Selasa, 07 Desember 2010

China from a Backpacker, a Shopper and a Business Consultant’s Points of View

Siapa yang nggak tahu China? Negara yang pernah dijuluki ‘Tirai Bambu’ karena upaya rezim komunis yang berkuasa disana untuk tidak membuka diri sepenuhnya dari mata dunia (meski tidak serapat almarhum Uni Soviet yang pada masanya sempat dijuluki ‘Tirai Besi’), tapi sekarang tumbuh sebagai raksasa ekonomi dunia karena dominasinya dalam perdagangan internasional dan menjadi magnet bagi para produser barang-barang manufaktur maupun distributor retail dari berbagai penjuru bumi.

Dua tahun tinggal di Australia saya menyaksikan betapa produk-produk China mampu merajai sektor retail di sebuah negara maju yang produk dalam negerinya sudah mengibarkan bendera putih untuk persaingan, khususnya untuk barang-barang seperti pakaian, alas kaki, tas, perabot, stationary, suvenir, sampai elektronik. Di Amerika Serikat sama saja. Datanglah ke Wal-mart—hipermarket paling populer di sana—dan Anda akan menemukan 90% barang non-pangan yang dijual berlabel ‘made in China’. Di Jepang pun yang konon masyarakatnya sangat peduli kualitas tidak dapat menolak ‘hukum rimba’ dunia perdagangan: makin murah, makin dicari. Fenomena maraknya toko satu harga serba 100 yen merupakan salah satu buktinya. Di Indonesia yang permisif terhadap kegiatan bajak-membajak merk, siapa yang tidak tahu dari mana asal barang-barang KW1 atau KW2 di tempat-tempat seperti Mangga Dua?

Dengan statusnya sebagai negara dengan populasi terbesar di seluruh dunia (1.3 miliar jiwa kalau tidak salah) China mampu menyediakan sumber daya manusia yang mursidah alias murah meriah, yang dijamin bisa menekan biaya produksi sebuah barang hingga harga jual barang tersebut sangat kompetitif di pasaran. Belum lagi kemampuan dan kemauannya untuk copycat produk apapun yang dipesan tanpa dipusingkan oleh isu ‘intellectual property rights’, membuat China menjadi surga bagi para pebisnis miskin kreativitas maupun para konsumen akhir yang menghalalkan segala cara demi tampil gaya.

Namun dengan segala gegap gempita kemajuan industri dan kepemimpinannya di perdagangan internasional plus salah satu pemilik GDP dan cadangan devisa terbesar di dunia, si raksasa ekonomi baru ini masihlah tetap sebuah negara berkembang yang tak lepas dari persoalan dan stereotype khas dunia ketiga. Miss Trinity di situs-nya yang terkenal the Naked Traveler (http://naked-traveler.com) memiliki catatan tersendiri mengenai pengalamannya menjelajahi China sebagai backpacker. Pertama, Miss T mencatat tentang kebiasaan jorok orang China. Kebiasaan meludah atau membuang dahak di mana-mana lah (yakh!), toilet-toilet umum yang kotor dengan segala isinya yang kerap berceceran (hiiiy!), ataupun ketidakpedulian sebagian besar masyarakatnya untuk menutup bau yang berasal dari toilet, tempat sampah atau sumber-sumber bau lainnya, di dekat sebuah restoran sekalipun!

Kedua, kesulitan orang China dalam berkomunikasi dengan bahasa Inggris. Bahkan papan-papan informasi di area-area publik pun tidak menyediakan translasinya dalam bahasa Inggris. Boro-boro bahasa Inggris, dengan tulisan latin berbahasa China pun tidak. Miss T dengan gaya kocak menceritakan tentang kejadian-kejadian konyol yang dialaminya gara-gara miskomunikasi dengan penduduk setempat, seperti pesan sate 30 tusuk diberi 60 tusuk, setengah mati mencari hotel Inner Mongolia yang oleh penduduk setempat lebih dikenal dengan nama Nei Menggu Fandian (buset, kok jauh yak?).

Ketiga, sifat mereka yang gemar mengambil keuntungan dalam segala situasi, bahkan tak jarang dengan aksi tipu-tipu. Tapi si Miss T tidak banyak menceritakan pengalamannya bersentuhan dengan sisi China yang satu ini, kecuali tentang paket tur-nya ke Tembok Besar (Great Wall) yang dipenuhi dengan paksaan untuk membeli produk atau suvenir di tempat-tempat yang dimaksudkan sebagai shopping sites oleh agen tur-nya.

Tapi sudut pandang Trinity tentang China ini mendapat ‘perlawanan’ dari Amelia Masniari alias Miss Jinjing dalam bukunya “Belanja Sampai Mati di China”. Miss J secara langsung maupun tidak langsung menyebut bahwa informasi tentang China yang disampaikan oleh Trinity sebagai gambaran yang keliru. Dia bilang begini: “Percaya deh, China tidak separah yang digembar-gemborkan orang. Tidak sejorok dan tidak sekampungan seperti yang digambarkan seorang pengarang buku travelling yang ternama (kalau saya sebutkan namanya, pasti dia langsung ngamuk berat…) (hlm. 35).”

I’ll tell you something
tentang latar belakang kenapa si Miss J bicara tentang Miss T seperti itu. First of all, si Miss Jinjing adalah mantan kakak ipar Trinity (Trinity adik mantan suami Miss J). Dan buku “Belanja Sampai Mati di China” ini di-launch tidak lama setelah proses perceraian Miss Jinjing dengan suaminya yang menyakitkan dan ramai dibahas di beberapa media maupun dunia maya (heboh bo!). Jadi, bisa dimengerti kan kalau di bukunya yang ini si Miss J agak-agak psywar dengan Miss T?

Secondly
, salah satu bisnis Miss Jinjing adalah bikin paket shopping trip ke China, seperti ke Beijing, Guangzhou, Shanghai dan Hongkong. Kalau dia sampai membenarkan pendapat Trinity, bisa habis dong die orang punye bisnis. So it’s very understandable kalau di bukunya si Miss Jinjing bilang: “Jika Anda berpikir China itu identik dengan orang yang meludah sembarangan, WC jorok nan bau pesing menyengat, makanan daging tikus, daging ular, copet, penipu jalanan, rasanya bisa jadi Anda berkunjung ke tempat yang salah di China” (hlm. sinopsis—sampul belakang).

Lagian, ya iyalah! Wong yang satu backpacker yang selalu tinggal di hostel/motel mursidah dan berusaha cari makanan dan transportasi ala paket hemat, yang satu lagi pembelanja yang tinggalnya di hotel-hotel berbintang dan kerjaannya keluar masuk toko barang-barang branded, makan di restoran keren, atau kegiatan apapaun untuk memberikan sentuhan mewah di bisnis shopping trip-nya. Meskipun si Miss Jinjing tidak selalu konsisten dengan pandangannya karena toh pada akhirnya dia membahas juga beberapa bab tentang copet di China, daging kucing dan daging ular, dan jebakan uang palsu sampai barang palsu (jadi jelas kesimpulannya, dendam pribadi Miss J ke Miss T lebih bermain daripada obyektivitasnya hehehe…).

Lepas dari perdebatan dua misses beda kutub di atas, saya masih punya satu sumber lagi yang memberikan sudut pandang lain tentang China, yaitu Paul Midler dalam bukunya Poorly Made In China (terjemahan Indonesia: “Abal-abal Produk China”). Midler itu warga negara Amerika Serikat, seorang ahli sejarah dan bahasa China, tinggal bertahun-tahun di Guangzhou sebagai konsultan bisnis buat perusahaan-perusahaan AS yang memproduksi barang-barangnya di sana. Lalu apa pandangan Midler tentang China?

Sekilas, Midler tampaknya menikmati kehidupannya di China. Dia menguasai bahasanya, dia memahami budayanya. Dua hal yang diperlukan seorang pendatang untuk bisa survive di sebuah negara asing. Meski secara tak langsung, dia menganggap China sebagai rumah keduanya bahkan juga punya pacar orang China. Namun toh dia tetap tidak dapat menyembunyikan rasa frustasi-nya ketika dia harus menjalankan pekerjaannya: memastikan kejujuran para pemilik pabrik China tentang kualitas produk yang harus dijaga sesuai dengan perjanjian bisnis dan mengesampingkan pendewa-dewaan mereka terhadap keuntungan yang diperoleh dari upaya penghematan sekecil apapun.

Pada akhirnya, Midler menyimpulkan bahwa dari sisi sebuah hubungan bisnis, China adalah “sebuah negara yang tingkat kepercayaannya dipertanyakan”. Hal ini tidak saja dikarenakan kecenderungan mereka untuk mengambil keuntungan lebih secara diam-diam dengan terus menurunkan kualitas barang yang dipesan kepadanya dalam sebuah hubungan bisnis jangka panjang, tapi juga karena ke’tidak-tabu’annya untuk memalsu barang pesanan tersebut guna dijual lagi kepada pihak lain (jadi mereka tidak hanya memalsu barang-barang branded). Ada masalah mentalitas dan keyakinan yang sudah tidak dapat diperdebatkan lagi di sini.

Lalu bagaimana China sebagai tujuan wisata atau tempat singgah bagi sebuah kunjungan? Pendapat Midler adalah sebagai berikut, “(Orang-orang Barat) tidak keberatan jika terkadang harus pergi ke China Daratan, tetapi memastikan kunjungan mereka berlangsung singkat. Di tengah-tengah ledakan ekonomi, semua orang tidak menganggap hal tersebut aneh atau lucu. China jelas akan menjadi tujuan utama—tetapi Anda tidak benar-benar ingin berada di sana” (hlm. 348).

So, pendapat mana yang akan kita pegang mengenai China? Saya kira tergantung sudut pandangnya. Dan bagi mereka yang sedang mempertimbangkan untuk berkunjung ke China, hal ini tergantung mereka datang ke sana sebagai apa. Sebagai turis backpacker-kah seperti Trinity, sebagai pembelanja (sok) elit seperti Miss Jinjing, atau sebagai pebisnis seperti Midler dan teman-temannya. Dan, mungkin benar seperti kata Miss Jinjing, tergantung pada sisi mana kita bersentuhan dengan negara yang super duper luas tersebut.

Kebetulan saya dan suami sama-sama pernah berkunjung ke China dalam kesempatan dan tempat yang berbeda. Suami saya pergi untuk kunjungan kerja ke Beijing dan sempat berwisata ke Great Wall. Kalau dari ceritanya, saya menangkap kesan kalau dia lebih setuju dengan China dalam versi Trinity. Meski tinggal di hotel berbintang dan makan di restoran yang bagus, kesan jorok tetap tidak terhapus dari pengamatan suami saya. Suami saya juga mengalami rasanya diuber-uber dan dipaksa membeli produk yang sebenarnya tidak dibutuhkan dalam sebuah kegiatan yang dimaksudkan sebagai shopping trip dalam perjalanan ke Great Wall.

Sementara saya pernah pergi ke Hangzhou untuk kunjungan kerja dan juga berwisata ke West Lake. Tinggal di sebuah hotel berbintang, makan di restoran-restoran favorit dan berjalan-jalan di West Lake yang indah relatif tanpa gangguan, saya lebih setuju dengan Miss Jinjing bahwa China pada sisi yang ini cukup menyenangkan. Meskipun saya juga mengalami apa yang dialami oleh Trinity, yakni kendala dalam berkomunikasi, sehingga saya harus belanja oleh-oleh dengan bahasa tarzan dan kemana-mana mengantongi kartu nama hotel yang ditulis dengan huruf China supaya kalau kesasar saya tinggal menunjukkan kartu nama tersebut ke polisi atau supir taksi.

Kalau teman saya yang punya pengalaman ke Shanghai, meski mengakui kalau Shanghai itu amazing, tapi toh dia tidak luput dari rasa bete akibat kejadian yang tidak menyenangkan. Yaitu waktu membayar barang yang dibelinya dengan pecahan uang 100 yuan, dia menerima kembalian yang baru belakangan dia ketahui ternyata uang palsu!

Hmmmh…ada pendapat atau pengalaman lain mungkin?

DN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar