Rabu, 05 Mei 2010

Cerita Wayang

Beberapa bulan lalu, saat bulan Ramadhan tahun 2009 tepatnya, saya tertarik melihat iklan penjualan komik wayang di restoran Sate Senayan. Judulnya “Riwayat Pandawa” karya Teguh Santosa. Agak janggal juga ya, buku dipasarkan di restoran? Apalagi untuk pembelian komik tebal yang tidak murah itu (Rp 300 ribuan, I don’t remember the exact price), kita dapat voucher Rp 100 ribu untuk makan di Sate Senayan. Ternyata Sate Senayan memang ikut berkontribusi dalam penerbitan komik itu bersama Pluz-publishing.

Eh, tapi saya bukan mau cerita tentang Sate Senayan. Ini tentang komik wayang yang after all these years this was the first time I saw a wayang comic published! Terakhir saya beli dan baca komik wayang itu awal s.d. pertengahan tahun 1980-an waktu saya masih duduk di bangku SD. Judulnya “Arjuna Sasrabahu” karya R.A. Kosasih. Jaman itu R.A Kosasih memang rajanya komik wayang. Saat itu saya memang mengoleksi komik wayang yang didukung sepenuhnya oleh ayah saya, dan hampir sebagian besar adalah karya R.A. Kosasih. Let me recall my collection: Mahabharata (4 jilid besar), Bharatayudha (3 jilid), Pandawa Seda (2 jilid), Parikesit (2 jilid), Prabu Udayana (2 atau 3 jilid ya?), Ramayana (2 jilid), Arjuna Sasrabahu (4 jilid), Wayang Purwa (1 jilid), dan Arjuna Wiwaha (1 jilid). Dari semua ini, cuma “Wayang Purwa” yang bukan karya R.A. Kosasih, tapi Oerip. Sisanya R.A. Kosasih semua!

Ciri khas karya R.A. Kosasih, dari sisi gambar, yang saya ingat gambarnya cakep-cakep! Perempuannya cantik-cantik, laki-lakinya ganteng-ganteng. Tapi kata kakak laki-laki saya (yang hobi gambar) muka tokoh-tokoh R.A. Kosasih mirip-mirip! “Yang beda cuma kostumnya aja,” kata kakak saya. Kalau Oerip, meskipun gambarnya terkesan garang dan serius, tapi dia bisa membuat karakter wajah yang berbeda-beda.

Dari sisi cerita, R.A. Kosasih cenderung lebih mendekatkan diri ke negeri asal cerita wayang: India. Jadi dia mengabsenkan tokoh-tokoh Punakawan (Semar, Bagong, Petruk, Gareng), dan lebih suka menggunakan nama-nama India daripada Jawa, baik untuk tokoh-tokohnya maupun negara-negaranya. Yudhistira bukan Puntadewa atau Samiaji, Bima bukan Werkudara, Duryudana bukan Suyudana, Indraprasta bukan Amarta, dan juga Hastina bukan Astina apalagi Ngastina. Pakem-nya juga pakem India. Srikandi, misalnya, tidak pernah diceritakan sebagai salah satu istri Harjuna (R.A. Kosasih memang menulis “Harjuna”, bukan “Arjuna”). Babak kisah Srikandi hanya menceritakan pertukaran jenis kelaminnya dari wanita menjadi pria dengan perantara seorang raksasa, dan pernikahannya dengan Dewi Utari. Selain itu, anak Bima yang dimunculkan di sana hanya Gatotkaca, tidak disebut-sebut tentang Antasena atau Antareja yang memang dikenal dalam pakem Jawa.

Kalau R.A. Kosasih perlu berjilid-jilid untuk menguraikan kisah hidup Pandawa, di “Riwayat Pandawa”-nya Teguh Santosa, buku setebal 472 halaman itu memuat tiga cerita besar sekaligus: Mahabharata, Bharatayudha dan Pandawa Seda, yang konsekuensinya ya setiap cerita hanya mendapat porsi halaman yang terbatas. Oleh karenanya, banyak bagian menarik yang harus dilewati atau hanya diceritakan secara sekilas.

Tapi tiga cerita tersebut memang merupakan inti dari kisah kehidupan Pandawa—lima ksatria bersaudara yang merepresentasikan kebaikan versi Hindu: Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa. Mahabharata adalah tentang riwayat kelahiran dan pertumbuhan mereka hingga dewasa yang kisahnya dirunut sejak kakek buyut mereka, Prabu Sentanu, sampai dengan awal pertikaian mereka dengan Kurawa—musuh bebuyutan Pandawa yang merepresentasikan kejahatan.

