Kamis, 16 Desember 2010

Buku Baru: Mengapa Sri Mulyani? (Steve Susanto)

Sebenarnya sulit bagi saya membahas buku ini. Subyektivitas saya sudah bermain duluan. Karena kebetulan saya mengenal secara pribadi Ibu Sri Mulyani dan saya nggak pernah suka sama kebanyakan politisi DPR. Kalau banyak orang bilang bahwa fenomena tingkah laku para anggota DPR sekarang mirip dagelan Petruk Jadi Raja, rasanya saya setuju sekali. Euforia orang yang baru kenal dengan kekuasaan kelihatan sekali dalam sepak terjang mereka menjalankan praktek kenegaraan. Memanggil siapa saja yang mereka ingin panggil, memaki siapa saja yang ingin mereka maki, menyalahkan siapa saja yang ingin mereka salahkan, pergi kemana saja mereka ingin pergi (ke luar negeri tentunya), bahkan menerima apa saja yang ingin mereka terima (duit maksudnya). Intinya: mereka melakukan apa saja yang ingin mereka lakukan tanpa perduli apakah ini ada landasan hukumnya atau tidak, atau apakah ini bisa diterima nalar orang sehat atau tidak. Modalnya cuma kata-kata: ini kehendak rakyat! (rakyat yang mana boss?).

Pernah berdebat sama anak kecil yang keras kepala? Bagi yang pernah, pasti setuju bahwa berdebat dengan anak kecil apalagi yang keras kepala itu super menjengkelkan. Pengetahuan dan nalar mereka terbatas, tapi mereka ngotot ingin dibenarkan atas kekeliruan yang mereka perbuat dan mendebat argumen logis yang kita kemukakan. Misalnya, saat kita memberitahu seorang anak kecil untuk tidak merebut mainan temannya karena hal itu tidak sopan. Lalu si anak mendebat, “Tapi aku mau mainan itu!” Dan kita jelaskan bahwa boleh saja dia meminjam, tapi caranya harus baik-baik, karena merebut itu tidak sopan dan menyakiti hati si pemilik mainan. Tapi dia tetap mendebat, “Tapi aku kan mau mainan itu!” Capek bukan?

Dan hal itu sama seperti DPR kita. Buta dan tuli terhadap kebenaran kalau hal itu bertentangan dengan kepentingan politik mereka. Tapi bagian yang paling mengesalkan adalah, kalau kejadiannya dengan anak-anak, itu wajar karena keterbatasan nalar itu tadi. Lha, kalau anggota DPR kan bukan anak-anak (kelakuannya aja yang mirip anak TK kalau kata almarhum Gus Dur—setuju Gus!).

Tapi dalam konteks ini, para anggota DPR pun terbagi dalam dua kelompok. Yaitu mereka yang benar-benar buta dan tuli karena sebenarnya mereka memang tidak benar-benar tahu apa yang sedang mereka lakukan (alias cuma sok tahu aja); dan mereka yang pura-pura buta dan tuli, yaitu mereka yang sebenarnya tahu mana yang benar tapi sengaja menutup mata dan telinga karena kepentingan politik mereka bertentangan dengan kebenaran tersebut. Dan Ibu Sri Mulyani Indrawati (SMI) adalah korban dari keduanya dalam kasus Bank Century.

Hal inilah yang coba dikupas dalam buku “Mengapa Sri Mulyani? Menyibak Tabir Bank Century”. Inti pembahasannya adalah: kasus Bank Century yang melibatkan dana 6.7 T semula diniatkan untuk mendiskreditkan Partai Demokrat dan SBY-Boediono yang secara ‘tidak sopan’ berani mengalahkan partai-partai senior dan para kandidat presiden dan wapres mereka. Tapi karena tidak dapat dibuktikan, kasus ini dibelokkan untuk menjatuhkan SMI, pahlawan reformasi yang juga dianggap ‘tidak sopan’ karena berani ngutak-atik urusan bisnis para politisi senior. Buku ini membeberkan fakta dan argumen mengenai hal-hal yang secara kuat mengindikasikan bahwa kemunculan kasus yang jadi isu besar nasional ini adalah by design, dengan aktornya para politisi pecundang dalam Pemilu 2009, pengamat atau akademisi haus popularitas, dan media yang sudah tidak bebas kepentingan.

Dan kelakukan para politisi DPR di drama Pansus Century itu mirip anak kecil perebut mainan yang saya bahas di atas. Mereka sejak awal sudah teguh memegang prinsip: pokoknya SMI harus salah! Jadi diberi argumen sekuat apapun oleh para pembuat keputusan bailout Bank Century dan para pengamat atau akademisi yang pro-bailout, mereka seolah tutup mata dan tutup telinga saja, karena “pokoknya SMI harus salah!”

Yang paling bikin gemas dalam drama Pansus Century itu, dan ini dicatat dalam buku tersebut, adalah acting para anggota Pansus yang sok tahu, sok pintar, sok galak dalam sesi tanya jawab yang lebih mirip interogasi dengan para narasumber yang notabene adalah para ahli di bidangnya. Coba, apa yang lebih (tidak) lucu dari seorang politisi bau kencur lulusan fakultas ekonomi universitas tidak terkenal di Jakarta yang dengan pedenya mencoba berdebat ilmiah dengan para doktor ekonomi universitas terkemuka dunia yang sudah menulis di puluhan media dan jurnal serta malang melintang di berbagai forum internasional, mengenai krisis keuangan global. Seperti menonton adu tembak antara anak kecil yang pakai pistol air dengan seorang penembak jitu yang pakai pistol beneran, tapi si anak kecil merasa bahwa mereka sama kuat bahkan ngotot mengklaim bahwa dialah pemenang adu tembak tersebut. Konyol abis.

Tuh kan saya jadi emosi kalau berbicara tentang politisi DPR…

Anyway, back to the book
, terlepas dari kegirangan saya pada buku Steve Susanto yang bikin saya ingin melambaikannya di muka para anggota Pansus kontra-bailout Century sambil ngomong: “Nih, rasain!”, tetap saja saya merasa harus menyampaikan penilaian obyektif saya. Menurut saya, kalau buku ini dimaksudkan sebagai pembelaan terhadap SMI (mengingat penerbitan buku ini merupakan proyek kelompok facebookers Kami Percaya Integritas SMI/KPI-SMI dimana Pak Steve Susanto merupakan salah satu anggotanya), maka pembelaan yang dilakukan maupun serangan terhadap para manipulator kebenaran, kurang komprehensif. Pak Steve lebih banyak berkuat pada penyampaian fakta (atau argumen) mengenai integritas SMI, latar belakang keluarga, pendidikan dan karirnya yang cemerlang, serta sepak terjangnya sebagai pahlawan reformasi Indonesia, yang bagi orang yang pada dasarnya memang sudah mengagumi SMI seperti saya, mudah saja menerimanya. Tapi buat orang-orang di seberang garis, mungkin hanya melihatnya sebagai argumen seorang pengagum yang sarat subyektivitas. Sementara sajian mengenai analisis jalannya proses ‘penyidangan’ SMI cs oleh Pansus pun lebih banyak merupakan perspektif Pak Steve dan para facebookers KPI-SMI, yang pada akhirnya juga debatable.

Akan lebih baik apabila Pak Steve juga menyajikan wawancara dengan tokoh-tokoh yang dianggap netral dalam kasus Century meski tetap ‘diarahkan’ untuk suatu pembelaan, seperti Prof. Hal Hill (ahli ekonomi Indonesia dari Australia) misalnya, atau orang-orang yang mengetahui persis isu bailout tetapi tidak punya kesempatan untuk berbicara di Pansus, seperti Perbanas, atau para analis politik yang bisa melihat bahwa ‘teori pengalihan target dari SBY ke SMI’ itu masuk akal. Saya kira testimoni para tokoh atau kalangan yang berkompeten itu akan memberikan bobot lebih terhadap upaya pembelaan terhadap SMI.

Tapi sekali lagi, saya pribadi senang sekali atas terbitnya buku ini, sama senangnya seperti saat saya menemukan situs srimulyani.net. Kalau ini adalah langkah awal yang dimaksudkan untuk mempersiapkan SMI ke kursi RI 1 di tahun 2014, maka sebagai orang yang pernah berkesempatan menyaksikan dari jarak yang sangat dekat unjuk intelektualitas SMI sebagai seseorang berlatar belakang akademisi serta integritasnya sebagai seorang menteri sekaligus pejuang reformasi, saya dengan suka rela meleburkan diri ke dalam kelompok yang mendukung sepenuhnya SMI for President!

May Allah always bless you, Ibu
.

DN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar