Tampilkan postingan dengan label buku bagus. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label buku bagus. Tampilkan semua postingan

Senin, 05 September 2011

The Alchemist (Paolo Coelho)

Sudah lama saya mendengar bahwa buku ini salah satu ‘must read’ sejak beberapa waktu lalu. Tapi saya belum punya cukup mood untuk membeli dan membacanya. Saya sempat membaca sekilas sinopsisnya yang merangkum bahwa buku ini bertutur tentang Jiwa Dunia, cinta, kesabaran dan kegigihan yang disampaikan oleh sang Alkemis kepada Santiago, seorang anak gembala, dalam sebuah perjalanan melintasi padang pasir. Tapi saat itu rasanya kurang menantang bagi selera saya yang cenderung menggemari fiksi fantasi. Alih-alih, saya malah membeli The Alchemist-nya Michael Scott yang memang merupakan fiksi ala Harry Potter dengan inspirasi utama legenda si manusia abadi, Nicholas Flamel (saya sudah pernah mengulas buku tersebut di blog ini sebelumnya).

Tapi beberapa minggu lalu saya mengambil cuti satu minggu penuh dari kantor. Kelelahan setelah perjalanan liburan yang meriah bersama anak-anak di negeri jiran, saya memutuskan untuk menikmati sisa cuti dengan sebuah buku yang bisa memberikan ketenangan. Saya membelinya di toko buku Gramedia yang terdekat dari rumah saya, dan kebetulan saat itu stock-nya ada, padahal sudah sempat kosong selama beberapa lama.

Kalau harus memilih satu kata untuk mendeskripsikan cerita dalam buku setebal 216 halaman ini, maka pilihan kata yang paling tepat menurut saya adalah: datar. Yep, meski bercerita tentang perjalanan seorang anak gembala yang mencari harta karun berdasarkan petunjuk mimpinya dari kampung halamannya di sebuah desa kecil di Spanyol menuju Piramida Mesir, kehilangan semua uangnya akibat ditipu oleh orang pertama yang dikenalnya di tanah Mesir, melintasi padang pasir yang luas dan kejam, dihadang perang antar suku yang biasa terjadi di antara bangsa Arab, dan menjadi tawanan salah satu diantaranya; jangan berharap itu semua disuguhkan dalam sebuah cerita petualangan yang mengasyikkan. Coelho menyampaikan semuanya dengan ritme yang datar tanpa ketegangan yang mendebarkan. Pun tentang kisah cintanya dengan Fatima, sang gadis gurun.

Tapiiii…cobalah cerna kata demi kata, kalimat demi kalimat, yang dirangkai oleh Coelho dalam menuturkan rangkaian cerita serba datar tersebut. Dahsyat man! Banyak sekali yang ‘bersinar’ dan sangat mencerahkan. Mengingatkan saya pada puisi atau prosa Khalil Gibran.

Santiago walaupun hanya seorang anak gembala, tapi dia gemar membaca, khususnya buku-buku sejarah dan teologia. Di kepalanya banyak terdapat pertanyaan yang ingin dijawabnya. Pertemuannya dengan sang Alkemis akhirnya memungkinkannya untuk memperoleh pencerahan atas berbagai misteri hidup yang berasal dari Jiwa Dunia, bahkan memungkinkannya ‘berdialog’ dengan segenap unsur alam semesta: pasir, angin, matahari, dan lain-lain.

Mengapa seorang alkemis? Alkemis atau ahli alkimia mungkin bukan sesuatu yang familiar di telinga sebagian besar orang Indonesia. Kita tahunya ya ‘kimia’ saja (tanpa ‘al’). Saya sendiri pertama mengetahui adanya alkimia adalah dari buku Harry Potter yang pertama, ‘The Sorcerer’s Stone’ atau ‘The Philosopher’s Stone’ yang sempat menyinggung tentang Nicholas Flamel, dan semakin familiar dengan membaca di The Alchemist-nya Michael Scott, lalu sekarang The Alchemist-nya Paulo Coelho. Intinya, alchemist atau ahli alkimia adalah orang yang berhasil menguasai ilmu yang merupakan gabungan antara kekuatan spiritual dan ilmu alam untuk menyibak tabir rahasia inti kehidupan dunia (Jiwa dunia). Hasilnya adalah kemampuan untuk membuat Batu Filsuf yang bisa digunakan untuk merubah logam menjadi emas dan membuat Ramuan Kehidupan yang bisa membuat panjang umur. Artinya, seorang ahli alkimia merupakan manusia bijak nan sakti karena mampu memahami dengan sangat mendalam makna kehidupan secara sprirtual dan juga berhasil menembus batas-batas kemampuan ordinary people untuk mengendalikan atau mengubah alam dan unsur kehidupan secara material.

Buku ini terbagi dalam beberapa babak dialog yang dialami oleh Santiago yang terangkai seperti proses dilektika, thesis-anthitesis, dan pada akhirnya membawanya pada keputusan apa yang sebeneranya diinginkannya.

Yang pertama adalah dialog dengan sang Raja Salem, orang pertama yang membukakan matanya dan memantapkan tekadnya untuk berlari mengejar mimpinya, atau dalam buku ini istilah yang dipakai ‘takdir’-nya: “Satu-satunya kewajiban manusia sejati adalah mewujudkan takdirnya…Dan saat engkau menginginkan sesuatu, seluruh jagat raya bersatu padu untuk membantumu meraihnya” (halaman 31).

Yang kedua dialog dengan sang Pedagang Kristal, orang yang mengajaknya berpikir pragmatis dan memiliki pandangan let the dream be the dream: “Sebab justru impian…yang membuatku bertahan hidup. Impian itulah yang membantuku menjalani hari-hariku yang selalu sama ini, kristal-kristal bisu di rak-rak itu, serta makan siang dan makan malam di kedai jelek yang itu-itu juga. Aku takut kalau impianku menjadi kenyataan, aku jadi tidak punya alasan lagi untuk hidup…” (halaman 72).

Dialog ketiga adalah dengan seorang ‘alchemist wanna be’ berbangsa Inggris yang merupakan representasi dari seseorang yang tidak mampu mewujudkan takdirnya, meskipun dia telah bertekad untuk itu. Kesalahan terbesar si Inggris adalah karena dia tidak menyelami Jiwa Dunia, melainkan secara kaku hanya menerapkan apa yang tertulis dalam buku-buku yang dibacanya. Dia mengabaikan apa-apa yang diajarkan langsung oleh alam disekitarnya yang sebenarnya justru merupakan sumber esensial dari ilmu alkimia. “Alkimia adalah ilmu yang sulit. Setiap langkahnya harus dijalani persis seperti yang telah dilakukan para ahlinya” (halaman 104).

Dan yang terakhir tentu saja dialog dengan Sang Alkemis. “Sebab dimana hatimu berada, disitulah hartamu berada” adalah pesan Sang Alkemis yang disampaikan berulang-ulang kepada Santiago. Sang Alkemis menuntunnya untuk mencapai tempat yang hendak ditujunya mengikuti suara hatinya, Piramida Mesir. Dan Sang Alkemis membesarkan hatinya manakala semangat dan keberanian Santiago surut menghadapi berbagai aral dan tantangan.

“Bagaimana kalau aku gagal?”

“Berarti kau akan mati di tengah usahamu mencoba mewujudkan takdirmu. Itu jauh lebih baik daripada mati seperti jutaan orang lainnya yang bahkan tidak pernah tahu takdir mereka” (halaman 182).

Bagi saya, cerita ini sebenarnya bisa dimaknai sebagai refleksi kehidupan kita sehari-hari. Saat kita didera keraguan antara tetap tinggal dalam zona kenyamanan kita atau bergerak mewujudkan apa yang menjadi impian kita sebenarnya. Tak jarang kita tidak memiliki cukup keberanian atau kepercayaan diri, hanya mampu menengadah memandang impian yang rasanya terlalu muluk dan jauh dari jangkauan. Padahal kita mencoba selangkah pun belum untuk mendekatinya. Bak petarung yang kalah sebelum bertanding.

Saya merekomendasikan buku ini terutama bagi mereka yang sedang mencari motivasi untuk bergerak meninggalkan babak kehidupannya yang cenderung stagnan dan belum sesuai dengan apa yang dibisikkan oleh hatinya sejak dia masih bebas untuk mengusung idealisme dan optimisme masa kuliah.

