Minggu, 21 Februari 2010

Agatha Christie: Si Ratu Cerita Misteri

Ini pengarang favorit saya sepanjang masa yang buku-bukunya paling mendominasi lemari buku saya dan cerita-ceritanya sudah ikut mewarnai hidup saya sejak remaja sampai sekarang.

Tapi sebenarnya saya sudah mulai berkenalan dengan buku Agatha Christie sejak kelas 6 SD. Buku Agatha Christie pertama saya judulnya “Pembunuhan di Orient Express” punya ayah saya yang cetakkan tahun 1978 (sampai sekarang masih saya simpan!).

Pembunuhan di Orient Express menceritakan tentang terbunuhnya seorang penculik di dalam kereta mewah Orient Express yang sedang melintasi benua Eropa, dan pembunuhan itu dilakukan oleh…12 orang penumpangnya plus kondekturnya secara berkomplot. Detektif jagoannya tak lain dan tak bukan adalah Hercule Poirot dengan kumisnya yang legendaris!

Saat itu saya tidak langsung jatuh cinta pada Agatha Christie. Yang ada saya bingung dan bolak-balik menengok ke daftar tokoh yang ada di halaman depan buku karena saya tidak kunjung hapal nama-nama tokoh yang sedang diceritakan. Bacanya pun jadi lama. Jadi, saya hanya sempat membaca satu buku Agatha Christie selama di bangku SD, karena kapok. Baru mulai membaca lagi saat sudah di bangku SMP ketika nalar sudah lebih berkembang.

Kenapa saya suka Agatha Christie? Pertama, saya suka cara dia mengemas misterinya. Kebanyakan pembunuhnya selalu orang yang tak terduga dan baru terungkap di akhir cerita lengkap dengan argumentasinya. Beberapa temen saya menganggap cara itu membosankan. Suami saya malah bilang, “Nebak pembunuh di Agatha Christie itu gampang. Cari aja orang yang paling nggak mungkin, pasti dia pembunuhnya!”

Oke, pendapat itu to some extent mungkin benar, meskipun bukan berarti dengan prinsip itu para pembunuhnya selalu mudah di tebak. Buku Agatha Christie yang dinilai oleh para pengarangnya sebagai karyanya yang terbaik “Pembunuhan atas Roger Ackroyd” (buku saya yang ini hilang! Sebel deh) secara mengejutkan memunculkan si “aku” atau orang yang sudut pandangnya digunakan untuk memaparkan cerita, sebagai pembunuhnya! What a surprise

Pola yang sama juga ada di cerita “Misteri Tujuh Lonceng” meskipun menggunakan sudut pandang orang ketiga atau si “dia” bukan si “aku”. Sementara di “Tirai” yang merupakan misteri terakhir yang ditangani Hercule Poirot, kejutannya muncul karena ‘dengan teganya’ si Ibu Agatha menjadikan tokoh kesayangannya itu sebagai pembunuh sebelum Poirot sendiri akhirnya bunuh diri (meskipun yang dibunuh memang orang yang ‘layak dibunuh’ alias penjahat).

Tapi pesona cerita Agatha Christie buat saya bukan karena kejutan tentang siapa pembunuhnya, tapi argumen psikologis yang digunakan untuk membangun alasan mengapa seseorang menjadi pembunuh dan seseorang menjadi korban pembunuhan. Hercule Poirot di banyak buku sering bilang, “Bagi saya yang terpenting adalah mengetahui dengan baik karakter si korban semasa dia masih hidup.” Karena menurutnya dengan mengetahui karakter si korban, dia jadi bisa mengetahui ‘psikologi pembunuhan’ itu yang akhirnya bisa membantu mengungkap identitas si pembunuh.

Kedua, meskipun genre-nya misteri dengan spesifikasi misteri pembunuhan, tapi cerita kriminalnya nggak vulgar. Nggak ngumbar darah atau kekerasan, dibanding Dan Brown, misalnya. Meskipun saya juga penikmat Dan Brown, tapi sampai sekarang saya masih suka ngeri dan melompati bagian the way the victim is killed or tortured. I just couldn’t stand it. Ada sih di beberapa cerita Agatha Christie yang korbannya wajahnya dirusak untuk mengaburkan identitas si korban, tapi prosesnya dan detail seberapa rusaknya tu wajah, nggak pernah diceritain.

Ketiga, saya suka cara Agatha Christie menyelipkan cerita cinta diantara jalinan cerita misterinya, meskipun nggak selalu ada. Buat saya kisah cinta ala Agatha Christie nggak picisan, atau mesum seperti cerita-cerita Sydney Sheldon. Paling banter ciuman, itupun nggak detail ngebahasnya. Jadi bacanya nggak bikin jengah. Mungkin itu memang khas Inggris yang dikenal sebagai bangsa yang kaku dan nggak ekspresif. Jadi pengungkapan perasaan antara si tokoh pria dengan tokoh wanitanya terkesan subtle (but sweet…). Favorit saya adalah kisah cinta dalam “Pria Berstelan Coklat”. Malah kayaknya ini buku Agatha terfavorit saya. Saya menyukai kalimat dalam Bab I yang memperkenalkan si tokoh Anne Beddingfeld (si “aku”) yang bunyinya, “Aku selalu ingin bertualang. Soalnya hidupku datar-datar saja…”

Tapi bicara tentang kejutan identitas si pembunuh dalam Agatha Christie, saya punya cerita waktu saya duduk di bangku SMA. Waktu itu saya punya teman sebangku namanya Dany (cewek) yang kebetulan sama-sama ngefans sama Agatha Christie dan koleksinya juga lumayan banyak. Jadi kita suka saling pinjam. Tapi ngeselinnya, dia suka iseng nulis nama pembunuhnya di halaman pertama buku. Gede-gede lagi hurufnya. “Pembunuh: si X.” Nyebelin kan? Soalnya jadi nggak asyik bacanya. Akhirnya salah seorang temen yang juga rajin pinjem buku dia bilang, “Kalau baca buku Agatha Christie punya Dany, lompatin aja halaman pertama.”

Beres? Nggak juga. Soalnya setelah tau temen-temennya menghindari halaman pertama, si Dany jadi ngubah trik dengan melingkari nama si pembunuh di tengah-tengah buku pake tinta merah dan ditambahi keterangan “Ini lho pembunuhnya!” Cappee…

DN


2 komentar:

  1. poirot, mengingatkan pada cafe sebelah rumah dan kantor Mouri Kogoro pada Meitantei Conan...

    BalasHapus
  2. do you think so? ngomong2 apaan sih 'mouri kogoro' & 'meitantei conan'?

    BalasHapus