Kamis, 16 Desember 2010

Buku Baru: Mengapa Sri Mulyani? (Steve Susanto)

Sebenarnya sulit bagi saya membahas buku ini. Subyektivitas saya sudah bermain duluan. Karena kebetulan saya mengenal secara pribadi Ibu Sri Mulyani dan saya nggak pernah suka sama kebanyakan politisi DPR. Kalau banyak orang bilang bahwa fenomena tingkah laku para anggota DPR sekarang mirip dagelan Petruk Jadi Raja, rasanya saya setuju sekali. Euforia orang yang baru kenal dengan kekuasaan kelihatan sekali dalam sepak terjang mereka menjalankan praktek kenegaraan. Memanggil siapa saja yang mereka ingin panggil, memaki siapa saja yang ingin mereka maki, menyalahkan siapa saja yang ingin mereka salahkan, pergi kemana saja mereka ingin pergi (ke luar negeri tentunya), bahkan menerima apa saja yang ingin mereka terima (duit maksudnya). Intinya: mereka melakukan apa saja yang ingin mereka lakukan tanpa perduli apakah ini ada landasan hukumnya atau tidak, atau apakah ini bisa diterima nalar orang sehat atau tidak. Modalnya cuma kata-kata: ini kehendak rakyat! (rakyat yang mana boss?).

Pernah berdebat sama anak kecil yang keras kepala? Bagi yang pernah, pasti setuju bahwa berdebat dengan anak kecil apalagi yang keras kepala itu super menjengkelkan. Pengetahuan dan nalar mereka terbatas, tapi mereka ngotot ingin dibenarkan atas kekeliruan yang mereka perbuat dan mendebat argumen logis yang kita kemukakan. Misalnya, saat kita memberitahu seorang anak kecil untuk tidak merebut mainan temannya karena hal itu tidak sopan. Lalu si anak mendebat, “Tapi aku mau mainan itu!” Dan kita jelaskan bahwa boleh saja dia meminjam, tapi caranya harus baik-baik, karena merebut itu tidak sopan dan menyakiti hati si pemilik mainan. Tapi dia tetap mendebat, “Tapi aku kan mau mainan itu!” Capek bukan?

Dan hal itu sama seperti DPR kita. Buta dan tuli terhadap kebenaran kalau hal itu bertentangan dengan kepentingan politik mereka. Tapi bagian yang paling mengesalkan adalah, kalau kejadiannya dengan anak-anak, itu wajar karena keterbatasan nalar itu tadi. Lha, kalau anggota DPR kan bukan anak-anak (kelakuannya aja yang mirip anak TK kalau kata almarhum Gus Dur—setuju Gus!).

Tapi dalam konteks ini, para anggota DPR pun terbagi dalam dua kelompok. Yaitu mereka yang benar-benar buta dan tuli karena sebenarnya mereka memang tidak benar-benar tahu apa yang sedang mereka lakukan (alias cuma sok tahu aja); dan mereka yang pura-pura buta dan tuli, yaitu mereka yang sebenarnya tahu mana yang benar tapi sengaja menutup mata dan telinga karena kepentingan politik mereka bertentangan dengan kebenaran tersebut. Dan Ibu Sri Mulyani Indrawati (SMI) adalah korban dari keduanya dalam kasus Bank Century.

Hal inilah yang coba dikupas dalam buku “Mengapa Sri Mulyani? Menyibak Tabir Bank Century”. Inti pembahasannya adalah: kasus Bank Century yang melibatkan dana 6.7 T semula diniatkan untuk mendiskreditkan Partai Demokrat dan SBY-Boediono yang secara ‘tidak sopan’ berani mengalahkan partai-partai senior dan para kandidat presiden dan wapres mereka. Tapi karena tidak dapat dibuktikan, kasus ini dibelokkan untuk menjatuhkan SMI, pahlawan reformasi yang juga dianggap ‘tidak sopan’ karena berani ngutak-atik urusan bisnis para politisi senior. Buku ini membeberkan fakta dan argumen mengenai hal-hal yang secara kuat mengindikasikan bahwa kemunculan kasus yang jadi isu besar nasional ini adalah by design, dengan aktornya para politisi pecundang dalam Pemilu 2009, pengamat atau akademisi haus popularitas, dan media yang sudah tidak bebas kepentingan.

Dan kelakukan para politisi DPR di drama Pansus Century itu mirip anak kecil perebut mainan yang saya bahas di atas. Mereka sejak awal sudah teguh memegang prinsip: pokoknya SMI harus salah! Jadi diberi argumen sekuat apapun oleh para pembuat keputusan bailout Bank Century dan para pengamat atau akademisi yang pro-bailout, mereka seolah tutup mata dan tutup telinga saja, karena “pokoknya SMI harus salah!”

Yang paling bikin gemas dalam drama Pansus Century itu, dan ini dicatat dalam buku tersebut, adalah acting para anggota Pansus yang sok tahu, sok pintar, sok galak dalam sesi tanya jawab yang lebih mirip interogasi dengan para narasumber yang notabene adalah para ahli di bidangnya. Coba, apa yang lebih (tidak) lucu dari seorang politisi bau kencur lulusan fakultas ekonomi universitas tidak terkenal di Jakarta yang dengan pedenya mencoba berdebat ilmiah dengan para doktor ekonomi universitas terkemuka dunia yang sudah menulis di puluhan media dan jurnal serta malang melintang di berbagai forum internasional, mengenai krisis keuangan global. Seperti menonton adu tembak antara anak kecil yang pakai pistol air dengan seorang penembak jitu yang pakai pistol beneran, tapi si anak kecil merasa bahwa mereka sama kuat bahkan ngotot mengklaim bahwa dialah pemenang adu tembak tersebut. Konyol abis.

Tuh kan saya jadi emosi kalau berbicara tentang politisi DPR…

Anyway, back to the book
, terlepas dari kegirangan saya pada buku Steve Susanto yang bikin saya ingin melambaikannya di muka para anggota Pansus kontra-bailout Century sambil ngomong: “Nih, rasain!”, tetap saja saya merasa harus menyampaikan penilaian obyektif saya. Menurut saya, kalau buku ini dimaksudkan sebagai pembelaan terhadap SMI (mengingat penerbitan buku ini merupakan proyek kelompok facebookers Kami Percaya Integritas SMI/KPI-SMI dimana Pak Steve Susanto merupakan salah satu anggotanya), maka pembelaan yang dilakukan maupun serangan terhadap para manipulator kebenaran, kurang komprehensif. Pak Steve lebih banyak berkuat pada penyampaian fakta (atau argumen) mengenai integritas SMI, latar belakang keluarga, pendidikan dan karirnya yang cemerlang, serta sepak terjangnya sebagai pahlawan reformasi Indonesia, yang bagi orang yang pada dasarnya memang sudah mengagumi SMI seperti saya, mudah saja menerimanya. Tapi buat orang-orang di seberang garis, mungkin hanya melihatnya sebagai argumen seorang pengagum yang sarat subyektivitas. Sementara sajian mengenai analisis jalannya proses ‘penyidangan’ SMI cs oleh Pansus pun lebih banyak merupakan perspektif Pak Steve dan para facebookers KPI-SMI, yang pada akhirnya juga debatable.

Akan lebih baik apabila Pak Steve juga menyajikan wawancara dengan tokoh-tokoh yang dianggap netral dalam kasus Century meski tetap ‘diarahkan’ untuk suatu pembelaan, seperti Prof. Hal Hill (ahli ekonomi Indonesia dari Australia) misalnya, atau orang-orang yang mengetahui persis isu bailout tetapi tidak punya kesempatan untuk berbicara di Pansus, seperti Perbanas, atau para analis politik yang bisa melihat bahwa ‘teori pengalihan target dari SBY ke SMI’ itu masuk akal. Saya kira testimoni para tokoh atau kalangan yang berkompeten itu akan memberikan bobot lebih terhadap upaya pembelaan terhadap SMI.

Tapi sekali lagi, saya pribadi senang sekali atas terbitnya buku ini, sama senangnya seperti saat saya menemukan situs srimulyani.net. Kalau ini adalah langkah awal yang dimaksudkan untuk mempersiapkan SMI ke kursi RI 1 di tahun 2014, maka sebagai orang yang pernah berkesempatan menyaksikan dari jarak yang sangat dekat unjuk intelektualitas SMI sebagai seseorang berlatar belakang akademisi serta integritasnya sebagai seorang menteri sekaligus pejuang reformasi, saya dengan suka rela meleburkan diri ke dalam kelompok yang mendukung sepenuhnya SMI for President!

May Allah always bless you, Ibu
.

DN

Jumat, 10 Desember 2010

E-books vs Printed Books

Ada yang sudah familiar dengan e-book? Gimana, asik nggak? Benar ya, e-book lebih menyenangkan dari buku cetak biasa? Lebih praktis, jelas. Lebih gaya, bisa jadi. Lebih murah, hmmh…masih debatable kayaknya. Saya tahu karena temen kantor saya kemarin pagi sharing ke saya artikel di internet yang mempertanyakan anggapan bahwa e-book lebih murah daripada buku konvensional. Artikel ini bilang, e-book lebih murah cuma kalau dibandingkan dengan buku-buku yang baru di-release atau sastra klasik yang sudah mulai langka. Tapi kalau buku biasa yang sudah cetakan-cetakan berikut, seringkali buku cetak versi paperback malah lebih murah.

Gara-gara artikel itu, saya jadi penasaran, gimana sih prospek e-book nantinya. Bener nggak dia bisa menggeser bahkan mematikan pasaran buku cetak?

Sebuah laporan dari eBook Newser mengungkap bahwa sampai saat ini sebanyak 35 juta e-book telah diunduh melalui iTunes. Sementara survey Marketing & Research Resources bilang, 40 persen dari 1.200 pemilik e-reader bilang, mereka sekarang menghabiskan waktu lebih banyak untuk membaca dibandingkan sewaktu belum punya e-reader. Lalu Amazon.com yang juga jualan e-books lengkap dengan e-reader-nya, Amazon Kindle, melaporkan bahwa para pemilik alat pembaca buku elektronik (e-reader) membeli 3.3 kali buku lebih banyak dari sebelumnya. Weits, dahsyat juga ya antusiasme masyarakat terhadap e-books?

Jadi deh, saya browsing. Trying to find out how popular e-books are compared to physical books. As a result, I can show you some pros and cons on e-books below.

Pros:
- Buku kalau sudah kelamaan alias tua, baunya jadi nggak enak (apek maksudnya)
- E-books lebih murah (apalagi yang bisa di-download gratis), karena biaya produksinya lebih rendah, nggak pake ongkos cetak.
- Lebih praktis. Cukup bawa satu e-reader atau media baca e-book lainnya (laptop/notebook, iPad) udah bisa muat beratus-ratus bacaan.
- Nggak pake lecek, meskipun dibaca berkali-kali
- Lebih gaya, kalau bawa-bawa e-reader serasa jadi orang paling up2date sedunia
- Di rumah juga nyimpennya nggak makan tempat, nggak kayak nyimpen buku
- Lebih ramah lingkungan, nggak perlu nebang-nebang pohon buat bikin kertas
- Kadang nyari buku-buku klasik itu susah, secara udah nggak dicetak lagi. Tapi di e-book banyak tersedia

Cons:
- Buku tua baunya enak lagi! Sedep!
- Kalau mau cari yang gratis, buku cetak juga banyak yang gratis: di perpustakaan. Malah nggak usah pake modal e-reader.
- Lebih praktis? Emang bisa, baca dari laptop sambil tiduran? Buku dong, bisa dibaca dalam berbagai posisi. Okelah pake e-reader, tapi kelamaan melototin layar monitor, mata bisa jereng.
- Nggak pake lecek, tapi pake sakit mata.
- Gaya sih gaya, copet tuh pikirin! Nggak ada copet suka buku.
- Nyimpennya memang nggak makan tempat, tetapi begitu perangkat bacanya hilang atau dicuri, simpenan bacaan juga ikutan hilang
- Ramah lingkungan? (speechless—nggak punya jawaban)
- Buku klasik kalau dapet bukunya bisa jadi semacam investasi. Makin dicari, harga makin mahal

Nah lu. Ikutan yang mana tuh? Saya sendiri belum terlalu familiar sama e-books. Saya pernah download komik Tintin sama Asterix gratisan dari internet (lumayan, bisa buat kamuflase di kantor, baca komik tapi teuteup melototin komputer hihi…). Pernah juga download cerita bersambung dari website majalah Femina. Tapi selain itu, saya belum ada niatan buat beli e-reader ataupun mulai mengoleksi e-books. Saya masih senang menikmati kenyamanan membuka lembaran-lembaran buku, menghirup aroma kertasnya, meskipun sekarang feeling guilty juga kalau ingat konon untuk menerbitkan Harry Potter the Order of Phoenix (seri yang ke-5) di Kanada sana dikabarkan mereka tadinya perlu menebang 39.320 pohon (!), tapi akhirnya diputuskan pake kertas daur ulang (fiuuuh…).

Ada yang bilang, penolakan terhadap e-books dengan tetap membeli buku cetak konvensional itu cuma masalah sentimentalitas. Karena sudah jadi bagian dari hidup sehari-hari selama bertahun-tahun, orang nggak siap dan nggak tega buat meninggalkannya. Menurut mereka (para fans e-books) pada akhirnya, e-books-lah yang lebih bisa menjawab kebutuhan jaman yang semakin menuntut praktikalitas.

Dari sisi penulis bukunya sendiri juga mereka sudah mulai melirik potensi sebagai penulis e-book. Katanya keuntungannya lebih banyak. Royalti lebih tinggi (entah gimana ngitungnya), pajaknya nol (belum ada pajak buat e-book), distribusi pemasaran murah (nggak pake ongkos kirim paket), isi juga lebih gampang di-update (nggak perlu nunggu edisi pertama abis, buat nyetak edisi kedua dan seterusnya).

Hal ini tentu saja membuat industri percetakan jadi ketar-ketir. Nggak cuma para pengusahanya, tapi juga para karyawannya yang bakal terancam kena perampingan pegawai (maksudnya cuma yang ramping aja yang boleh terus kerja, hihihi), begitu konsumen mulai beralih ke e-books yang notabene nggak perlu proses pencetakkan, penjilidan, ataupun pengiriman fisik. Apalagi pemerintah juga sudah melontarkan wacana untuk membeli hak cipta penerbit buku pelajaran sekolah tertentu untuk dijadikan e-book gratis (weits, enak juga nih orang tua murid kayak saya, berkurang anggaran beli buku sekolah!).

Hmmh…kayaknya saya juga harus mulai berpikir untuk punya e-reader nih. Tapi…gimana dengan rutinitas belanja ke toko buku saya sama keluarga? Kalau cuma untuk dapetin e-books, bukannya saya cukup duduk manis depan komputer yang terkoneksi jaringan internet di rumah? Padahal saya sangat menikmati aktivitas belanja buku. Anak-anak saya juga semangat sekali kalau diajak ke toko buku. Mencari-cari buku di rak, membuka-buka buku sebelum dipilih, melihat-lihat gambarnya dengan warna-warna yang semarak.

Sebenarnya, kenapa sih e-book harus dipertentangkan dengan buku cetak konvensional? Seolah, pilihan terhadap yang satu akan mematikan eksistensi yang lain. Toh keberadaan surat kabar online juga terbukti tidak mematikan industri surat kabar cetak. Atau, keberadaan Google juga tidak menyurutkan penerbitan RPUL. Atau lagi, keberadaan toko-toko online juga tidak membangkrutkan toko-toko yang menempati bangunan fisik. Ini hanya masalah tambahan pilihan. Kalau dulu orang cuma punya pilihan beli buku kalau mau baca sebuah novel bagus terbitan terbaru, sekarang mereka punya pilihan untuk membeli versi elektroniknya. Setiap orang bisa punya preferensi masing-masing. Ada kalanya kita perlu versi elektronik-nya, tapi ada kala lain kita pengen versi cetaknya.