“Begitu kau menapakkan kaki di padang pasir, kau tak bisa mundur lagi…Dan kalau kau tak bisa mundur lagi, kau hanya perlu memikirkan cara terbaik untuk maju terus. Selebihnya terserah pada Allah, termasuk bahaya yang mungkin mengintai” (halaman 100).

Prove it
.

DN

Rabu, 24 November 2010

Kisah-kisah para Penggila Buku

Baru-baru ini saya membaca dua buah buku yang menggambarkan tentang ‘kegilaan’ para pecinta buku (yang membuat kecenderungan bacamania saya menjadi bukan apa-apa). Yang pertama berjudul “The Man who Loved Books Too Much” karya Allison Hoover Bartlett tentang kisah nyata seorang pencuri karena obsesinya pada buku. Yang kedua adalah ‘Libri di Luca” karya Mikkel Birkegaard, sebuah kisah fiksi tentang perkumpulan rahasia para pecinta buku dan ‘kesaktian’ yang bisa diperoleh dari kegiatan membaca. Dari keduanya saya lebih menikmati buku kedua (Libri di Luca), tapi dari keduanya saya belajar betapa buku bisa menjadi center of universe dalam kehidupan sekelompok orang. Bukan semata karena alasan pekerjaan (seperti dosen misalnya) atau kewajiban (seperti pelajar), tapi benar-benar murni karena passion dan, to some extent, pandangan hidup (!).

Dalam The Man who Loved Books too Much, Allison Hoover Bartlett yang berlatar belakang seorang jurnalis, merangkum risetnya mengenai perjalanan hidup seorang pencuri buku-buku langka legendaris di Amerika Serikat sana: John Gilkey, dikombinasikan dengan perjalanan hidup seorang bibliodick atau kolektor sekaligus agen penjual buku langka yang merangkap sebagai detektif pelacak Gilkey: Ken Sanders. Bartlett menuturkan ceritanya dengan gaya yang lebih mirip laporan jurnalistik daripada kisah, sehingga buku ini akan sangat membosankan kalau saja tidak diselingi dengan kejutan pengungkapan fakta-fakta unik di sana-sini.

Bayangkan, ternyata ada manusia di bumi ini yang rela mengeluarkan ribuan hingga ratusan ribu US dollar atau setara jutaan hingga miliaran rupiah hanya untuk sebuah buku (yang langka)! Itu hanya untuk satu buku. Dengan status sebagai seorang kolektor buku langka, bisa dibayangkan berapa pengeluaran yang telah mereka lakukan untuk membuat sebuah koleksi yang mengesankan. Bagi mereka yang berasal dari golongan kaya-raya mungkin tidak punya persoalan dalam membiayai hobi unik (dan mahal) tersebut. Tapi ada pula yang berasal dari golongan menengah, sehingga mereka harus bekerja ekstra untuk mendapatkan buku-buku langka yang belum terlalu populer sebagai collection items. Lalu bagaimana dengan mereka yang berasal dari kelompok menengah ke bawah tetapi memiliki obsesi yang sama terhadap buku-buku langka? Ya jadinya seperti si John Gilkey ini: rela dipenjara demi memenuhi obsesinya dengan cara menipu atau mencuri! Unbelievable.

Pertanyaannya adalah: apa sih yang dicari dari sebuah buku langka? Kalau lukisan atau barang antik seharga miliaran rupiah karuan, bisa dipajang di rumah atau di ruang kerja buat dikagumi para tamu dan kolega. Tapi buku? Apakah dia juga akan dipajang dalam kotak kaca mewah di sudut terbaik rumah atau ruang kerja? Bukankah nilai sebuah buku itu dilihat dari isinya, bukan fisiknya? Apakah buku-buku langka tersebut menjadi mahal karena kehebatan isinya yang tidak ketahui oleh banyak orang, seperti kitab ilmu silat yang diperebutkan dalam film-film kungfu China? Ternyata tidak juga. Kata kuncinya umumnya adalah: edisi pertama. Jadi buku anak-anak pun seperti edisi pertama Pinocchio yang masih dalam bahasa aslinya (Italia), edisi pertama The Tale of Peter Rabbit, hingga edisi pertama Harry Potter and the Philosopher’s Stone, bisa dijual dengan harga puluhan ribu dollar!

Jadi apa dong definisi buku langka yang membuatnya layak diberi bandrol harga gila-gilaan? Bartlett mengungkapkan dari hasil risetnya bahwa definisi ‘buku langka’ ternyata bisa sangat subyektif sifatnya. Ada yang dengan main-main mengatakan kalau “buku langka adalah buku yang harganya jauh lebih mahal sekarang daripada ketika diterbitkan” atau “buku yang sangat kuinginkan tapi tak bisa kutemukan.” Tapi untuk seriusnya, predikat ‘langka’ diberikan karena kombinasi kejarangan, kepentingan, dan kondisi, ditambah dengan selera dan trend (hlm. 11-12). Hmmh…

Kembali ke pertanyaannya awal: apa sih yang dicari dari sebuah buku langka? Kepuasan apa yang bisa didapat dari kerelaan mengeluarkan uang sedemikian besar, atau dalam kasus Gilkey kerelaan untuk menjalani hukuman penjara, demi mendapatkannya? Dan jawaban yang diperoleh oleh Bartlett dari wawancaranya dengan Gilkey adalah: “Aku menyukai perasaan bisa memegang buku seharga lima atau sepuluh ribu dollar. Dan aku menyukai kekaguman yang kudapatkan dari orang lain.” What a reason.

Dari hasil wawancaranya dengan para kolektor lain, termasuk Sanders, Bartlett pada akhirnya menyimpulkan bahwa sama halnya seperti para kolektor benda lain pada umumnya—kolektor mobil antikkah, kolektor prangko, lukisan, tanaman, keris, atau benda apapun—mereka membangun identitas dari koleksi mereka. Artinya, mereka mengharapkan citra tertentu dilekatkan oleh orang lain kepada mereka berdasarkan koleksi yang dimiliknya. Dan mengoleksi buku langka dipilih karena dianggap memperlihatkan selera, pengetahuan dan kekayaan.

Okelah kalau begitu…

Nah, sekarang tentang Libri di Luca. Sekali lagi ini cerita fiksi fantasi tentang perkumpulan rahasia pencinta buku di negara Denmark. Mereka secara rutin berkumpul di toko buku bekas (yang juga memiliki koleksi buku langka) bernama Libri di Luca, milik seorang pencinta buku sejati: Luca Campelli. Tapi jangan mengira bahwa kegiatan mereka semata berkumpul dan berdiskusi mengenai sebuah buku. Melalui membaca mereka juga mengasah kemampuan untuk menyihir, atau tepatnya menghipnotis, orang lain melalui bacaan mereka (!). Ini boleh dibilang semodel dengan Harry Potter. Hanya saja jika Harry Potter menyihir dengan tongkatnya, para pembaca atau orang yang disebut ‘pemancar’ atau lector ini ‘menyihir’ dengan cara mempengaruhi pikiran orang lain melalui sebuah buku atau bacaan apapun yang dibacakan keras-keras.

Lalu ada kelompok saingannya yang keahliannya bukan dengan membaca, namun justru dengan mempengaruhi pikiran orang yang sedang membaca. Sebutannya ‘penerima’. Jadi kalau untuk melawan kekuatan seorang ‘pemancar’ kita disarankan untuk menutup telinga, maka untuk melawan kekuatan seorang ‘penerima’ kita disarankan untuk tidak membaca didekatnya. Unusual, isn’t it?

Tokoh utamanya adalah Jon, anak tunggal Luca Campelli. Karena dibesarkan bukan oleh orang tuanya, Jon, yang awalnya berprofesi sebagai pengacara, tidak pernah tahu keberadaan kelompok para pecinta buku tersebut, bahkan tidak pernah tahu jika dia sendiri ternyata seorang lector yang hebat (tapi belum ‘diaktifkan’—seperti kartu ATM saja: diaktifkan dulu baru bisa dipakai). Baru setelah ayahnya, Luca, meninggal secara tak wajar dan mewariskan Libri di Luca, Jon mulai terlibat dengan kelompok yang misterius ini. Dalam upayanya menemukan pembunuh orang tuanya dan mengejar keberadaan kelompok lector sesat di bawah ‘Organisasi Bayangan’, Jon dibantu oleh seorang ‘penerima’ cantik, Katherina, dan seorang ahli IT nyentrik keturunan Turki, Muhammad.

Jalan ceritanya cukup oke. Meski menyisakan banyak pertanyaan dan detail yang tak terjawab secara memuaskan, seperti mengapa Organisasi Bayangan merasa perlu membakari toko-toko buku langka di Kopenhagen? Atau, dari mana Katherina membiayai hidupnya mengingat dia hanya seorang anak yatim piatu yang kebetulan senang menghabiskan waktunya di Libri di Luca?

Yang menarik, ada satu persamaan dalam cerita ini dengan cerita buku pertama di atas: munculnya buku Pinocchio edisi pertama yang berbahasa Italia. Tapi kalau dalam The Man who Loved Books too Much buku Pinocchio ini dibahas karena kelangkaan dan harganya yang istimewa, di Libri di Luca, buku ini mengambil peranan sebagai senjata penyelamat Jon diakhir cerita. Sama-sama pemosisian yang istimewa sebenarnya.

Ya sudahlah, saya sudah menulis sedemikian banyak. Baca saja buku-buku di atas kalau memang mengaku sebagai bacamania. Okey?

DN

Minggu, 30 Mei 2010

Enjoy Your Life (Dr. Muhammad al-'Areifi)

Akhir-akhir ini banyak kejadian besar yang terjadi di lingkungan tempat kerja saya. Kejadian-kejadian besar yang mau tidak mau membuat saya jadi menebak-nebak, pesan apa yang ingin Sang Maha Kuasa sampaikan melalui kejadian-kejadian tersebut. Saya tidak ingin menyebutkan secara spesifik kejadian yang saya maksud, karena bakal mengungkap hal-hal yang sangat berbau sensasi ala TV One (stasiun TV yang sekarang hobi bikin siaran infotainment-nya dunia politik).

Tapi manusia memang tidak pernah lepas dari persoalan dan tantangan hidup. Karena hidup itu sendiri nggak bisa diarahkan untuk selalu berjalan sesuai mau kita. Dan Sang Pemilik Hidup pun mempunyai kehendak yang tidak selalu bisa kita pahami pertimbanganNya. Satu saat Dia memberi kita ujian berupa kesenangan atau kemuliaan, di saat lain Dia memberi kita ujian yang terasa menyakitkan. Tapi bukan tanpa maksud lho. Sebagaimana firman-Nya, “Tiada suatu bencana yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan dia telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikanNya kepadamu.” (QS Al-Hadid: 22-23).

Sebagai manusia biasa (emang siapa juga yang bilang saya manusia luar biasa?) saya pun tak luput dari pasang surut gelombang kehidupan yang kadang bagai melambungkan kita ke puncak tertinggi, namun tak jarang juga seperti menghempaskan kita ke dasar yang paling rendah. Dalam kondisi seperti ini saya sangat bersyukur karena sebagai seorang Muslim saya selalu punya sarana untuk melarikan segala beban pikiran dan perasaan saya, yaitu melalui shalat. Saat shalat rasanya saya sedang melepaskan beban tersebut dan berbagi (baca: curhat) dengan Tuhan. Lalu setelah shalat saya akan membaca doa-doa yang disarankan untuk melapangkan hati orang-orang yang sedang menghadapi kesulitan. Dilanjutkan dengan memilih surat atau ayat dalam Al Quran yang isinya mengena sesuai dengan persoalan yang sedang saya hadapi untuk saya lantunkan. Rasanya damai…(kalau sudah gitu sebenarnya saya suka malu sama ati, karena saya seolah bisa membayangkan para malaikat berkata, “Hmmh, giliran punya masalah aja, shalat sama baca Quran-nya serius!”).

Tapi nggak cuma itu. Ada satu hal lain yang biasa saya lakukan kalau perasaan saya sedang drop dan saya butuh ‘doping’ untuk memulihkan mood dan optimisme saya: baca buku-buku yang menyejukkan. Secara gitu saya seorang bacamania. Kalau seorang musikmania mungkin akan memilih mendengarkan lantunan nada yang mengalir lembut dengan syair yang memotivasi. Whatever you say, it works for me. Membaca buku yang tepat di saat suasana hati sedang nggak enak juga bisa jadi terapi yang efektif lho! Asal bisa milih bukunya aja.

Beberapa waktu yang lalu, buku La-Tahzan (Jangan Bersedih)-nya Dr. Aidh al-Qarni merupakan buku yang banyak dicari orang, termasuk saya, sebagai buku penyejuk jiwa. Beberapa waktu sebelumnya, buku “Lentera Hati”-nya Quraish Shihab yang laris manis di pasaran, dan saya juga punya “Meraih Bening Hati dengan Manajemen Qolbu”-nya Abdullah Gymnastiar atau AA Gym yang di awal tahun 2000an masih bersinar sebagai dai kondang dengan statusnya yang masih seorang monogamis…(makanya A! hehehe...'dendam' amat!).

Sekarang saya sedang senang membaca buku Enjoy Your Life (Seni Menikmati Hidup) punya Dr. Muhammad al-Areifi. Modelnya hampir sama dengan La Tahzan, namun dengan bahasa yang lebih ringan (tapi mengena). Buku ini banyak mengambil kisah-kisah di jaman Rasulullah sebagai ilustrasi hikmah yang hendak disampaikan. Tapi kalau La Tahzan memiliki topik-topik bahasan yang umum, dalam arti bisa diaplikasikan pada konteks lingkup kehidupan yang luas, kehidupan bermasyarakatlah, kehidupan rumah tanggalah, kalau Enjoy Your Life (EYL) lebih segmented, karena banyak mengangkat topik yang cocok bagi mereka yang bekerja, dengan bab-bab seperti: Kembangkan Diri Anda, Jadilah Orang yang Memiliki Kelebihan, Nikmatilah Berbagai Kecakapan, Seni Berdebat (buat di ruang rapat kali ya, untuk menghadapi ‘macan-macan’ rapat), Seni Mendengarkan (tuh, jadi orang jangan suka minta didengar aja tapi juga mau mendengarkan), dll, dst, dsb…

Sama seperti cara saya baca buku-buku penyejuk jiwa lainnya, saya nggak baca buku itu secara berurutan bab demi bab. Melainkan memilih dari bab yang terlihat cocok dengan suasana hati atau persoalan yang sedang saya hadapi saat membuka buku tersebut.

Dan saat ini, ketika melihat kejadian besar yang terjadi di tempat saya dimana salah satunya menyebabkan seorang petinggi kantor mengundurkan diri karena sebuah kebijakan yang dianggapnya merugikan posisinya atau karirnya (yaitu sang pimpinan tertinggi lebih memilih untuk mengangkat orang lain untuk mengisi jabatan yang diinginkannya). Saya pun membuka buku EYL untuk mencari nasihat apa yang bisa ditawarkan oleh Dr. al-Areifi terhadap situasi ini. Saya menemukan satu bab yang judulnya: “Apabila yang Anda Inginkan Tidak Terjadi, Inginkanlah Apa yang Akan Terjadi.” Dan isinya mengena sekali! Pesan moral yang tertulis pada box di bagian akhir tulisan adalah: "Tidak semua yang diidamkan seseorang itu bisa diraih. Angin pun sering bertiup ke arah yang tidak dikehendaki bahtera." Ini saya kutipkan beberapa kalimatnya:

Selama Anda harus menjalaninya, nikmati saja…Kebanyakan orang mengambil jalan keluar dari persoalannya dengan bersedih secara berkepanjangan, menyalahkan keadaan, dan banyak mengeluh...Sikap seperti ini tidak akan mengembalikan rezki yang luput darinya, dan tidak mendatangkan rezki yang tidak ditakdirkan untuknya...Orang berakal adalah orang yang mampu menyesuaikan diri dengan kenyataan, apa pun bentuknya, selama dia belum mampu mengubahnya menjadi sesuatu yang lebih baik…(halaman 346).

Hmmm...so wise! Dr. al-Ariefi dalam bab itu juga mengangkat satu kisah yang menunjukkan teladan Rasulullah. Rasulullah tidak pernah mengeluh sesempit apa pun situasi yang tengah dihadapinya. Beliau menikmati dan mensyukuri apa yang sedang berada dihadapannya sambil tetap berikhtiar untuk bisa merubah kondisi yang ada menjadi lebih baik.

