Jumat, 10 Desember 2010

E-books vs Printed Books

Ada yang sudah familiar dengan e-book? Gimana, asik nggak? Benar ya, e-book lebih menyenangkan dari buku cetak biasa? Lebih praktis, jelas. Lebih gaya, bisa jadi. Lebih murah, hmmh…masih debatable kayaknya. Saya tahu karena temen kantor saya kemarin pagi sharing ke saya artikel di internet yang mempertanyakan anggapan bahwa e-book lebih murah daripada buku konvensional. Artikel ini bilang, e-book lebih murah cuma kalau dibandingkan dengan buku-buku yang baru di-release atau sastra klasik yang sudah mulai langka. Tapi kalau buku biasa yang sudah cetakan-cetakan berikut, seringkali buku cetak versi paperback malah lebih murah.

Gara-gara artikel itu, saya jadi penasaran, gimana sih prospek e-book nantinya. Bener nggak dia bisa menggeser bahkan mematikan pasaran buku cetak?

Sebuah laporan dari eBook Newser mengungkap bahwa sampai saat ini sebanyak 35 juta e-book telah diunduh melalui iTunes. Sementara survey Marketing & Research Resources bilang, 40 persen dari 1.200 pemilik e-reader bilang, mereka sekarang menghabiskan waktu lebih banyak untuk membaca dibandingkan sewaktu belum punya e-reader. Lalu Amazon.com yang juga jualan e-books lengkap dengan e-reader-nya, Amazon Kindle, melaporkan bahwa para pemilik alat pembaca buku elektronik (e-reader) membeli 3.3 kali buku lebih banyak dari sebelumnya. Weits, dahsyat juga ya antusiasme masyarakat terhadap e-books?

Jadi deh, saya browsing. Trying to find out how popular e-books are compared to physical books. As a result, I can show you some pros and cons on e-books below.

Pros:
- Buku kalau sudah kelamaan alias tua, baunya jadi nggak enak (apek maksudnya)
- E-books lebih murah (apalagi yang bisa di-download gratis), karena biaya produksinya lebih rendah, nggak pake ongkos cetak.
- Lebih praktis. Cukup bawa satu e-reader atau media baca e-book lainnya (laptop/notebook, iPad) udah bisa muat beratus-ratus bacaan.
- Nggak pake lecek, meskipun dibaca berkali-kali
- Lebih gaya, kalau bawa-bawa e-reader serasa jadi orang paling up2date sedunia
- Di rumah juga nyimpennya nggak makan tempat, nggak kayak nyimpen buku
- Lebih ramah lingkungan, nggak perlu nebang-nebang pohon buat bikin kertas
- Kadang nyari buku-buku klasik itu susah, secara udah nggak dicetak lagi. Tapi di e-book banyak tersedia

Cons:
- Buku tua baunya enak lagi! Sedep!
- Kalau mau cari yang gratis, buku cetak juga banyak yang gratis: di perpustakaan. Malah nggak usah pake modal e-reader.
- Lebih praktis? Emang bisa, baca dari laptop sambil tiduran? Buku dong, bisa dibaca dalam berbagai posisi. Okelah pake e-reader, tapi kelamaan melototin layar monitor, mata bisa jereng.
- Nggak pake lecek, tapi pake sakit mata.
- Gaya sih gaya, copet tuh pikirin! Nggak ada copet suka buku.
- Nyimpennya memang nggak makan tempat, tetapi begitu perangkat bacanya hilang atau dicuri, simpenan bacaan juga ikutan hilang
- Ramah lingkungan? (speechless—nggak punya jawaban)
- Buku klasik kalau dapet bukunya bisa jadi semacam investasi. Makin dicari, harga makin mahal

Nah lu. Ikutan yang mana tuh? Saya sendiri belum terlalu familiar sama e-books. Saya pernah download komik Tintin sama Asterix gratisan dari internet (lumayan, bisa buat kamuflase di kantor, baca komik tapi teuteup melototin komputer hihi…). Pernah juga download cerita bersambung dari website majalah Femina. Tapi selain itu, saya belum ada niatan buat beli e-reader ataupun mulai mengoleksi e-books. Saya masih senang menikmati kenyamanan membuka lembaran-lembaran buku, menghirup aroma kertasnya, meskipun sekarang feeling guilty juga kalau ingat konon untuk menerbitkan Harry Potter the Order of Phoenix (seri yang ke-5) di Kanada sana dikabarkan mereka tadinya perlu menebang 39.320 pohon (!), tapi akhirnya diputuskan pake kertas daur ulang (fiuuuh…).

Ada yang bilang, penolakan terhadap e-books dengan tetap membeli buku cetak konvensional itu cuma masalah sentimentalitas. Karena sudah jadi bagian dari hidup sehari-hari selama bertahun-tahun, orang nggak siap dan nggak tega buat meninggalkannya. Menurut mereka (para fans e-books) pada akhirnya, e-books-lah yang lebih bisa menjawab kebutuhan jaman yang semakin menuntut praktikalitas.

Dari sisi penulis bukunya sendiri juga mereka sudah mulai melirik potensi sebagai penulis e-book. Katanya keuntungannya lebih banyak. Royalti lebih tinggi (entah gimana ngitungnya), pajaknya nol (belum ada pajak buat e-book), distribusi pemasaran murah (nggak pake ongkos kirim paket), isi juga lebih gampang di-update (nggak perlu nunggu edisi pertama abis, buat nyetak edisi kedua dan seterusnya).

Hal ini tentu saja membuat industri percetakan jadi ketar-ketir. Nggak cuma para pengusahanya, tapi juga para karyawannya yang bakal terancam kena perampingan pegawai (maksudnya cuma yang ramping aja yang boleh terus kerja, hihihi), begitu konsumen mulai beralih ke e-books yang notabene nggak perlu proses pencetakkan, penjilidan, ataupun pengiriman fisik. Apalagi pemerintah juga sudah melontarkan wacana untuk membeli hak cipta penerbit buku pelajaran sekolah tertentu untuk dijadikan e-book gratis (weits, enak juga nih orang tua murid kayak saya, berkurang anggaran beli buku sekolah!).

Hmmh…kayaknya saya juga harus mulai berpikir untuk punya e-reader nih. Tapi…gimana dengan rutinitas belanja ke toko buku saya sama keluarga? Kalau cuma untuk dapetin e-books, bukannya saya cukup duduk manis depan komputer yang terkoneksi jaringan internet di rumah? Padahal saya sangat menikmati aktivitas belanja buku. Anak-anak saya juga semangat sekali kalau diajak ke toko buku. Mencari-cari buku di rak, membuka-buka buku sebelum dipilih, melihat-lihat gambarnya dengan warna-warna yang semarak.

Sebenarnya, kenapa sih e-book harus dipertentangkan dengan buku cetak konvensional? Seolah, pilihan terhadap yang satu akan mematikan eksistensi yang lain. Toh keberadaan surat kabar online juga terbukti tidak mematikan industri surat kabar cetak. Atau, keberadaan Google juga tidak menyurutkan penerbitan RPUL. Atau lagi, keberadaan toko-toko online juga tidak membangkrutkan toko-toko yang menempati bangunan fisik. Ini hanya masalah tambahan pilihan. Kalau dulu orang cuma punya pilihan beli buku kalau mau baca sebuah novel bagus terbitan terbaru, sekarang mereka punya pilihan untuk membeli versi elektroniknya. Setiap orang bisa punya preferensi masing-masing. Ada kalanya kita perlu versi elektronik-nya, tapi ada kala lain kita pengen versi cetaknya.

Dari sisi pembaca yang berprinsip bahwa bacaan itu dikoleksi dari apa yang sudah dibaca, bukan apa yang dimiliki, mungkin bukan isu penting bagi mereka apakah mereka membacanya dari buku cetak atau dari e-book. Tapi dari sisi kolektor seperti yang saya bahas di postingan tentang “Kisah Para Penggila Buku”, pasti dong tetap setia untuk memilih buku cetak konvesional. Masa mau ngisi perpustakaan pribadi atau ruang display barang koleksi dengan buku-buku elektronik. Nggak mungkin kan?

So, e-books or printed books? The choice is yours…


DN

4 komentar:

  1. walau bagaimanapun, buku cetak konvensional memiliki cita rasa yg lebih tinggi.
    Dan merupakan suatu kebanggaan memilikinya!

    BalasHapus
  2. Setuju Mr Misterious J! Tapi memang seringkali untuk cita rasa yang lebih tinggi butuh pengorbanan finansial yang lebih tinggi juga hehe...

    BalasHapus
  3. ebook vs buku kertas? Esensinya adalah: MEMBACA-nya.
    Tapi sebagai salah satu pemain yang berkecimpung di percetakan, saya tetep milih buku kertas. Saya pernah lemes-mes-mes waktu seorang calon pembeli batal mengorder buku ke saya gara-gara salah satu stafnya memberi masukan: "Pak, agar menghemat budget dan waktu, lebih baik dokumen-dokumen itu di-PDF-kan, burn di CD, dan dibagikan kepada peserta..." Ilang deh.
    Ini komen apa curcol, jiakakakaka....

    BalasHapus
  4. Thanks atas sharing-nya Pak Muflih! Biar curcol tapi layak untuk dipikirkan lebih mendalam oleh para bacamania.

    BalasHapus