Sion; AAD: Illuminati; TLS: Freemansonry

Peran wanita pendamping (karakter utama: cantik, cerdas dan scientific): DVC: Sophie Neveu (kryptolog), AAD: Vittoria Vetra (ahli fisika); TLS: Katherine Solomon (ahli ilmu noetic).

Tokoh antogonis (ciri utama: berbadan besar, keji dan nyaris ‘unhuman’): DVC: Silas; AAD: si Hassassin; TLC: Mal’akh

Aktor intelektual di balik tabir: DVC: Sir Leigh Teabing; AAD: Camerlengo Carlo Ventresca; TLC: Zachary Solomon

See? There’re so many similar patterns! Ini aja saya belum nyebutin bangunan bersejarah, lukisan, patung dan benda atau dokumen seni bersejarah lainnya yang juga selalu ada di cerita Dan Brown dengan Langdon-nya! Di 2 cerita yang lain (non-Langdon): Digital Fortress dan Deception Point, sebenarnya juga banyak kesamaan pola, terutama antara kedua cerita itu sendiri: tentang lembaga besar yang kontroversial di AS (National Security Agency/NSA dan NASA) dengan seorang tokoh senior yang berusaha membangun kembali kebesaran institusinya dengan cara yang ekstrim. Kalau dibandingkan dengan 3 cerita yang bertokoh Langdon, alur utama cerita dan penokohannya sama tapi minus konteks sejarah.

Bagaimanapun, Dan Brown perlu diacungi jempol untuk kedalaman risetnya dalam membangun konteks sejarah, ilmu pengetahuan dan teknologi faktual, sekaligus membangun argumentasi logis yang membuat kita kadang lupa kalau yang sedang kita baca adalah sebuah fiksi. Really entertaining as well as enlightening!

DN