Sedangkan Bharatayudha merupakan puncak dari peperangan antara kebaikan versus kejahatan, dimana tentu saja kebaikan yang menjadi pemenangnya. Bagian yang paling menarik dalam Bharatayudha menurut banyak pengamat justru pada episode Bhagawadgita, yakni saat menjelang perang dimana Arjuna dilanda kebimbangan untuk meyakini nilai kebenaran yang hendak dibelanya, apakah cukup berharga untuk diperjuangkan melalui pertumpahan darah. Terjadilah dialog antara Krisna (yang merupakan titisan Dewa Wisnu), sang guru, dengan Arjuna, sang murid, yang mengungkap banyak kebijaksanaan Hindu.

Tapi buat saya yang paling menarik justru bagian yang menceritakan keteguhan hati Adipati Karna yang berdiri di antara the goodies and the badies diambang perang Bharatayudha. Adipati Karna adalah kakak se-ibu Pandawa (anak pertama Dewi Kunti dari Betara Surya—Dewa Matahari) yang tidak pernah mengetahui identitas orang tua kandungnya sampai menjelang Bharatayudha. Karna sudah di’buang’ oleh Dewi Kunti semenjak bayi dan dipungut anak oleh seorang kusir. Kurawa-lah yang berjasa mengangkat derajat Karna menjadi Adipati karena Karna memiliki keahlian memanah yang sanggup menandingi Arjuna. Karna menolak bujukan Krisna maupun ibunya sendiri, Dewi Kunti, untuk menyeberang ke kelompok baik (Pandawa) dan meninggalkan kelompok jahat (Kurawa). Saat Dewi Kunti berkata: “Ibu hanya ingin menyadarkan bahwa kau membela pihak yang salah, anakku.” Tanpa ragu Karna menjawab: “Salah atau benar adalah tanggung jawab mereka (Kurawa). Saya berdiri di luar batas perbuatan mereka…(Tetapi) Saya telah bersumpah kepada para Kurawa, akan setia kepada mereka. Apapun akibat yang harus saya hadapi…Bagi saya tidak ada manusia yang lebih buruk daripada manusia yang mengingkari sumpahnya.” Dahsyat ya? So, Karna is one of two my favorite characters in wayang. The other one is Bisma, another knight who’s consistent with his vow (sumpah untuk tidak menikah dan memiliki keturunan demi kebahagiaan ayahnya yang ingin kawin lagi!).

Nah, kalau Pandawa Seda dari judulnya aja kelihatan kalau ini adalah babak mengenai matinya Pandawa, dimana kelima ksatria pemenang perang itu justru memilih menjemput ajal mereka sendiri melalui pendakian ke puncak Mahameru. Babak ini sarat dengan nilai-nilai ajaran Hindu tentang hakikat hidup dan mati.

Sebenarnya masih ada Parikesit dan Prabu Udayana yang menceritakan kisah keturunan para Pandawa, terutama dari garis Arjuna. Tapi kedua cerita itu bukan mainstream dalam dunia pewayangan yang mengambil lakon Pandawa. Jadi ya nggak rugi-rugi amat kok terlewat kisah lanjutan tersebut. Tapi kalau saat ini buku-buku R.A. Kosasih masih ada, I would suggest you to read his version rather than Mr. Teguh Santosa’s. Berhubung sejauh ini buku-buku R.A. Kosasih belum dicetak ulang lagi, baca versi Teguh Santosa juga lumayan kok buat “tombo ati”….

DN

2 komentar:

  1. mbak,
    koleksi komiknya masih ada?
    sepakat dengan kakak mbak, meski gambarnya bagus, tapi gambar RA kosasih mirip2 dan tidak ekspresif.
    Kalo teguh santosa, seingat saya dia pernah nulis komik wayang bersambung di salah satu koran nasional. cuman saya lupa, koran apa.

    BalasHapus
  2. tks komennya pak sinoeng. sayangnya waktu rumah orang tua direnovasi kayaknya komik2 itu direlokasi ke suatu tempat tapi sampai sekarang nggak ketauan jejaknya...:(

    glad to know another wayang addict...hehehe

    BalasHapus