Tampilkan postingan dengan label sastra. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sastra. Tampilkan semua postingan

Senin, 05 September 2011

The Alchemist (Paolo Coelho)

Sudah lama saya mendengar bahwa buku ini salah satu ‘must read’ sejak beberapa waktu lalu. Tapi saya belum punya cukup mood untuk membeli dan membacanya. Saya sempat membaca sekilas sinopsisnya yang merangkum bahwa buku ini bertutur tentang Jiwa Dunia, cinta, kesabaran dan kegigihan yang disampaikan oleh sang Alkemis kepada Santiago, seorang anak gembala, dalam sebuah perjalanan melintasi padang pasir. Tapi saat itu rasanya kurang menantang bagi selera saya yang cenderung menggemari fiksi fantasi. Alih-alih, saya malah membeli The Alchemist-nya Michael Scott yang memang merupakan fiksi ala Harry Potter dengan inspirasi utama legenda si manusia abadi, Nicholas Flamel (saya sudah pernah mengulas buku tersebut di blog ini sebelumnya).

Tapi beberapa minggu lalu saya mengambil cuti satu minggu penuh dari kantor. Kelelahan setelah perjalanan liburan yang meriah bersama anak-anak di negeri jiran, saya memutuskan untuk menikmati sisa cuti dengan sebuah buku yang bisa memberikan ketenangan. Saya membelinya di toko buku Gramedia yang terdekat dari rumah saya, dan kebetulan saat itu stock-nya ada, padahal sudah sempat kosong selama beberapa lama.

Kalau harus memilih satu kata untuk mendeskripsikan cerita dalam buku setebal 216 halaman ini, maka pilihan kata yang paling tepat menurut saya adalah: datar. Yep, meski bercerita tentang perjalanan seorang anak gembala yang mencari harta karun berdasarkan petunjuk mimpinya dari kampung halamannya di sebuah desa kecil di Spanyol menuju Piramida Mesir, kehilangan semua uangnya akibat ditipu oleh orang pertama yang dikenalnya di tanah Mesir, melintasi padang pasir yang luas dan kejam, dihadang perang antar suku yang biasa terjadi di antara bangsa Arab, dan menjadi tawanan salah satu diantaranya; jangan berharap itu semua disuguhkan dalam sebuah cerita petualangan yang mengasyikkan. Coelho menyampaikan semuanya dengan ritme yang datar tanpa ketegangan yang mendebarkan. Pun tentang kisah cintanya dengan Fatima, sang gadis gurun.

Tapiiii…cobalah cerna kata demi kata, kalimat demi kalimat, yang dirangkai oleh Coelho dalam menuturkan rangkaian cerita serba datar tersebut. Dahsyat man! Banyak sekali yang ‘bersinar’ dan sangat mencerahkan. Mengingatkan saya pada puisi atau prosa Khalil Gibran.

Santiago walaupun hanya seorang anak gembala, tapi dia gemar membaca, khususnya buku-buku sejarah dan teologia. Di kepalanya banyak terdapat pertanyaan yang ingin dijawabnya. Pertemuannya dengan sang Alkemis akhirnya memungkinkannya untuk memperoleh pencerahan atas berbagai misteri hidup yang berasal dari Jiwa Dunia, bahkan memungkinkannya ‘berdialog’ dengan segenap unsur alam semesta: pasir, angin, matahari, dan lain-lain.

Mengapa seorang alkemis? Alkemis atau ahli alkimia mungkin bukan sesuatu yang familiar di telinga sebagian besar orang Indonesia. Kita tahunya ya ‘kimia’ saja (tanpa ‘al’). Saya sendiri pertama mengetahui adanya alkimia adalah dari buku Harry Potter yang pertama, ‘The Sorcerer’s Stone’ atau ‘The Philosopher’s Stone’ yang sempat menyinggung tentang Nicholas Flamel, dan semakin familiar dengan membaca di The Alchemist-nya Michael Scott, lalu sekarang The Alchemist-nya Paulo Coelho. Intinya, alchemist atau ahli alkimia adalah orang yang berhasil menguasai ilmu yang merupakan gabungan antara kekuatan spiritual dan ilmu alam untuk menyibak tabir rahasia inti kehidupan dunia (Jiwa dunia). Hasilnya adalah kemampuan untuk membuat Batu Filsuf yang bisa digunakan untuk merubah logam menjadi emas dan membuat Ramuan Kehidupan yang bisa membuat panjang umur. Artinya, seorang ahli alkimia merupakan manusia bijak nan sakti karena mampu memahami dengan sangat mendalam makna kehidupan secara sprirtual dan juga berhasil menembus batas-batas kemampuan ordinary people untuk mengendalikan atau mengubah alam dan unsur kehidupan secara material.

Buku ini terbagi dalam beberapa babak dialog yang dialami oleh Santiago yang terangkai seperti proses dilektika, thesis-anthitesis, dan pada akhirnya membawanya pada keputusan apa yang sebeneranya diinginkannya.

Yang pertama adalah dialog dengan sang Raja Salem, orang pertama yang membukakan matanya dan memantapkan tekadnya untuk berlari mengejar mimpinya, atau dalam buku ini istilah yang dipakai ‘takdir’-nya: “Satu-satunya kewajiban manusia sejati adalah mewujudkan takdirnya…Dan saat engkau menginginkan sesuatu, seluruh jagat raya bersatu padu untuk membantumu meraihnya” (halaman 31).

Yang kedua dialog dengan sang Pedagang Kristal, orang yang mengajaknya berpikir pragmatis dan memiliki pandangan let the dream be the dream: “Sebab justru impian…yang membuatku bertahan hidup. Impian itulah yang membantuku menjalani hari-hariku yang selalu sama ini, kristal-kristal bisu di rak-rak itu, serta makan siang dan makan malam di kedai jelek yang itu-itu juga. Aku takut kalau impianku menjadi kenyataan, aku jadi tidak punya alasan lagi untuk hidup…” (halaman 72).

Dialog ketiga adalah dengan seorang ‘alchemist wanna be’ berbangsa Inggris yang merupakan representasi dari seseorang yang tidak mampu mewujudkan takdirnya, meskipun dia telah bertekad untuk itu. Kesalahan terbesar si Inggris adalah karena dia tidak menyelami Jiwa Dunia, melainkan secara kaku hanya menerapkan apa yang tertulis dalam buku-buku yang dibacanya. Dia mengabaikan apa-apa yang diajarkan langsung oleh alam disekitarnya yang sebenarnya justru merupakan sumber esensial dari ilmu alkimia. “Alkimia adalah ilmu yang sulit. Setiap langkahnya harus dijalani persis seperti yang telah dilakukan para ahlinya” (halaman 104).

Dan yang terakhir tentu saja dialog dengan Sang Alkemis. “Sebab dimana hatimu berada, disitulah hartamu berada” adalah pesan Sang Alkemis yang disampaikan berulang-ulang kepada Santiago. Sang Alkemis menuntunnya untuk mencapai tempat yang hendak ditujunya mengikuti suara hatinya, Piramida Mesir. Dan Sang Alkemis membesarkan hatinya manakala semangat dan keberanian Santiago surut menghadapi berbagai aral dan tantangan.

“Bagaimana kalau aku gagal?”

“Berarti kau akan mati di tengah usahamu mencoba mewujudkan takdirmu. Itu jauh lebih baik daripada mati seperti jutaan orang lainnya yang bahkan tidak pernah tahu takdir mereka” (halaman 182).

Bagi saya, cerita ini sebenarnya bisa dimaknai sebagai refleksi kehidupan kita sehari-hari. Saat kita didera keraguan antara tetap tinggal dalam zona kenyamanan kita atau bergerak mewujudkan apa yang menjadi impian kita sebenarnya. Tak jarang kita tidak memiliki cukup keberanian atau kepercayaan diri, hanya mampu menengadah memandang impian yang rasanya terlalu muluk dan jauh dari jangkauan. Padahal kita mencoba selangkah pun belum untuk mendekatinya. Bak petarung yang kalah sebelum bertanding.

Saya merekomendasikan buku ini terutama bagi mereka yang sedang mencari motivasi untuk bergerak meninggalkan babak kehidupannya yang cenderung stagnan dan belum sesuai dengan apa yang dibisikkan oleh hatinya sejak dia masih bebas untuk mengusung idealisme dan optimisme masa kuliah.

“Begitu kau menapakkan kaki di padang pasir, kau tak bisa mundur lagi…Dan kalau kau tak bisa mundur lagi, kau hanya perlu memikirkan cara terbaik untuk maju terus. Selebihnya terserah pada Allah, termasuk bahaya yang mungkin mengintai” (halaman 100).

Prove it
.

DN

Minggu, 28 Februari 2010

What I am Thinking about Literatures

Buat saya, bacaan itu cukup dikelompokkan ke dalam dua bagian: bacaan yang memberikan pengetahuan dan bacaan yang memberikan hiburan. Saya nggak mau repot-repot bikin pengelompokkan lain, seperti bacaan yang ‘mencerahkan’ atau bacaan yang mengasah kesadaran sosial atau berbudaya. Karena faktanya, saya memburu bacaan hanya untuk dua tujuan di atas: mencari pengetahuan dan mencari hiburan.

Saya perlu bacaan yang memberikan pengetahuan untuk menjalani sisi kehidupan saya yang ‘serius’, seperti saat berhubungan dengan Tuhan, pekerjaan, pendidikan dan komitmen rumah tangga. Jadi, yang masuk dalam bacaan kategori ini adalah: buku-buku referensi (textbooks), buku-buku agama, jurnal-jurnal ilmu pengetahuan, artikel atau berita di media seperti Kompas, Tempo, dan Jakarta Post, buku atau bacaan lain yang membahas tentang politik, ekonomi, sosial, budaya, filsafat, sejarah, sains, keluarga, kesehatan, pariwisata, sampai dengan masakan atau makanan.

Meskipun sebagian besar kelihatannya boring, tapi bacaan jenis pertama ini diperlukan untuk memberikan kualitas pada kehidupan kita, so we can play our role in this life with proper manner.

Sedangkan bacaan yang menghibur saya perlukan saat saya beristirahat dari sisi kehidupan yang serius itu. In other words: when I need some fun. Jadi, pada sisi yang ini, saya akan memilih novel yang ringan, komik, majalah wanita yang membahas gaya hidup, atau malah sekali waktu tabloid gosip. Really refreshing.

Itulah mengapa, saya tidak bisa benar-benar menikmati karya sastra yang terlau ‘berat’. Berat dalam arti membuat para pembacanya berpikir keras saat atau setelah membaca karya tersebut. Dan saya pun bingung membuat klasifikasi pada bacaan jenis ini. Memberikan pengetahuan, enggak juga, apalagi kalau jenisnya fiksi. Menghibur, juga enggak, karena seringnya bacaan jenis ini bergaya satire atau memandang kehidupan secara sinis dan mengungkapkannya secara apa adanya. Kesannya cenderung suram. Penggambaran penyiksaan, luka atau borok, seks, dipaparkan secara gamblang dan vulgar, bahasanya kompleks atau rumit, ending-nya ngambang atau malah tragis. Bukannya rileks, selesai baca, yang ada saya malah jadi tertekan…

Kadang curiosity saya membawa saya memilih jenis bacaan ini. Tapi saya jarang bisa menyelesaikannya. Membacanya seperti memberikan beban baru dalam kehidupan yang pada dasarnya sudah banyak dibebani oleh berbagai masalah dan kewajiban. Kebayang nggak perasaan saya yang setelah lima hari bekerja keras di kantor, kemudian pada akhir minggu, setelah mengurus anak atau memasak makanan akhir pekan untuk keluarga, dalam me time saya yang langka, saya membaca “Saman”-nya Ayu Utami, atau “Pintu Terlarang”-nya Sekar Ayu Asmara, atau “Mereka Bilang Saya Monyet”-nya Jenar Maesa Ayu? Gosh, it would be sooo…exhausting!

Saya nggak bermaksud bilang buku mereka jelek atau nggak layak dibaca, buktinya para penulis yang saya sebut di atas sering dapat penghargaan. Mungkin justru apresiasi seni sastra saya yang terlalu rendah, atau ini mungkin masalah selera yang amat sangat subyektif sifatnya. Tapi yang jelas, saya tidak bisa benar-benar menikmati bacaan-bacaan tersebut.

Bukan berarti saya sama sekali nggak baca sastra. Saya baca kok beberapa yang karya yang dianggap klasik dan/atau serius, seperti tetralogi dan beberapa karya Pramudya Ananta Toer (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca, Arok Dedes, Panggil Saya Kartini Saja), “Para Priyayi”-nya Umar Kayam, “Burung-burung Manyar”-nya Romo Mangun dan beberapa kumpulan cerpennya yang lain (Pohon-pohon Sesawi, Rumah Bambu), “Ca Bau Kan”-nya Remy Silado, “Slilit Sang Kyai”-nya Emha Ainun Najib, “Saman” dan “Larung”-nya Ayu Utami, The Snows of Kilimanjaro-nya Ernest Hemingway, Moby Dick-nya Herman Melville, Pride and Prejudice-nya Jane Austen, Scarlett Letter-nya Nathaniel Hawthorne, Memoir of Geisha-nya Arthur Golden, dan Gone with the Wind-nya Margaret Mitchell.

But to read is one thing, while to enjoy (the readings) is another thing. Buat saya yang membedakan adalah kecepatan saya dalam membacanya. Semakin ringan dan menarik suatu bacaan, semakin cepat saya membacanya (karena saya hampir nggak mau melepaskannya, bahasa Jawa-nya: unputdownable). Semakin berat dan tidak menarik, ya jadi semakin lambat membacanya. Saya pernah membaca sebuah novel sampai satu tahun lebih, ya Moby Dick itu! Itu pun kalau saya sekarang ditanya detail ceritanya, saya nggak terlalu ingat. Yang pasti penuh dengan metaphora dan simbologi yang menurut para pengamat merupakan cara Melville untuk menggambarkan dan mengkritik fenomena sosial di Amerika pada jamannya (fiuuhhh...!)

Beda dengan buku Jonathan Strange and Mr. Norrell-nya Susanna Clarke, masih banyak detail yang saya ingat. Padahal bukunya lebih tebal dari Moby Dick (1000-an halaman, Moby Dick ‘hanya’ 800an), sama-sama saya baca yang edisi bahasa Inggrisnya, sama-sama pake gaya bahasa Inggris kuno (atau dikuno-kunoin tepatnya in Susanna's case). Tapi saya hanya perlu waktu nggak sampai satu bulan untuk menghabiskan buku itu. Bedanya hanya satu: ceritanya Susanna Clarke lebih ringan dan lebih menarik! But still, Moby Dick dapat predikat The Greatest English Novel, sedangkan Jonathan Strange and Mr. Noller predikat populernya paling cuma Best Seller Novel versi media tertentu, meski beberapa award juga diperolehnya.

Yah, dunia boleh membuat parameter kualitas untuk bacaan-bacaan yang bagus. Tapi saya akan tetap memakai parameter hati saya sendiri saja. Tak peduli apa kata dunia…Peace!

DN