Dari sisi pembaca yang berprinsip bahwa bacaan itu dikoleksi dari apa yang sudah dibaca, bukan apa yang dimiliki, mungkin bukan isu penting bagi mereka apakah mereka membacanya dari buku cetak atau dari e-book. Tapi dari sisi kolektor seperti yang saya bahas di postingan tentang “Kisah Para Penggila Buku”, pasti dong tetap setia untuk memilih buku cetak konvesional. Masa mau ngisi perpustakaan pribadi atau ruang display barang koleksi dengan buku-buku elektronik. Nggak mungkin kan?

So, e-books or printed books? The choice is yours…


DN

Selasa, 07 Desember 2010

China from a Backpacker, a Shopper and a Business Consultant’s Points of View

Siapa yang nggak tahu China? Negara yang pernah dijuluki ‘Tirai Bambu’ karena upaya rezim komunis yang berkuasa disana untuk tidak membuka diri sepenuhnya dari mata dunia (meski tidak serapat almarhum Uni Soviet yang pada masanya sempat dijuluki ‘Tirai Besi’), tapi sekarang tumbuh sebagai raksasa ekonomi dunia karena dominasinya dalam perdagangan internasional dan menjadi magnet bagi para produser barang-barang manufaktur maupun distributor retail dari berbagai penjuru bumi.

Dua tahun tinggal di Australia saya menyaksikan betapa produk-produk China mampu merajai sektor retail di sebuah negara maju yang produk dalam negerinya sudah mengibarkan bendera putih untuk persaingan, khususnya untuk barang-barang seperti pakaian, alas kaki, tas, perabot, stationary, suvenir, sampai elektronik. Di Amerika Serikat sama saja. Datanglah ke Wal-mart—hipermarket paling populer di sana—dan Anda akan menemukan 90% barang non-pangan yang dijual berlabel ‘made in China’. Di Jepang pun yang konon masyarakatnya sangat peduli kualitas tidak dapat menolak ‘hukum rimba’ dunia perdagangan: makin murah, makin dicari. Fenomena maraknya toko satu harga serba 100 yen merupakan salah satu buktinya. Di Indonesia yang permisif terhadap kegiatan bajak-membajak merk, siapa yang tidak tahu dari mana asal barang-barang KW1 atau KW2 di tempat-tempat seperti Mangga Dua?

Dengan statusnya sebagai negara dengan populasi terbesar di seluruh dunia (1.3 miliar jiwa kalau tidak salah) China mampu menyediakan sumber daya manusia yang mursidah alias murah meriah, yang dijamin bisa menekan biaya produksi sebuah barang hingga harga jual barang tersebut sangat kompetitif di pasaran. Belum lagi kemampuan dan kemauannya untuk copycat produk apapun yang dipesan tanpa dipusingkan oleh isu ‘intellectual property rights’, membuat China menjadi surga bagi para pebisnis miskin kreativitas maupun para konsumen akhir yang menghalalkan segala cara demi tampil gaya.

Namun dengan segala gegap gempita kemajuan industri dan kepemimpinannya di perdagangan internasional plus salah satu pemilik GDP dan cadangan devisa terbesar di dunia, si raksasa ekonomi baru ini masihlah tetap sebuah negara berkembang yang tak lepas dari persoalan dan stereotype khas dunia ketiga. Miss Trinity di situs-nya yang terkenal the Naked Traveler (http://naked-traveler.com) memiliki catatan tersendiri mengenai pengalamannya menjelajahi China sebagai backpacker. Pertama, Miss T mencatat tentang kebiasaan jorok orang China. Kebiasaan meludah atau membuang dahak di mana-mana lah (yakh!), toilet-toilet umum yang kotor dengan segala isinya yang kerap berceceran (hiiiy!), ataupun ketidakpedulian sebagian besar masyarakatnya untuk menutup bau yang berasal dari toilet, tempat sampah atau sumber-sumber bau lainnya, di dekat sebuah restoran sekalipun!

Kedua, kesulitan orang China dalam berkomunikasi dengan bahasa Inggris. Bahkan papan-papan informasi di area-area publik pun tidak menyediakan translasinya dalam bahasa Inggris. Boro-boro bahasa Inggris, dengan tulisan latin berbahasa China pun tidak. Miss T dengan gaya kocak menceritakan tentang kejadian-kejadian konyol yang dialaminya gara-gara miskomunikasi dengan penduduk setempat, seperti pesan sate 30 tusuk diberi 60 tusuk, setengah mati mencari hotel Inner Mongolia yang oleh penduduk setempat lebih dikenal dengan nama Nei Menggu Fandian (buset, kok jauh yak?).

Ketiga, sifat mereka yang gemar mengambil keuntungan dalam segala situasi, bahkan tak jarang dengan aksi tipu-tipu. Tapi si Miss T tidak banyak menceritakan pengalamannya bersentuhan dengan sisi China yang satu ini, kecuali tentang paket tur-nya ke Tembok Besar (Great Wall) yang dipenuhi dengan paksaan untuk membeli produk atau suvenir di tempat-tempat yang dimaksudkan sebagai shopping sites oleh agen tur-nya.

Tapi sudut pandang Trinity tentang China ini mendapat ‘perlawanan’ dari Amelia Masniari alias Miss Jinjing dalam bukunya “Belanja Sampai Mati di China”. Miss J secara langsung maupun tidak langsung menyebut bahwa informasi tentang China yang disampaikan oleh Trinity sebagai gambaran yang keliru. Dia bilang begini: “Percaya deh, China tidak separah yang digembar-gemborkan orang. Tidak sejorok dan tidak sekampungan seperti yang digambarkan seorang pengarang buku travelling yang ternama (kalau saya sebutkan namanya, pasti dia langsung ngamuk berat…) (hlm. 35).”

I’ll tell you something
tentang latar belakang kenapa si Miss J bicara tentang Miss T seperti itu. First of all, si Miss Jinjing adalah mantan kakak ipar Trinity (Trinity adik mantan suami Miss J). Dan buku “Belanja Sampai Mati di China” ini di-launch tidak lama setelah proses perceraian Miss Jinjing dengan suaminya yang menyakitkan dan ramai dibahas di beberapa media maupun dunia maya (heboh bo!). Jadi, bisa dimengerti kan kalau di bukunya yang ini si Miss J agak-agak psywar dengan Miss T?

Secondly
, salah satu bisnis Miss Jinjing adalah bikin paket shopping trip ke China, seperti ke Beijing, Guangzhou, Shanghai dan Hongkong. Kalau dia sampai membenarkan pendapat Trinity, bisa habis dong die orang punye bisnis. So it’s very understandable kalau di bukunya si Miss Jinjing bilang: “Jika Anda berpikir China itu identik dengan orang yang meludah sembarangan, WC jorok nan bau pesing menyengat, makanan daging tikus, daging ular, copet, penipu jalanan, rasanya bisa jadi Anda berkunjung ke tempat yang salah di China” (hlm. sinopsis—sampul belakang).

Lagian, ya iyalah! Wong yang satu backpacker yang selalu tinggal di hostel/motel mursidah dan berusaha cari makanan dan transportasi ala paket hemat, yang satu lagi pembelanja yang tinggalnya di hotel-hotel berbintang dan kerjaannya keluar masuk toko barang-barang branded, makan di restoran keren, atau kegiatan apapaun untuk memberikan sentuhan mewah di bisnis shopping trip-nya. Meskipun si Miss Jinjing tidak selalu konsisten dengan pandangannya karena toh pada akhirnya dia membahas juga beberapa bab tentang copet di China, daging kucing dan daging ular, dan jebakan uang palsu sampai barang palsu (jadi jelas kesimpulannya, dendam pribadi Miss J ke Miss T lebih bermain daripada obyektivitasnya hehehe…).

Lepas dari perdebatan dua misses beda kutub di atas, saya masih punya satu sumber lagi yang memberikan sudut pandang lain tentang China, yaitu Paul Midler dalam bukunya Poorly Made In China (terjemahan Indonesia: “Abal-abal Produk China”). Midler itu warga negara Amerika Serikat, seorang ahli sejarah dan bahasa China, tinggal bertahun-tahun di Guangzhou sebagai konsultan bisnis buat perusahaan-perusahaan AS yang memproduksi barang-barangnya di sana. Lalu apa pandangan Midler tentang China?

Sekilas, Midler tampaknya menikmati kehidupannya di China. Dia menguasai bahasanya, dia memahami budayanya. Dua hal yang diperlukan seorang pendatang untuk bisa survive di sebuah negara asing. Meski secara tak langsung, dia menganggap China sebagai rumah keduanya bahkan juga punya pacar orang China. Namun toh dia tetap tidak dapat menyembunyikan rasa frustasi-nya ketika dia harus menjalankan pekerjaannya: memastikan kejujuran para pemilik pabrik China tentang kualitas produk yang harus dijaga sesuai dengan perjanjian bisnis dan mengesampingkan pendewa-dewaan mereka terhadap keuntungan yang diperoleh dari upaya penghematan sekecil apapun.

Pada akhirnya, Midler menyimpulkan bahwa dari sisi sebuah hubungan bisnis, China adalah “sebuah negara yang tingkat kepercayaannya dipertanyakan”. Hal ini tidak saja dikarenakan kecenderungan mereka untuk mengambil keuntungan lebih secara diam-diam dengan terus menurunkan kualitas barang yang dipesan kepadanya dalam sebuah hubungan bisnis jangka panjang, tapi juga karena ke’tidak-tabu’annya untuk memalsu barang pesanan tersebut guna dijual lagi kepada pihak lain (jadi mereka tidak hanya memalsu barang-barang branded). Ada masalah mentalitas dan keyakinan yang sudah tidak dapat diperdebatkan lagi di sini.

Lalu bagaimana China sebagai tujuan wisata atau tempat singgah bagi sebuah kunjungan? Pendapat Midler adalah sebagai berikut, “(Orang-orang Barat) tidak keberatan jika terkadang harus pergi ke China Daratan, tetapi memastikan kunjungan mereka berlangsung singkat. Di tengah-tengah ledakan ekonomi, semua orang tidak menganggap hal tersebut aneh atau lucu. China jelas akan menjadi tujuan utama—tetapi Anda tidak benar-benar ingin berada di sana” (hlm. 348).

So, pendapat mana yang akan kita pegang mengenai China? Saya kira tergantung sudut pandangnya. Dan bagi mereka yang sedang mempertimbangkan untuk berkunjung ke China, hal ini tergantung mereka datang ke sana sebagai apa. Sebagai turis backpacker-kah seperti Trinity, sebagai pembelanja (sok) elit seperti Miss Jinjing, atau sebagai pebisnis seperti Midler dan teman-temannya. Dan, mungkin benar seperti kata Miss Jinjing, tergantung pada sisi mana kita bersentuhan dengan negara yang super duper luas tersebut.

Kebetulan saya dan suami sama-sama pernah berkunjung ke China dalam kesempatan dan tempat yang berbeda. Suami saya pergi untuk kunjungan kerja ke Beijing dan sempat berwisata ke Great Wall. Kalau dari ceritanya, saya menangkap kesan kalau dia lebih setuju dengan China dalam versi Trinity. Meski tinggal di hotel berbintang dan makan di restoran yang bagus, kesan jorok tetap tidak terhapus dari pengamatan suami saya. Suami saya juga mengalami rasanya diuber-uber dan dipaksa membeli produk yang sebenarnya tidak dibutuhkan dalam sebuah kegiatan yang dimaksudkan sebagai shopping trip dalam perjalanan ke Great Wall.

Sementara saya pernah pergi ke Hangzhou untuk kunjungan kerja dan juga berwisata ke West Lake. Tinggal di sebuah hotel berbintang, makan di restoran-restoran favorit dan berjalan-jalan di West Lake yang indah relatif tanpa gangguan, saya lebih setuju dengan Miss Jinjing bahwa China pada sisi yang ini cukup menyenangkan. Meskipun saya juga mengalami apa yang dialami oleh Trinity, yakni kendala dalam berkomunikasi, sehingga saya harus belanja oleh-oleh dengan bahasa tarzan dan kemana-mana mengantongi kartu nama hotel yang ditulis dengan huruf China supaya kalau kesasar saya tinggal menunjukkan kartu nama tersebut ke polisi atau supir taksi.

Kalau teman saya yang punya pengalaman ke Shanghai, meski mengakui kalau Shanghai itu amazing, tapi toh dia tidak luput dari rasa bete akibat kejadian yang tidak menyenangkan. Yaitu waktu membayar barang yang dibelinya dengan pecahan uang 100 yuan, dia menerima kembalian yang baru belakangan dia ketahui ternyata uang palsu!

Hmmmh…ada pendapat atau pengalaman lain mungkin?

DN

Rabu, 24 November 2010

Kisah-kisah para Penggila Buku

Baru-baru ini saya membaca dua buah buku yang menggambarkan tentang ‘kegilaan’ para pecinta buku (yang membuat kecenderungan bacamania saya menjadi bukan apa-apa). Yang pertama berjudul “The Man who Loved Books Too Much” karya Allison Hoover Bartlett tentang kisah nyata seorang pencuri karena obsesinya pada buku. Yang kedua adalah ‘Libri di Luca” karya Mikkel Birkegaard, sebuah kisah fiksi tentang perkumpulan rahasia para pecinta buku dan ‘kesaktian’ yang bisa diperoleh dari kegiatan membaca. Dari keduanya saya lebih menikmati buku kedua (Libri di Luca), tapi dari keduanya saya belajar betapa buku bisa menjadi center of universe dalam kehidupan sekelompok orang. Bukan semata karena alasan pekerjaan (seperti dosen misalnya) atau kewajiban (seperti pelajar), tapi benar-benar murni karena passion dan, to some extent, pandangan hidup (!).

Dalam The Man who Loved Books too Much, Allison Hoover Bartlett yang berlatar belakang seorang jurnalis, merangkum risetnya mengenai perjalanan hidup seorang pencuri buku-buku langka legendaris di Amerika Serikat sana: John Gilkey, dikombinasikan dengan perjalanan hidup seorang bibliodick atau kolektor sekaligus agen penjual buku langka yang merangkap sebagai detektif pelacak Gilkey: Ken Sanders. Bartlett menuturkan ceritanya dengan gaya yang lebih mirip laporan jurnalistik daripada kisah, sehingga buku ini akan sangat membosankan kalau saja tidak diselingi dengan kejutan pengungkapan fakta-fakta unik di sana-sini.

Bayangkan, ternyata ada manusia di bumi ini yang rela mengeluarkan ribuan hingga ratusan ribu US dollar atau setara jutaan hingga miliaran rupiah hanya untuk sebuah buku (yang langka)! Itu hanya untuk satu buku. Dengan status sebagai seorang kolektor buku langka, bisa dibayangkan berapa pengeluaran yang telah mereka lakukan untuk membuat sebuah koleksi yang mengesankan. Bagi mereka yang berasal dari golongan kaya-raya mungkin tidak punya persoalan dalam membiayai hobi unik (dan mahal) tersebut. Tapi ada pula yang berasal dari golongan menengah, sehingga mereka harus bekerja ekstra untuk mendapatkan buku-buku langka yang belum terlalu populer sebagai collection items. Lalu bagaimana dengan mereka yang berasal dari kelompok menengah ke bawah tetapi memiliki obsesi yang sama terhadap buku-buku langka? Ya jadinya seperti si John Gilkey ini: rela dipenjara demi memenuhi obsesinya dengan cara menipu atau mencuri! Unbelievable.

Pertanyaannya adalah: apa sih yang dicari dari sebuah buku langka? Kalau lukisan atau barang antik seharga miliaran rupiah karuan, bisa dipajang di rumah atau di ruang kerja buat dikagumi para tamu dan kolega. Tapi buku? Apakah dia juga akan dipajang dalam kotak kaca mewah di sudut terbaik rumah atau ruang kerja? Bukankah nilai sebuah buku itu dilihat dari isinya, bukan fisiknya? Apakah buku-buku langka tersebut menjadi mahal karena kehebatan isinya yang tidak ketahui oleh banyak orang, seperti kitab ilmu silat yang diperebutkan dalam film-film kungfu China? Ternyata tidak juga. Kata kuncinya umumnya adalah: edisi pertama. Jadi buku anak-anak pun seperti edisi pertama Pinocchio yang masih dalam bahasa aslinya (Italia), edisi pertama The Tale of Peter Rabbit, hingga edisi pertama Harry Potter and the Philosopher’s Stone, bisa dijual dengan harga puluhan ribu dollar!

Jadi apa dong definisi buku langka yang membuatnya layak diberi bandrol harga gila-gilaan? Bartlett mengungkapkan dari hasil risetnya bahwa definisi ‘buku langka’ ternyata bisa sangat subyektif sifatnya. Ada yang dengan main-main mengatakan kalau “buku langka adalah buku yang harganya jauh lebih mahal sekarang daripada ketika diterbitkan” atau “buku yang sangat kuinginkan tapi tak bisa kutemukan.” Tapi untuk seriusnya, predikat ‘langka’ diberikan karena kombinasi kejarangan, kepentingan, dan kondisi, ditambah dengan selera dan trend (hlm. 11-12). Hmmh…

Kembali ke pertanyaannya awal: apa sih yang dicari dari sebuah buku langka? Kepuasan apa yang bisa didapat dari kerelaan mengeluarkan uang sedemikian besar, atau dalam kasus Gilkey kerelaan untuk menjalani hukuman penjara, demi mendapatkannya? Dan jawaban yang diperoleh oleh Bartlett dari wawancaranya dengan Gilkey adalah: “Aku menyukai perasaan bisa memegang buku seharga lima atau sepuluh ribu dollar. Dan aku menyukai kekaguman yang kudapatkan dari orang lain.” What a reason.

Dari hasil wawancaranya dengan para kolektor lain, termasuk Sanders, Bartlett pada akhirnya menyimpulkan bahwa sama halnya seperti para kolektor benda lain pada umumnya—kolektor mobil antikkah, kolektor prangko, lukisan, tanaman, keris, atau benda apapun—mereka membangun identitas dari koleksi mereka. Artinya, mereka mengharapkan citra tertentu dilekatkan oleh orang lain kepada mereka berdasarkan koleksi yang dimiliknya. Dan mengoleksi buku langka dipilih karena dianggap memperlihatkan selera, pengetahuan dan kekayaan.

Okelah kalau begitu…

Nah, sekarang tentang Libri di Luca. Sekali lagi ini cerita fiksi fantasi tentang perkumpulan rahasia pencinta buku di negara Denmark. Mereka secara rutin berkumpul di toko buku bekas (yang juga memiliki koleksi buku langka) bernama Libri di Luca, milik seorang pencinta buku sejati: Luca Campelli. Tapi jangan mengira bahwa kegiatan mereka semata berkumpul dan berdiskusi mengenai sebuah buku. Melalui membaca mereka juga mengasah kemampuan untuk menyihir, atau tepatnya menghipnotis, orang lain melalui bacaan mereka (!). Ini boleh dibilang semodel dengan Harry Potter. Hanya saja jika Harry Potter menyihir dengan tongkatnya, para pembaca atau orang yang disebut ‘pemancar’ atau lector ini ‘menyihir’ dengan cara mempengaruhi pikiran orang lain melalui sebuah buku atau bacaan apapun yang dibacakan keras-keras.

Lalu ada kelompok saingannya yang keahliannya bukan dengan membaca, namun justru dengan mempengaruhi pikiran orang yang sedang membaca. Sebutannya ‘penerima’. Jadi kalau untuk melawan kekuatan seorang ‘pemancar’ kita disarankan untuk menutup telinga, maka untuk melawan kekuatan seorang ‘penerima’ kita disarankan untuk tidak membaca didekatnya. Unusual, isn’t it?

Tokoh utamanya adalah Jon, anak tunggal Luca Campelli. Karena dibesarkan bukan oleh orang tuanya, Jon, yang awalnya berprofesi sebagai pengacara, tidak pernah tahu keberadaan kelompok para pecinta buku tersebut, bahkan tidak pernah tahu jika dia sendiri ternyata seorang lector yang hebat (tapi belum ‘diaktifkan’—seperti kartu ATM saja: diaktifkan dulu baru bisa dipakai). Baru setelah ayahnya, Luca, meninggal secara tak wajar dan mewariskan Libri di Luca, Jon mulai terlibat dengan kelompok yang misterius ini. Dalam upayanya menemukan pembunuh orang tuanya dan mengejar keberadaan kelompok lector sesat di bawah ‘Organisasi Bayangan’, Jon dibantu oleh seorang ‘penerima’ cantik, Katherina, dan seorang ahli IT nyentrik keturunan Turki, Muhammad.

Jalan ceritanya cukup oke. Meski menyisakan banyak pertanyaan dan detail yang tak terjawab secara memuaskan, seperti mengapa Organisasi Bayangan merasa perlu membakari toko-toko buku langka di Kopenhagen? Atau, dari mana Katherina membiayai hidupnya mengingat dia hanya seorang anak yatim piatu yang kebetulan senang menghabiskan waktunya di Libri di Luca?

Yang menarik, ada satu persamaan dalam cerita ini dengan cerita buku pertama di atas: munculnya buku Pinocchio edisi pertama yang berbahasa Italia. Tapi kalau dalam The Man who Loved Books too Much buku Pinocchio ini dibahas karena kelangkaan dan harganya yang istimewa, di Libri di Luca, buku ini mengambil peranan sebagai senjata penyelamat Jon diakhir cerita. Sama-sama pemosisian yang istimewa sebenarnya.

Ya sudahlah, saya sudah menulis sedemikian banyak. Baca saja buku-buku di atas kalau memang mengaku sebagai bacamania. Okey?

DN

Senin, 15 November 2010

Aquila: Majalah Wanita Muslim

Bulan lalu saat sedang browsing di toko buku Periplus Bandara Sukarno Hatta sambil menunggu keberangkatan pesawat, secara tidak sengaja saya menemukan sebuah majalah fashion dan gaya hidup muslimah berbahasa Inggris! What a surprise. Saya tidak pernah tahu sebelumnya mengenai majalah ini. Sepertinya memang ini majalah baru yang terbit di tahun 2010 ini (yang saya lihat dan kemudian beli kelihatannya baru edisi ke-3).

Namanya: AQUILA Asia dengan motto: modest and fabulous, dan klaim: 'Fashion & Lifestyle for Cosmopolitan Muslim Women'. Penerbitnya Aquila Media yang berbasis di Singapura tapi produksinya di Indonesia. Target pembacanya adalah para muslimah di Singapura, Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam (lumayan luas kan?). Itulah mengapa beberapa info seperti wisata, kuliner, butik dan lain-lain berada di seputar negara-negara tersebut. Tapi halaman iklannya didominasi oleh produk-produk Indonesia, demikian pula halaman modenya (hmm…Indonesia memang layak menyebut diri sebagai kiblat dunia mode busana muslim, minimal di Asia).

Artikel-artikelnya juga tidak jauh berbeda dengan majalah-majalah wanita pada umumnya, mulai dari fashion (tentu!), kecantikan, kesehatan, rumah tangga, sampai keuangan, ditambah entertainment semacam musik, film, travelling dan kuliner, serta tak lupa berita dunia Islam dan juga feature kisah nyata atau pengalaman hidup seorang muslimah, yang bisa berasal dari negara mana saja.

Kalau dibandingkan dengan majalah-majalah muslimah lain di Indonesia yang cenderung ke arah fashion dan gaya hidup--seperti Noor, Paras, atau Alia--majalah Aquila terasa berbeda karena halaman iklan dan modenya menampilkan international brands, meskipun kebanyakan masih yang high street, seperti Mango, Zara, Guess, Coach, Massimo Dutti, atau Banana Republic. Ukurannya juga lebih kecil dari majalah pada umumnya, hampir separuhnya. Sementara lainnya sih standar. Pembahasan yang melibatkan kajian syariah atau aqidah, majalah-majalah lokal kita tidak kalah tajam dalam mengolahnya, malah lebih konsisten.

Saya bilang majalah-majalah lokal lebih konsisten karena Aquila terlalu banyak mentolerir gaya hidup yang tidak Islami atau disajikan dalam perspektif yang lebih pro ke nilai-nilai kosmopolit. Di halaman iklan atau mode, misalnya, Aquila tidak pantang menampilkan iklan lingerie atau busana-busana yang tidak sepenuhnya tertutup, seperti skirt yang panjangnya selutut atau atasan lengan pendek. Dia hanya berusaha selalu menambahkan stocking atau leggings dan tutup kepala (topi atau bandana) agar busana-busana tersebut dan para modelnya tampil lebih ‘sopan’. Hal ini bukannya tidak mengundang protes pembaca.

Seorang pembaca dari Jakarta mengirimkan surat yang menanyakan pertimbangan Aquila menerima iklan lingerie yang tentunya bertentangan dengan syariah. Atas protes tersebut, redaksi menanggapi bahwa Aquila tidak dimaksudnya sebagai sebuah majalah religius dan tidak hanya membidik pembaca Muslim. Mereka hanya berusaha menonjolkan kebaikan Islam dan semangat spiritualitas dengan penekanan pada keseimbangan hidup serta toleransi (hmmh, any comment about this?).

Tapi okelah, mungkin memang ada kelompok muslim tertentu yang diwakili oleh majalah ini dan mereka tidak berkeberatan terhadap konten Aquila yang tidak terlalu 'sempurna' untuk dirujuk sebagai inspirasi hidup kalangan muslim ataupun disebut sebagai representasi wajah Islam. Tapi dengan spirit memasukkan unsur spiritualitas dalam keseharian kelompok muslimah yang tidak anti materialisme atau konsumerisme, I think it's fair enough to refer this mag as the "world’s first English fashion and lifestyle magazine for cosmopolitan Muslim women in Asia”...

DN