Jadi, apabila yang Anda inginkan tidak terjadi, inginkanlah apa yang akan terjadi. Dan sementara itu, nikmati saja apa yang ada dan syukurilah, selama itu merupakan hal yang harus dijalani karena kita belum memiliki solusi yang lebih baik. Sebab, sekali lagi menurut Dr. al-Ariefi , sesungguhnya kebaikan itu bersumber dari apa yang tersedia. Mungkin nggak gampang buat sebagian orang. Ada yang berargumen: Ini masalah harga diri! (kalau jabatan itu pada awalnya sudah dijanjikan untuknya). Atau: Ini masalah keadilan! (kalau jabatan itu diberikan pada orang yang dianggap tidak lebih baik darinya).

Tapi yakinlah, sebagaimana surat Al-Hadid ayat 22-23 di atas, tidak ada segala sesuatu pun di muka bumi ini yang terjadi bukan karena kehendak-Nya. Jika Allah berhendak memberikan suatu kemuliaan bagi kita, maka tidak ada seorang pun yang bisa mencegahnya. Sebaliknya, jika Allah tidak atau belum menghendaki, maka tak seorang pun yang bisa memberikan ataupun menyegerakannya. Are you with me?

DN
(PS: Sori jadi ceramah, kayak ustadzah dadakan. Tapi sekali-kali boleh dunk...)

Minggu, 02 Mei 2010

Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela (Tetsuko Kuroyanagi)


Catatan:

Alhamdulillah… akhirnya saya punya kesempatan lagi untuk ng-entry blog ini. It’s been so long! I was so busy with my office works. Saya bahkan nggak punya banyak kesempatan untuk baca novel atau bacaan lain yang ringan-ringan. Baca dokumen kerjaan sih iya, sama paling baca koran. Tapi diantara kesibukan kerja tersebut, saya sebenarnya menyempatkan diri—menyelinap tepatnya—ke beberapa toko buku, entah di bandara atau di kota-kota yang saya singgahi, untuk menambah koleksi bacaan saya.

Pertengahan Maret lalu, saya ke Brunei Darussalam. Di sebelah hotel tempat saya menginap di Bandar Seri Begawan, terdapat mall yang di dalamnya ada toko buku kecil, nama tokonya Best Eastern. Saya membeli beberapa buku dan majalah di sana. Juga beberapa bacaan lain dalam perjalanan pulang saya di bandara Changi (toko buku Times). Tapi buku-bukunya belum ada yang kelar dibaca. Jadi nanti aja ngebahasnya ya…

Trus awal April, saya ke Vietnam. Sayangnya dalam perjalanan 3 hari itu, saya nggak sempat ke toko buku manapun! Tidak juga di bandara (meski saya singgah di tiga bandara internasional: Singapura, Saigon, dan Kuala Lumpur). I was in a mission, so no time for readings at all! Not even for a novel I brought in my hand bag!

Lalu di akhir April, saya ke Amerika Serikat, tepatnya ke Washington DC. Di sana saya sempat ke toko buku Borders dan toko bukunya Bank Dunia. Saya beli beberapa buku. Tapi buku-buku serius yang kalau saya sebut judul-judulnya pasti boring banget dengernya. So please don’t ask!

Tapi bukan itu sebenarnya yang ingin saya bahas disini. Saya cuma menyampaikan excuse saya kenapa lama nggak ng-entry blog ini, in case ada yang mempertanyakan konsistensi bacamania saya…

***

Ok, now back to readings. Ini tentang buku cerita anak-anak (non-fiksi) yang berasal dari Jepang: Totto-chan (si Totto), yang ditulis oleh Tetsuko Kuroyanagi. Semula saya justru melihat sequel terbarunya Totto-chan di deretan buku-buku baru yang recommended di Gramedia: “Totto-chan: Perjalanan Kemanusian untuk Anak-anak Dunia”. Tapi saya belum berkeinginan untuk membeli sequel tersebut. Yang saya beli malah buku Totto-chan pertama yang judulnya “Gadis Cilik di Jendela”. Padahal saya sudah pernah punya waktu saya kelas 4 SD! Dan sekarang kelihatannya Gramedia mencetak ulang. Berhubungan buku Totto-chan masa kecil saya ada di rumah orang tua saya, maka saya pun membeli satu cetakan baru, untuk anak saya.

It is a good book for kids, I can assure you. Benar-benar memberikan wawasan baru tentang dunia sekolah (baca: SD) untuk anak-anak. Anak saya sangat menyukai buku ini. Dia tertarik sekali mengenal sekolah Tomoe dengan sistem pendidikan yang unik untuk jamannya (tahun 1930-1940an), hasil kreasi sang Kepala Sekolah, Sosaku Kobayashi. Gedung sekolahannya saja menempati bekas gerbong-gerbong kereta api yang sudah tidak dipakai. Tidak ada jadwal pelajaran yang ditetapkan secara kaku, karena setiap murid boleh menentukan sendiri urutan pelajaran yang akan dipelajarinya dalam satu hari. Kalau sekolah alam di Indonesia merupakan trend baru tahun 2000an, maka sejak tahun 1930-an Tomoe sudah memperkenalkan metode belajar langsung dari alam. Murid-muridnya diajar bercocok tanam atau berjalan-jalan di udara terbuka sambil sekedar membahas langit biru, kupu-kupu, atau bunga yang sedang bermekaran. Bahkan sayur-mayur dijadikan hadiah untuk pertandingan di hari olah raga (bukannya tanpa menuai protes lho! Tapi Pak Kobayashi yang bijaksana berhasil meyakinkan murid-muridnya bahwa mereka akan merasakan kepuasan tersendiri saat menyantap sayur yang diperoleh dari hasil keringat mereka sendiri).

Buku Totto-chan ini memang tidak melulu mengenai Tomoe, karena lebih merupakan memoir masa kecil Tetsuko Kuroyanagi, sang penulis yang belakangan jadi duta Unicef (Totto-chan itu nama panggilan Tetsuko kecil). Tapi buku ini terutama memang membahas masa kecilnya yang terkait dengan pengalaman bersekolahnya di Tomoe yang merupakan sekolah yang bahkan di Jepang sendiri saat itu mengundang kontroversi atas pilihan metode belajar-mengajar dan kurikulum-nya. Satu hal yang pasti, lepas dari pro-kontra atas Tomoe, Kepala Sekolah Sosaku Kobayashi benar-benar seorang pendidik yang mencintai secara tulus dunia yang digelutinya. Mengingatkan saya pada Ibu Muslimah di “Laskar Pelangi”-nya Andrea Hirata (atau jangan-jangan justru saat baca Laskar Pelangi, saya teringat Totto-chan?).

Ada satu bab yang paling saya sukai, yaitu cerita dimana Pak Kobayashi dikatakan selalu menyempatkan diri menyampaikan satu kalimat khusus kepada Totto saat mereka berpapasan: “Kau benar-benar anak yang baik, kau tahu itu kan?” To me, it was so touchy! Masalahnya, si Totto kecil saat itu kerap dicap nakal oleh lingkungannya. Dia bahkan dikeluarkan oleh sekolahnya sebelum Tomoe karena dianggap anak pengacau. Padahal, Totto hanyalah seorang anak dengan tingkat keingintahuan di atas rata-rata. Tapi Pak Kobayashi dengan perspektifnya yang selalu positif berusaha menanamkan rasa percaya diri dan keyakinan Totto bahwa dia sesungguhnya anak yang baik. Dan dampaknya luar biasa, sebagaimana narasi Tetsuko berikut.

“Kata-kata itu menggema di dalam hati Totto-chan, bahkan ketika ia sedang asyik melakukan sesuatu yang tidak biasa (baca: nakal). Sering sekali ia berseru pada dirinya sendiri “Astaga!” ketika mengingat-ingat apa yang pernah dilakukannya…Mr. Kobayashi terus-menerus mengulang kalimat itu, setiap kali, selama ia berseolah di Tomoe. Mungkin kata-kata penting itulah yang telah menentukan arah seluruh hidupnya kemudian…”

Jadi benar tips psikologi cara mendidik anak: jangan pernah mencap anak dengan sebutan-sebutan yang negatif. Sebaliknya, bagaimanapun perilaku dominannya, tanamkan rasa percaya diri dan keyakinan yang positif bahwa dia anak yang baik atau anak yang pintar. Niscaya dia akan tumbuh mengikuti keyakinan yang kita tanamkan kepadanya (Insha Allah).

Seriously, many things you can learn from this special book. Prove it…

DN