Rabu, 24 November 2010

Kisah-kisah para Penggila Buku

Baru-baru ini saya membaca dua buah buku yang menggambarkan tentang ‘kegilaan’ para pecinta buku (yang membuat kecenderungan bacamania saya menjadi bukan apa-apa). Yang pertama berjudul “The Man who Loved Books Too Much” karya Allison Hoover Bartlett tentang kisah nyata seorang pencuri karena obsesinya pada buku. Yang kedua adalah ‘Libri di Luca” karya Mikkel Birkegaard, sebuah kisah fiksi tentang perkumpulan rahasia para pecinta buku dan ‘kesaktian’ yang bisa diperoleh dari kegiatan membaca. Dari keduanya saya lebih menikmati buku kedua (Libri di Luca), tapi dari keduanya saya belajar betapa buku bisa menjadi center of universe dalam kehidupan sekelompok orang. Bukan semata karena alasan pekerjaan (seperti dosen misalnya) atau kewajiban (seperti pelajar), tapi benar-benar murni karena passion dan, to some extent, pandangan hidup (!).

Dalam The Man who Loved Books too Much, Allison Hoover Bartlett yang berlatar belakang seorang jurnalis, merangkum risetnya mengenai perjalanan hidup seorang pencuri buku-buku langka legendaris di Amerika Serikat sana: John Gilkey, dikombinasikan dengan perjalanan hidup seorang bibliodick atau kolektor sekaligus agen penjual buku langka yang merangkap sebagai detektif pelacak Gilkey: Ken Sanders. Bartlett menuturkan ceritanya dengan gaya yang lebih mirip laporan jurnalistik daripada kisah, sehingga buku ini akan sangat membosankan kalau saja tidak diselingi dengan kejutan pengungkapan fakta-fakta unik di sana-sini.

Bayangkan, ternyata ada manusia di bumi ini yang rela mengeluarkan ribuan hingga ratusan ribu US dollar atau setara jutaan hingga miliaran rupiah hanya untuk sebuah buku (yang langka)! Itu hanya untuk satu buku. Dengan status sebagai seorang kolektor buku langka, bisa dibayangkan berapa pengeluaran yang telah mereka lakukan untuk membuat sebuah koleksi yang mengesankan. Bagi mereka yang berasal dari golongan kaya-raya mungkin tidak punya persoalan dalam membiayai hobi unik (dan mahal) tersebut. Tapi ada pula yang berasal dari golongan menengah, sehingga mereka harus bekerja ekstra untuk mendapatkan buku-buku langka yang belum terlalu populer sebagai collection items. Lalu bagaimana dengan mereka yang berasal dari kelompok menengah ke bawah tetapi memiliki obsesi yang sama terhadap buku-buku langka? Ya jadinya seperti si John Gilkey ini: rela dipenjara demi memenuhi obsesinya dengan cara menipu atau mencuri! Unbelievable.

Pertanyaannya adalah: apa sih yang dicari dari sebuah buku langka? Kalau lukisan atau barang antik seharga miliaran rupiah karuan, bisa dipajang di rumah atau di ruang kerja buat dikagumi para tamu dan kolega. Tapi buku? Apakah dia juga akan dipajang dalam kotak kaca mewah di sudut terbaik rumah atau ruang kerja? Bukankah nilai sebuah buku itu dilihat dari isinya, bukan fisiknya? Apakah buku-buku langka tersebut menjadi mahal karena kehebatan isinya yang tidak ketahui oleh banyak orang, seperti kitab ilmu silat yang diperebutkan dalam film-film kungfu China? Ternyata tidak juga. Kata kuncinya umumnya adalah: edisi pertama. Jadi buku anak-anak pun seperti edisi pertama Pinocchio yang masih dalam bahasa aslinya (Italia), edisi pertama The Tale of Peter Rabbit, hingga edisi pertama Harry Potter and the Philosopher’s Stone, bisa dijual dengan harga puluhan ribu dollar!

Jadi apa dong definisi buku langka yang membuatnya layak diberi bandrol harga gila-gilaan? Bartlett mengungkapkan dari hasil risetnya bahwa definisi ‘buku langka’ ternyata bisa sangat subyektif sifatnya. Ada yang dengan main-main mengatakan kalau “buku langka adalah buku yang harganya jauh lebih mahal sekarang daripada ketika diterbitkan” atau “buku yang sangat kuinginkan tapi tak bisa kutemukan.” Tapi untuk seriusnya, predikat ‘langka’ diberikan karena kombinasi kejarangan, kepentingan, dan kondisi, ditambah dengan selera dan trend (hlm. 11-12). Hmmh…

Kembali ke pertanyaannya awal: apa sih yang dicari dari sebuah buku langka? Kepuasan apa yang bisa didapat dari kerelaan mengeluarkan uang sedemikian besar, atau dalam kasus Gilkey kerelaan untuk menjalani hukuman penjara, demi mendapatkannya? Dan jawaban yang diperoleh oleh Bartlett dari wawancaranya dengan Gilkey adalah: “Aku menyukai perasaan bisa memegang buku seharga lima atau sepuluh ribu dollar. Dan aku menyukai kekaguman yang kudapatkan dari orang lain.” What a reason.

Dari hasil wawancaranya dengan para kolektor lain, termasuk Sanders, Bartlett pada akhirnya menyimpulkan bahwa sama halnya seperti para kolektor benda lain pada umumnya—kolektor mobil antikkah, kolektor prangko, lukisan, tanaman, keris, atau benda apapun—mereka membangun identitas dari koleksi mereka. Artinya, mereka mengharapkan citra tertentu dilekatkan oleh orang lain kepada mereka berdasarkan koleksi yang dimiliknya. Dan mengoleksi buku langka dipilih karena dianggap memperlihatkan selera, pengetahuan dan kekayaan.

Okelah kalau begitu…

Nah, sekarang tentang Libri di Luca. Sekali lagi ini cerita fiksi fantasi tentang perkumpulan rahasia pencinta buku di negara Denmark. Mereka secara rutin berkumpul di toko buku bekas (yang juga memiliki koleksi buku langka) bernama Libri di Luca, milik seorang pencinta buku sejati: Luca Campelli. Tapi jangan mengira bahwa kegiatan mereka semata berkumpul dan berdiskusi mengenai sebuah buku. Melalui membaca mereka juga mengasah kemampuan untuk menyihir, atau tepatnya menghipnotis, orang lain melalui bacaan mereka (!). Ini boleh dibilang semodel dengan Harry Potter. Hanya saja jika Harry Potter menyihir dengan tongkatnya, para pembaca atau orang yang disebut ‘pemancar’ atau lector ini ‘menyihir’ dengan cara mempengaruhi pikiran orang lain melalui sebuah buku atau bacaan apapun yang dibacakan keras-keras.

Lalu ada kelompok saingannya yang keahliannya bukan dengan membaca, namun justru dengan mempengaruhi pikiran orang yang sedang membaca. Sebutannya ‘penerima’. Jadi kalau untuk melawan kekuatan seorang ‘pemancar’ kita disarankan untuk menutup telinga, maka untuk melawan kekuatan seorang ‘penerima’ kita disarankan untuk tidak membaca didekatnya. Unusual, isn’t it?

Tokoh utamanya adalah Jon, anak tunggal Luca Campelli. Karena dibesarkan bukan oleh orang tuanya, Jon, yang awalnya berprofesi sebagai pengacara, tidak pernah tahu keberadaan kelompok para pecinta buku tersebut, bahkan tidak pernah tahu jika dia sendiri ternyata seorang lector yang hebat (tapi belum ‘diaktifkan’—seperti kartu ATM saja: diaktifkan dulu baru bisa dipakai). Baru setelah ayahnya, Luca, meninggal secara tak wajar dan mewariskan Libri di Luca, Jon mulai terlibat dengan kelompok yang misterius ini. Dalam upayanya menemukan pembunuh orang tuanya dan mengejar keberadaan kelompok lector sesat di bawah ‘Organisasi Bayangan’, Jon dibantu oleh seorang ‘penerima’ cantik, Katherina, dan seorang ahli IT nyentrik keturunan Turki, Muhammad.

Jalan ceritanya cukup oke. Meski menyisakan banyak pertanyaan dan detail yang tak terjawab secara memuaskan, seperti mengapa Organisasi Bayangan merasa perlu membakari toko-toko buku langka di Kopenhagen? Atau, dari mana Katherina membiayai hidupnya mengingat dia hanya seorang anak yatim piatu yang kebetulan senang menghabiskan waktunya di Libri di Luca?

Yang menarik, ada satu persamaan dalam cerita ini dengan cerita buku pertama di atas: munculnya buku Pinocchio edisi pertama yang berbahasa Italia. Tapi kalau dalam The Man who Loved Books too Much buku Pinocchio ini dibahas karena kelangkaan dan harganya yang istimewa, di Libri di Luca, buku ini mengambil peranan sebagai senjata penyelamat Jon diakhir cerita. Sama-sama pemosisian yang istimewa sebenarnya.

Ya sudahlah, saya sudah menulis sedemikian banyak. Baca saja buku-buku di atas kalau memang mengaku sebagai bacamania. Okey?

DN

2 komentar:

  1. waah, kebetulan.. ada beberapa novel edisi pertama nih..
    tapi, untuk Libri di Luca bahasanya kurang asyik utk terjemahannya sehingga belum juga menamatkannya..

    BalasHapus
  2. wah coba aja ditawarin ke kolektor yud, atau dilelang di e-bay, siapa tau ada yg kecele...hehehe. buku2 terjemahan memang suka nggak oke di halaman2 awal. tapi nanti makin ke dalem terjemahannya makin enak kok.

    BalasHapus