Kamis, 05 Agustus 2010

Readings about Fashion

Saya suka bacaan seputar fashion, baik itu majalah, situs mode on-line atau buku. Meskipun saya sendiri bukan seorang fashion freak, tapi bagi saya benda-benda fashion itu asyik untuk dinikmati tanpa harus selalu dimiliki. Sama halnya seperti kita suka melihat lukisan di galeri atau melihat wajah-wajah indah di industri hiburan, but it does not always mean we want to own it or be part of it. I love fashion just as an observer.

Majalah fashion yang rutin saya ikuti adalah ‘dewi’, a local lifestyle mag. Sesekali saya beli Harper's Bazaar atau Vogue. Saya suka melihat-lihat baju-baju high end brands, It bags, statement shoes, atau apapun sebutannya untuk fashion items yang paling top. Prada, Gucci, Channel, Dior, Hermes, Chloe, Louis Vuitton, YSL, Bottega Veneta, Balenciaga, Armani, Versace, Ferragamo, Celine, Manolo Blahnik, Jimmy Choo, Christian Loubouttin,…you name it. Harus diakui, barang-barang tersebut memang memiliki kualitas design ataupun material yang membuat mereka worth paying at any price (bagi yang punya duit tapi!). Pernah dengar tas Birkin Croco-nya Hermes yang harganya bisa mencapai ratusan juta rupiah, tapi peminatnya ngantri bertahun-tahun di waiting list-nya Hermes (kalau mau cepet, ambil versi KW-nya aja di Mangga Dua—ada tuh segerobak!)?

Majalah selalu menyediakan informasi mengenai the latest trends yang ditampilkan baik dalam iklan-iklan yang ada, halaman mode, maupun ulasan/artikel dunia mode. Favorit saya di ‘dewi’ adalah rubrik ‘gaya’ yang mengulas barang-barang koleksi para fashionista terpilih, lengkap dengan wawancara mengenai personal style dan fashion item favorit mereka. Sangat menghibur (meskipun saya sendiri kadang masih suka bingung, ngintip isi lemari orang kok ternyata sedep juga ya?).

Untuk yang on-line, yang paling sering saya buka adalah ‘style.com’ yang selalu rutin meng-update bagian ‘look of the day’, ‘in the mood for’ atau ‘trends+shopping’. Dia juga menyediakan gambar dan info update mengenai para fashion icons, celebrities sampai pesta-pesta yang glamour and hip (tapi saya jarang baca bagian yang ini). Kadang saya juga browsing situsnya rumah-rumah mode kayak Hermes atau LV, buat lihat-lihat latest items-nya aja, terutama kalau pikiran lagi suntuk. Kan lumayan cuci mata tanpa harus keluar uang... (kecuali untuk biaya internet bulanan).

Beberapa waktu yang lalu, blog ‘belanja-sampai-mati’nya Amelia Masniari alias Miss Jinjing, sempat fenomenal. Pembahasan fashion items-nya nggak terbatas pada high end brands, tapi juga high street brands, local brands, ataupun brand lain yang sama sekali nggak terkenal tapi dianggap oke. Blog ini sangat bisa dinikmati karena gaya bertutur si Mbak Amy juga enak, santai dan gaul. Mbak Amy juga sempat menerbitkan tiga buah buku yang lumayan laris manis, yaitu: “Miss Jinjing: Belanja Sampai Mati,” “Miss Jinjing: Rumpi Sampai Pagi”, sama “Miss Jinjing: Pantang Mati Gaya.” Sayang, blog ini akhirnya tutup gara-gara si Miss Jinjing ribut sama suaminya yang polisi dan berakhir dengan perceraian. Tragis juga ya? (cape ‘kali tu pak polisi punya istri yang gaya hidupnya nggak berpijak ke bumi…).

Kalau buku, sekarang ini banyak juga novel-novel yang bercerita tentang dunia fashion. Di mulai dari Sex and the City-nya Candace Bushnell yang lanjut jadi serial TV, the Devil Wears Prada-nya Lauren Weisberger yang jadi film bioskop, seri Shopaholics-nya Sophie Kinsela, Bergdorf Blondes-nya Plum Sykes, sampai terakhir yang saya baca Fashion Babylon-nya Imogen Edwards-Jones & Anonymous. Yang saya sebut terakhir itu asyik banget buat dibaca, karena buku itu nggak cuma bercerita tentang barang-barang fashion, tapi juga tentang orang-orang yang berkecimpung di dunia fashion lengkap dengan gosip-gosipnya yang based on true story! Cek deh. Ada gosip tentang Kate Moss, Naomi Campbell, Scarlet Johanson, Gwyneth Paltrow, Karl Lagerfeld, Anna Wintour, dan cerita-cerita ‘di balik layar’ lainnya dari para designer, model, selebritis dan para fashionista dunia!

Untuk buku-buku lokal, Alberthiene Endah sempat mengikuti gaya Weisberger dengan novel “Cewek Matre”-nya yang bertaburan barang-barang branded. Trus ada “Beauty for Sale” dan “Beauty for Killing”-nya Fradhyt Fahrenheit yang maksa banget harus kelihatan glamorous ala Sex and the City. Lalu “I Beg You Prada”-nya Alexandra Dewi dan Cynthia Agustin (ini buku non-fiksi dan sebenarnya lebih tentang life style). Sayangnya, meskipun buku lokal, teuteup aja mereka lebih suka bicara brand asing. Padahal kan kayaknya asyik-asyik aja ya bicara tentang gaun-gaunnya Biyan, Sebastian Gunawan, Oscar Lawalata, koleksi jumputannya Ghea Panggabean atau batik-batiknya Edward Hutabarat. Tapi mungkin kesannya jadi kurang glamor atau kosmopolit…(yailah, penting banget ya?!).

That's why
saya sebenarnya salut sama Miss Jinjing yang dalam buku-buku maupun blognya selalu mendorong para pembacanya untuk lebih mencintai produk dalam negeri, kreasi anak bangsa sendiri. Tapi selain hal tersebut, saya juga belajar banyak dari Miss Jinjing terutama dari pengalaman hidupnya di atas, yakni nggak akan memupuk kebiasaan belanja-sampai-mati yang jadinya belanja-sampai-ditinggal-suami.

Makanya, lebih baik memilih baca-sampai-mati atau baca-sampai-disayang-suami...:)

DN

3 komentar:

  1. benar mbak, suka tidak harus bergaya hidup mahal...

    BalasHapus
  2. benar mbak, menyukai fashion tidak harus berarti kantong jebol...

    BalasHapus
  3. thanks girls, senang ada yg sepaham...

    BalasHapus