Rabu, 10 November 2010

Who I Inherited the Habit From

Almarhum ayah saya adalah orang yang paling bertanggung jawab atas obsesi saya terhadap bacaan. Bayangkan, dari umur 4 tahun saya sudah diperbolehkan berlangganan majalah Bobo. Padahal waktu itu saya TK saja belum, boro-boro bisa baca. Jadinya saya selalu merengek-rengek sambil menarik-narik rok ibu saya minta dibacakan cerita-cerita dalam majalah anak-anak legendaris yang terbit mingguan itu. Ibu saya sih senang-senang saja selama dia tidak sedang repot. Apalagi pas jam makan. Soalnya ini cara paling ampuh yang bisa bikin anak bungsunya mau duduk manis dan membuka mulut lebar-lebar untuk setiap suapan yang disodorkan.

Tidak hanya untuk saya, ayah saya juga rajin membelikan bacaan untuk kakak-kakak saya. Mulai dari buku-buku karya pengarang lokal (terutama buku-buku wayang karya R.A Kosasih), buku-buku karya pengarang asing seperti Enyd Blyton, Alfred Hitchcock, Laura Inggals Wilder, Karl May, cerita bergambar atau cergam sebangsa Tintin, Nina, Trigan, Arad & Maya dan macam-macam super-hero (Batman dan teman-temannya). Majalah juga nggak cuma Bobo. Ada Ananda, si Kuncung, Hai, Gadis. Hampir semua berlangganan, atau minimal beli tapi agak rutin. Belum lagi buku-buku ilmu pengetahuan sampai ensiklopedia yang setebal-tebal bantal. “Biar anak-anak betah di rumah, daripada keluyuran nggak jelas,” dalihnya kalo ibu saya ngomel karena jatah duit belanjanya jadi berkurang.


Malah, dengan ambisiusnya, ayah saya juga membelikan anak-anaknya buku-buku cerita klasik berbahasa Inggris, kayak Robin Hood, Robinson Crusoe, Hercules, Tom Sawyer, Huckleberry Finn, David Copperfield. Padahal kami waktu itu belum jago berbahasa Inggris. Memang, kalau sedang senggang ayah saya rajin membacakan cerita-cerita itu, terutama buat saya (dengan terjemahan bebas tentutanya). The thing is, ayah saya jarang senggang, jadi yang ada saya frustasi, kepengen baca cerita-cerita yang tampak menarik itu tapi harus bolak-balik buka kamus.


Yang khas lagi dari beliau adalah kalau memberi saya atau kakak-kakak saya uang saku ekstra, ayah saya selalu bilang: “Ini, buat beli buku,” bukan: “Ini, buat jajan.” Dan kalau sampai ketahuan kami pakai uang itu untuk jajan atau belanja barang non-buku (and that's what we mostly did), kami langsung dapat ceramah umum gratis tentang nilai penting buku dibanding barang apapun yang ada di dunia...


That’s, my friends, because my father himself was so obsessed with books
. Menurut cerita beliau, waktu masih sekolah dulu, nenek saya yang sejak ayah saya kelas 2 SD sudah jadi single parent, nggak mampu membelikan anak-anaknya buku. Jadi kalau butuh atau kepengen buku, ayah saya dan kakak-kakaknya harus cari uang sendiri. Jadi loper koranlah, jadi penjaga toko-lah (dan yah nggak usah heranlah kalau tokonya selalu toko buku!).


Itulah mengapa ayah saya seperti ‘balas dendam’ kalau membelikan anak-anaknya buku atau bacaan apapun. Dan nggak cuma buat anak-anaknya, buat dirinya sendiri pun ayah saya sangat royal untuk urusan belanja buku, terutama buku-buku hukum (karena ayah saya praktisi hukum plus dosen ilmu hukum). Belum lagi langganan berbagai surat kabar, majalah, dan jurnal. Kalau keluarga kami sedang jalan-jalan di mall, maka ayah saya akan memisahkan diri ke toko buku, dan, curangnya, menjadikan toko buku itu sebagai meeting point kami, "Dua jam lagi, ketemuan di depan Gramedia ya!" Alasannya, hanya toko bukulah satu-satunya tempat di dalam mall yang dia kenal dengan baik. Kalau janjiannya di tempat lain nanti dia tersesat katanya.


Tidak heran kalau dulu ruang kerja ayah saya bisa dibilang hanya dihias oleh satu jenis benda: buku (dalam berbagai variannya). Buku-buku itu ditata dalam lemari-lemari besar, diklasifikasikan berdasarkan jenisnya, dinomori dan sebagian diantaranya disampuli (hasil kerja sekretarisnya, bukan beliau sendiri). Ibu saya selaku pemegang kekuasaan domestik tertinggi pun tidak bisa sembarangan merambah wilayah teritori ayah saya itu. Sudah berapa kali saja ibu saya mencoba meletakkan vas kembang, guci atau hiasan-hiasan cantik di sekeliling ruang kerja ayah saya tapi tanpa hasil. Benda-benda itu cuma bertahan tidak sampai 1x24 jam, karena ayah saya akan selalu menyingkirkan mereka jauh-jauh begitu benda-benda ‘nggak penting’ itu tertangkap oleh radar penglihatannya.


Setelah ayah saya meninggal di tahun 2002, buku-buku beliau dibagi diantara keempat anaknya. Sebagian masih disimpan oleh ibu saya yang kebanyakan buku-buku agama. Tapi yang paling banyak dapat bagian adalah kakak tertua saya. Not because he's the eldest then he deserved the biggest part, tapi karena kakak tertua saya memang satu-satunya anak di keluarga kami yang mengikuti jejak ayah saya mengambil profesi di bidang hukum.


Jadi tahu kan kenapa saya sekarang jadi doyan baca? Sudah genetis dipupuk lagi…


Miss you Dad!


DN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar