Jumat, 07 Mei 2010

Minat Baca Orang Indonesia

Ada sepotong berita menarik di situsnya kantor berita Antara (http://www.antaranews.com) akhir April lalu. Katanya, minat baca masyarakat Indonesia sebenarnya tinggi. Hanya saja, fasilitas dan sarana prasarana yang ada masih kurang. Itu kata Kepala Pusat Pengembangan Perpustakaan dan Pengkajian Minat Baca Perpustakaan Nasional RI, Bapak Teuku Syamsul Bahri, lhoooo…Jadi cukup terjamin akurasinya.

Terlepas dari apakah pernyataan Bapak Teuku Syamsul Bahri tersebut didukung oleh data statistik atau tidak, tapi pengalaman saya sendiri mengatakan saya mendukung pernyataan beliau 100 persen! Siapa bilang minat baca orang Indonesia rendah?

Coba hitung, berapa banyak rata-rata toko buku yang ada di setiap kota di seluruh Indonesia? (hehehe…susah ngitungnya ya?). Minimal ada satu-lah. Kalau ada yang bilang toko buku cuma untung di penjualan stationery saja, coba tanya pada diri sendiri, berapa kali dalam satu bulan kita belanja stationary? Belum tentu satu bulan sekali kan? Jadi, yakin bahwa toko-toko buku di Indonesia bertahan hidup kebanyakan dari penjualan stationary saja?


Itu pun belum bisa dijadikan ukuran. Karena persoalannya memang tidak semua orang Indonesia mampu membeli bacaan karena keterbatasan ekonomi, selain pendapat bahwa harga buku-buku di Indonesia kurang affordable. Satu buku bacaan yang dibeli oleh seseorang di toko buku, besar kemungkinan akan dibaca oleh lebih dari satu orang dengan status rata-rata peminjam. Belum lagi fakta bahwa toko buku seperti Gramedia memang membolehkan buku-bukunya untuk dibaca di tempat.


So
, kalau tingkat penjualan kendaraan bermotor bisa dijadikan indikator pertumbuhan ekonomi di suatu negara, maka tingkat penjualan buku tidak bisa dijadikan indikasi minat baca masyarakat suatu negara.


Tapi okelah kalau pernyataan-pernyataan saya di atas amat sangat debatable sifatnya. Jadi mending saya sharing aja. Dulu di kampung masa kecil saya, banyak keluarga dengan tingkat ekonomi yang bisa digolongkan menengah ke bawah. Boro-boro untuk beli bacaan, buat makan saja ngepas.


Kebetulan, keluarga saya meskipun nggak kaya, tapi kesadaran dan kemampuan finansial untuk membeli buku alhamdulillah masih ada. Dalam satu bulan, ada saja bacaan yang dibelikan oleh orang tua saya untuk anak-anaknya dan untuk mereka sendiri. Plus beberapa majalah yang rutin berlangganan. Dan hal ini tentu saja diketahui dengan baik oleh tetangga-tetangga saya.


Nggak heran kalau rumah saya jadi kayak perpustakaan publik! Tiap hari ada saja anak-anak yang datang ke rumah dan gelosoran di lantai teras sambil membaca buku atau majalah. Saya masih ingat sekali. Para orang tua di kampung saya paling senang kalau anak-anaknya main di rumah saya. Karena kalau di sana mereka anteng baca buku, nggak keluyuran di jalanan.


Umur anak-anak itu rata-rata usia SD. Kakak-kakaknya yang usia SMP ke atas lebih suka meminjam dan membawa pulang buku atau majalah keluarga saya. Tapi mereka baik-baik kok, dan nggak menerapkan pepatah Gus Dur yang mengatakan: “Hanya orang bodoh yang mau meminjamkan buku miliknya. Tapi hanya orang gila yang mau mengembalikan buku yang berhasil dipinjamnya.” Kebanyakan buku atau majalah saya balik. Malah nggak sedikit buku-buku yang saat dipinjam cover-nya lecek atau halamannya terlepas, saat kembali sudah disampuli atau dijilid rapi.


Itu baru contoh di kampung saya. Saya juga pernah membaca (atau nonton di TV ya?) seorang ibu yang rajin bersepeda berkeliling kampung untuk meminjamkan buku-buku secara gratis kepada anak-anak di kampung tersebut. Tanpa bayaran lho! Mana ada cerita semacam itu kalau bukan karena minat baca orang Indonesia yang tinggi?


Betul kata Pak Teuku
Syamsul Bahri, "Permasalahannya bukan karena minat baca yang rendah tetapi fasilitas dan sarana prasarana yang disediakan masih belum lengkap." Dalam hal ini pembangunan fasilitas perpustakaan yang memadai di daerah-daerah lebih diharapkan daripada pembangunan toko buku.

Pada akhirnya, ini hanya masalah kebiasaan. Anak-anak yang sedari kecil bisa mengakses bacaan dengan mudah, mereka akan tumbuh dengan minat baca yang baik. Saya sudah membuktikan sendiri kok. Menumbuhkan minat baca sama mudahnya dengan menumbuhkan minat menonton TV. Bagi yang mampu, sediakan saja bacaan-bacaan yang menarik di rumah. Dijamin anak-anak akan memiliki alternatif kegiatan yang menyenangkan di rumah selain menonton TV atau main play station.

Atau lebih bagus lagi, biasakan anak sedini mungkin mengunjungi toko buku atau perpustakaan dan memilih sendiri buku yang disukainya (dengan bimbingan orang tua tentu saja). Lalu sesekali ajak mereka berdiskusi ringan mengenai isi sebuah buku yang mereka baca. Bagi yang masih memiliki anak yang belum bisa membaca, jangan sungkan untuk membacakan cerita sebelum tidur. Eh, tapi anak yang sudah bisa membaca pun akan senang-senang saja mendengarkan orang tuanya membacakan cerita bagi mereka!

Pintar-pintarnya orang tua sajalah menciptakan budaya membaca yang menyenangkan bagi anak-anaknya. Dan anak-anak Anda pun akan menjadi bagian dari kelompok masyarakat di Indonesia dengan minat baca yang baik. Insha Allah...

And now, allow me to quote wisdom from an anonym:

“TV. If kids are entertained by two letters, imagine the fun they'll have with twenty-six. Open your child's imagination. Open a book.”

DN

2 komentar:

  1. Wah,kalau zaman kami sih,pepatah Gusdur berlakuny dah lebih dr 50%..
    Btw,modelny dpotret d gramedia GI,y?

    BalasHapus
  2. Yoi, itu di gramed grand indonesia. aku paling suka gramed di sana soalnya kantong plastiknya bagus, beda sama kantong plastik gramed lainnya...hehe. tks yud

    BalasHapus